It's All Temporary

54 4 2
                                    

Tak pernah ada yang kekal di dunia. Semua berpasangan dengan lawannya, yang datang akan pergi, yang pergi akan kembali, yang kembali selepas dirindukan akan dirindukan setelah tak dapat melihatnya lagi. Persis, seperti itulah antonim selalu berpasangan dengan padanannya. 

Tuhan menciptakan banyak hal, pagi-petang, siang-malam, besar-kecil, luas-sempit, kaya-miskin, dermawan-kikir, tua-muda, laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, kamu tak pernah benar-benar sendiri di dunia ini, karena Tuhan menciptakan seluruh bagian dalam dirimu berpasang-pasangan.

Kamu pernah bilang; "cincin ini pertanda cinta sejati", aku ingin sekali menjawab; "cinta sejati tidak datang dariku. Ia hanya milik Tuhan, yang tak punya pasangan." Sebab, aku mengimani bahwa memang tak ada yang sejati di dunia ini, persis seperti aku percaya bahwa kekal takkan kautemui di bumi ini. 

Mungkin kau beranggapan bahwa akulah cinta sejatimu, dan kau cinta sejati untukku. Aku mengiyakan sebatas pura-pura. Aku hanya paham bahwa hingga detik ini, aku masih mencintai sosokmu yang dulu. Perempuan yang bahagia saat menerima cincin, buru-buru kau meraih tanganku dan meminta untuk segera disematkan di jari manis tangan kirimu. Katamu, kita resmi bertunangan. Meski sebenarnya tak ada prosesi apapun siang itu, selain hanya aku dan kamu, di bukit yang kini makin ramai dikunjungi orang.

Peristiwa itu terjadi lima tahun lalu. Di hari ulang tahunmu, 15 April, yang ke-21. Kau sedang menempuh tugas akhir, memutuskan pulang kampung untuk penelitian. Saat itulah banyak waktu yang kulalui bersamamu. Mengantarmu melakukan wawancara, menyebar angket, atau apa saja yang terhubung dengan skripsimu.

Satu sore kamu pernah bilang; "aku berencana memberitahu emak dan abah soal hubungan kita. Aku akan bilang lepas lulus nanti, kau akan melamarku."

Aku ingin sekali bertanya kapan aku bilang akan melamarmu setelah kau lulus sarjana? Rasa-rasanya aku tak pernah berkata apapun soal hubungan picisan kita ke depannya. Ah, maaf, anggap saja memang hubungan picisan. Maaf. Kamu jangan tersinggung.

Kau seperti membaca tatapanku dan lanjut bilang; aku tahu mungkin kamu belum siap melamarku. Tapi tak apa-apa, biarlah nanti jika emak dan abah setuju, kamu segera melamarku. Aku tak ingin punya teman hidup lain selain kamu."

Sejujurnya aku cukup tersanjung dengan kalimatmu itu. Sekaligus merasa besar kepala dan menganggap bahwa kau memang benar-benar mencintai lelaki sederhana ini. Saat itu. Saat sebelum kau mengutarakan apapun pada abah dan emak.

Tetapi, seminggu lepas wisudamu di luar kota, kau mendadak menelepon dan bilang bahwa keinginanmu dilamar olehku terbantahkan oleh alasan abah, yang katanya lebih masuk akal. Abah bilang aku ini pengangguran. Lebih sopan lagi dibilang sukarelawan. Yang sukarela membantu emakku yang telah lama menjanda, yang sukarela membantu tetangga membangun rumah entah berapapun dibayarnya, yang sukarela meminta amal masjid di pinggir jalan seperti yang banyak terjadi di daerah Madura, yang sukarela menjadi kuli panggul saat pasar hewan tiap Sabtu dan Selasa, yang sukarela ini dan itu. Abah bilang aku ini pengangguran yang sukarela.

"Menurutku itu julukan yang bagus".  Abah tak tahu saja bahwa sukarela itu cukup sama dengan kata ikhlas. Itu artinya dia memujiku, meski di julukan awal ia memanggilku pengangguran.

Aku memang tak bersekolah tinggi sepertimu. Tak ada uang dan tak cukup pintar. Tapi, saat dulu abahmu jadi ustaz di masjid, beliau pernah berucap bahwa keikhlasan lebih penting ketimbang pendidikan tinggi. Lakukan apapun dengan ikhlas, tanpa pamrih. Lihat bagaimana Tuhan membalasmu dengan cara yang layak.

Dan, aku justru mengimani kalimat magis itu. Aku pun berpikir bahwa bertemu dengan perempuan baik sepertimu adalah cara Tuhan membalas keikhlasan-keikhlasan itu.

Kau menangis di telepon. Sesenggukan. Hingga bicaramu terbata-bata dan tertahan oleh sesak dadamu sendiri. Aku mencoba tenang. Pada akhirnya aku harus ikhlas.

Aku bilang; "Tidak apa-apa. Abah akan memberikan yang terbaik untukmu. Dan, bagi beliau, yang terbaik bukan aku. Kita harus menerima itu."

Tentu saja aku kecewa sekaligus sedih bicara demikian. Aku tentu pula mencintaimu. Aku tak pernah main-main dengan perasaanku. Sejak awal aku mengenalmu di bangku SMP, aku tahu kau dibesarkan dari keluarga berkepribadian baik. Bicaramu yang santun membuatku memutuskan untuk bersaing dengan banyak teman lelaki yang juga mengagumimu.

Aku pun tak pernah sangka kau akan memilihku. Kau bilang dari sekian banyak hal pertimbangan, keputusanmu memilihku adalah hal tepat. Kau bilang aku orang baik. Dan kau juga bilang bahwa ingin hubungan kita tak main-main sampai nanti, kelak, banyak orang yang mengamini dalam perayaan pernikahan.

Itu pulalah yang membuatku tahu, bahwa kau memang tak mau main-main dengan hatimu sendiri. Kau perempuan yang serius dalam banyak hal. Tak terkecuali soal cinta.

Namun, kembalilah pada perdebatan kita soal jawaban abah. Aku mulai berpikir lebih luas dari biasanya, misalnya; saat aku berpikir tentang alasan yang tadinya hanya selebar daun, maka untuk urusan abah dan kamu, aku harus punya alasan selebar tanah satu hektar. Kira-kira begitu. Aku mesti punya banyak alasan kuat untuk meyakinkanmu bahwa memang dari awal cinta kita tidaklah sejati. 

Aku yang mengimani itu dan tetap saja yakin bahwa cinta sejati hanya milik Tuhan, bukan manusia. Kita berdua hanya perlu menunggu, keihklasan ini akan dibalas dengan cara yang layak oleh Tuhan. 

Kau tak mau mendengar apapun penjelasanku. Kau bilang aku ini tidak mau berjuang. Aku ini tidak mencintaimu. Aku ini tidak serius denganmu. Aku ini, aku itu, aku yang salah ini dan salah itu. Pikiranmu sedang kalut. Aku paham. Karenanya, kalimat terakhir yang kuucap sebelum perbincangan kita berakhir; "serahkan segalanya pada Tuhan. Biar Tuhan yang tunjukkan jalan terbaik untukmu. Untukku juga."

Aku yang pertama menutup telepon kala itu.

Aku kembali pada keihklasan. Bukan berarti aku tak pernah menemui abahmu. Aku menemuinya dan bicara berdua selepas salat berjamaah maghrib di masjid. Aku bertanya mengapa ini dan mengapa itu? Jawaban abah, salah satunya adalah karena beliau sudah punya calon untukmu jauh sebelum kita berdua saling kenal.

Aku pun bergegas berpikir, barangkali lelaki itulah yang jadi takdirmu. 

Cinta memang tidak sejati. Cintaku, lekang oleh perjalanan waktu yang mengubah banyak hal. Cintamu pun tentu. Kau menjelma perempuan dengan dua orang anak kembar sekaligus dari pernikahanmu. Kau menjelma peri cantik bernama: Ibu.

Dan, kisah kita dulunya, sekarang bukan apa-apa lagi. Semua hanya sementara. Kata lain dari itu adalah; "It's All Temporary".

***
Tak pernah ada yang kekal di dunia. Semua berpasangan dengan lawannya, yang datang akan pergi, yang pergi akan kembali, yang kembali selepas dirindukan akan dirindukan setelah tak dapat melihatnya lagi. Persis, seperti itulah antonim selalu berpasangan dengan padanannya. 

Tuhan menciptakan banyak hal, pagi-petang, siang-malam, besar-kecil, luas-sempit, kaya-miskin, dermawan-kikir, tua-muda, laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, kamu tak pernah benar-benar sendiri di dunia ini, karena Tuhan menciptakan seluruh bagian dalam dirimu berpasang-pasangan.

Kisah cinta kita menjelma roman yang benar-benar picisan. Menjadi masa lalu. Dan kau, kini tengah berpasangan dengan takdirmu yang sebenarnya. Berbahagialah. Aku telah belajar banyak hal saat mengenalmu. 

It's All Temporary: Kumpulan Cerita Pendek InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang