1.3. We one

2 1 0
                                    

Pernyataan yang di ucapkan Ari dua pekan lalu kuanggap candaan semata, walau tak kutampik bahwa aku masih penasaran dengan wanita itu dan diam-diam mencari tau tentangnya.

Tapi, sekarang aku telah memantapkan hatiku untuk mengenal wanita yang  bernama Bianca itu lebih jauh.

Masalah dengan ayahku masih belum terselesaikan. Aku tak peduli dan lebih memilih menelusuri wanita yang kuanggap aneh itu.

Supermarket menjadi tujuan utamaku.

Di sana terlihat dua pegawai kasir sedang melayani para pelanggannya.

Aku masuk, pura-pura memilih makanan.

Lihatlah, wanita yang membuat penasaran itu sedang melakukan tugasnya di balik meja sana.

Sekilas ia tampak ramah pada semua orang, dengan senyuman manis yang tak pernah pudar menghiasi wajahnya. Tapi kenapa saat dia datang ke kafe wajahnya berubah jadi misterius dan seperti agak kaku kalau-kalau kita ajak bicara.

Aku terus memandangnya tanpaku sadari orang yang berada di sebelahnya tau tentang itu 'ok, Jennie memergokiku’ makaku ambil keputusan bijak dengan buru-buru membuka lemari es dan mengambil satu minuman dari sana agar nyawaku terselamatkan.

Lalu setelahnya aku berjalan menuju kasir_tempat wanita itu berdiri_

“Ini, satu.” Kuserahkan botol minuman itu tepat di depan Bianca, yang anehnya hanya menatapku dengan air muka yang sulit di artikan.

Apa penampilanku seburuk itu?

“Eh, Bi. Pembeli, tuh!” Jennie menyenggol lengan Bianca sekedar menyadarkannya, mungkin.

Benar saja, gadis itu seketika terperanjat dan langsung melaksanakan tugasnya dengan senyum yang membuatku merasa, entahlah.

Jennie terkekeh melihat tingkah lagu temannya itu. Setelahnya dia melirik ke arahku. Matanya terlihat di sepitkan menilik ke arahku.

“Dirga, kan?!” tanya Jennie memastikan. Iya, kami pernah bertemu beberapa kali.
Statusnya yang menjadi pacar Ari membuatku mau tak mau jadi perpapasan satu sampai dua kali dengannya.

Aku mengangguk kikuk mengiyakan. Aku membuka bibirku berniat melayangkan perkataan sebelum,

"Kalian saling kenal?” Sela Bianca yang mampu mengurungkan niatku untuk bicara.

“Yah, dia ini teman pacarku.” Jawab Jennie mewakili. Di balas dengan anggukan dan mulut yang berbentuk bulat dari sang lawan. Lucu.

“Eh, harganya enam belas ribu.” Ucap Bianca kala tersadar dengan minuman yangku bawa tadi.

Akupun merogoh saku celanaku dan memberikan uang itu padanya.
“Terima kasih,” balasnya. Tersenyum ramah dengan pipi putihnya yang hampir-hampiran menyentuh  mata.

Ya ampun, dia manis sekali.
Eh, Dirga apa yang Lo pikirin.

“Kalau begitu, aku permisi dulu yah!” Pamitku dan berlalu pergi dengan terburu-buru karena jantung yang tiba-tiba maraton hingga melupakan botol minuman yang kubeli.

.

Malam ini, akhirnya dia datang juga. Setelah kutunggu tiga malam kemarin yang tak menemukan dirinya yang biasa duduk di pojok kafe membuatku makin penasaran pada wanita itu.

Entah doronga dari mana hingga aku berani mendekati mejanya setelah performku selesai.

“Hay, boleh bergabung?!” tanyaku pada Bianca yang sedang menyeruput coklat panas di cangkirnya. Dan anggukan yang di berikan menjadi jawaban atas pertanyaanku.

Darjeeling TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang