🕐 ; kak jeonghan

127 11 8
                                    

Arumi terkejut bukan main begitu tahu apa alasan Jeonghan dan keluarga mendatangi rumahnya.

"Tapi, Abi—," elak Arumi dengan nada yang sedikit meninggi.

"Rumi," panggil Uminya sembari menangkup kedua tangan Arumi. "Umi mohon kali ini aja, ya."

"Tapi kenapa harus sekarang, Mi? Arumi baru selesai daftar kuliah, bahkan upacara kelulusan SMA Arumi aja belum diadakan. Impian Rumi masih panjang, Mi," keluh Arumi.

Jeonghan yang daritadi menunduk sedikit mengangkat kepalanya.

Ia tahu bagaimana rasanya mendengar pemberitahuan mendadak ini. Ia yang telah menginjak semester 6 bangku kuliah saja keberatan saat mendengarnya, apalagi Arumi yang bahkan belum masuk semester pertama perkuliahan.

Jeonghan mengepalkan jari jemarinya.

"Sayang, Umi dan Abi tau kamu pasti akan terkejut mendengarnya. Tapi ini adalah perjanjian yang dibuat oleh kakek kalian sebelum kalian lahir. Rumi sayang sama almarhum kakek, kan?" tutur Umi penuh kasih. "Kamu juga perlu seseorang untuk bisa membimbing dan menemani kamu selama proses untuk mencapai impian kamu, Rumi. Dan Jeonghan adalah orang yang tepat untuk itu."

Hati Arumi terasa sesak. Ia tiba-tiba menjadi amat emosional mendengarnya.

Mengapa perjodohan ini tidak dilakukan saat Arumi sudah lulus kuliah saja? Mengapa harus sekarang? Arumi ingin menyanggah orangtuanya sekali lagi, tapi ia juga tahu diri.

Matanya bertukar tatap dengan Jeonghan sekejap. Walaupun hanya sebentar, tapi Jeonghan bisa melihat jelas mata Arumi yang berkaca-kaca.

Abinya Jeonghan pun ikut mengerti rasa kalut yang dihadapi Arumi.

"Pak, Bu, sebaiknya kita biarkan anak-anak untuk berpikir jernih. Mereka juga perlu waktu untuk berdamai dengan perjodohan ini."

"Iya, Pak Ustadz. Saya setuju, mengingat mereka juga harus saling mengenal satu sama lain dahulu," balas Abinya Arumi dengan tenang.

Baik orang tua Jeonghan maupun Arumi sama-sama mengangguk. Begitu pun Ren dan istrinya yang ikut datang di kesempatan kali ini.

"Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, Pak Askanah. Sudah hampir jam 10 malam juga. Tidak enak dengan bapak dan ibu sekalian."

Abi Arumi ikut berdiri. "Tidak apa-apa, Pak Ustadz. Mari kami antarkan ke depan."

"Ayo, Arumi," panggil Umi, menyuruh agar Arumi ikut mengantarkan.

Arumi dengan lesu mulai bangkit dan berjalan mengantarkan keluarga Jeonghan.

Ia terus menunduk ke bawah, hingga tanpa sadar berjalan beriringan dengan Jeonghan.

Jeonghan berdeham pelan. "Ehem, lo temennya Dokyeom sama Mingyu, kan?"

Arumi sedikit terkejut mendengar Jeonghan sedang berbicara dengannya.

Ia mendongak untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Iya."

"Oke," balas Jeonghan canggung. "Gue izin minta kontak lo ke Dokyeom, ya."

Arumi menatap Jeonghan, lalu mengangguk pelan.

Pak Ustadz serta istrinya berpamitan lebih dulu, sedangkan Jeonghan yang tertinggal di belakang sedang menunggu giliran untuk menyalami orang tua Arumi.

"Gue pamit dulu," ucap Jeonghan pada Arumi dengan kecanggungan yang masih terasa hingga kini.

Arumi lagi-lagi hanya mengangguk saja.

Gadis itu melihat Jeonghan menyalami kedua orang tuanya dengan sopan santun.

Arumi menghela napas.

Jika ditanya apakah ia mengenali Jeonghan, tentu saja kenal. Jeonghan adalah wakil ketua remaja masjid di kompleknya, sekaligus anak Ustadz Jinwoo. Tidak ada yang tidak mengenali Jeonghan seorang pun di komplek ini. Bahkan, kumpulan ibu-ibu komplek saja sering membahas ketampanan dan kepintaran Jeonghan saat mereka melakukan arisan mingguan.

Dijodohin sama Anak Pak Ustadz ; [YJH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang