2. Cornered

4 0 0
                                    

Ini sudah yang keberapa Minggu, yah? Baik. Aku menyerah. Aku bahkan tak tahu sekarang tanggal berapa.

Desember, saat kuseret-seret daging yang menempel pada tulang ini di paksa berjalan. Aku hanya sedikit merana.
Sebab, jika boleh jujur. Aku tak bisa pura-pura lupa.

Tercenung indah satu nama yang kucungkil-cungkil supaya keluar dari tempatku. Kita memang tak memiliki artian khusus untuk selalu bersama. Dan aku akan sekuat tenaga menghadang rupa yang lewat dalam halimun-halimun rasa. Tuh kan.

Aku hanya pergi sekolah, bekerja, dan sisanya kuhabiskan untuk suka-suka. Sebenarnya waktukku sudah banyak tersita.

Yang sering kubawa hanyalah tas selempang berisi lembaran-lembaran hvs dengan satu pensil di dalamnya. Seharusnya, wajahmu kurobek saja biar tak menghantui benakku di saat-saat tolol begini.

Dingin berlarian di sekitaran tubuhku tanpa tahu malu. Lagi, kenapa awannya galau, sih, efek sampingnyakan aku yang kena. Padahal ini sudah hampir satu jam, tapi kenapa busnya belum muncul juga?

Dan sialnya, bosanku tak hiang-hilang meski aku menjadi orang jahat yang sengaja memisahkan anak batu dari kawanannya.

"Bisa habis kerikilnya bila kau tendang-tendang begitu."

Kaget. Tentu saja. Tapi, kuusahakan refleks tubuhku dengan menarik wajah sok biasa-biasa saja pada orang itu.

Sosoknya duduk di sebelahku. Kurasa ini kesekian kalinya saat tiba-tiba langit di atas sana semakin kelam dan menumpahkan gegalauan yang dibendungnya sejak tadi. Tapi, tentu ini pertama kalinya saat benar-benar kusadari bahwa hanya kami berdua yang terjebak di sini.

Aku tak memperhatikannya, sungguh. Hanya saja, entah kenapa terlihat dari sudut mata beginipun aku sadar kalau tubuhnya itu gagah di hiasi mata sipit menukik tajam.

Suer, aku benar-benar tak bermaksud memperhatikan pemuda itu, kok_ya, menurutku_ saat pria itu dengan tiba-tiba menoleh dan berkata, "Wajahku memang mempesona, tak perlu menilik sebegitunya."

Aku mengerjap, mataku tiba-tiba perih dan sedikit berair. Kurasa yang dikatakan pria itu memang benar. Menundukkan kepala merasa bersalah, hujan masih mengguyur sekitaran halte bus ini.  Aku mengumpulkan segudang keberanian hingga dapat bercicit pelan, "Maaf, maafkan aku."

Aku merasa benar-benar bersalah, ya ampun pasti pria itu tak nyaman sekarang. Tapi, alih-alih begitu, lelaki di sampingku ini malah terkekeh sebelum melanjutkan, "Ya ampun, kau tak perlu secanggung itu. Aku bukan pemakan manusia, loh," katanya. Aku diam, merutuki diri sebab sikapku yang pasti mudah ketahuan. Aku benar-benar malu, sungguh. Membayangkan pria ini terkikik mengejek saja sudah membuat suhu tubuhku meninggi. Demi sereal nestum! Ini memalukan!

Berusaha terlihat tak peduli, kutarik bibir mengembangkan senyum kecil. Setelahnya kukira itu akan menjadi penutup percakapan kecil kami, tapi tidak saat dia dengan tiba-tiba membalas senyum padaku seraya berkata, "Kau dari kelas seni, yah?"

Aku melongo tak paham, kelas seni katanya. Aku tak mengerti maksud_"Ck, jangan terus-terusan menatapku begitu, dong. Memangnya pertanyaanku salah, ya?"

Kualihkan tatapanku pada tas yang sedari tadi ada di pangkuan. Di sana terlihat kertas hvs yang sedikit menyembul dari dalam sana. Aku mengangkat tasku bermaksud membereskannya sebelum menjawab, "Ya. aku bukan dari kelas seni, kok. Kau menebaknya sebab melihatku membawa banyak kertas?" Mengangkat sebelah alis bertanya heran. Kulihat lelaki itu tersenyum bodoh. Untuk yang kesekian kalinya, aku hanya mendelik saat dia tak menjawab apapun.

Darjeeling TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang