RUMAH BARU

23 1 0
                                    


Bagian 1

Dengan terkantuk-kantuk, Winda bangun karena alarm yang dipasang tepat pukul 03.00 pagi telah berbunyi. Segera bergegas dia mengambil air wudu untuk melakukan salat Tahajud. Setelah wirid pendek, ia segera ke dapur untuk menyiapkan makan sahur. Ramadan tahun ini dia harus sahur seorang diri.

Winda memasak air, dia hanya menyiapkan segelas teh panas untuk dirinya sendiri. Mug putih itu dibiarkannya tergantung di tempatnya, tidak lagi Winda mengisinya dengan kopi panas bagi Uda Yusuf yang sekarang telah beristirahat dengan tenang di pemakaman Karet.

Tanah itu masih merah. Taburan bunga di atasnya pun masih belum mengering benar. Tiba-tiba kenangan itu membayang di pelupuk matanya, ketika Uda Yusuf menyanyikan lagu selamat ulang tahun buat Dika, anak 'mahal' yang dilahirkannya, setelah 7 tahun pernikahan, melalui proses bayi tabung.

Siang itu, tepat pada ulang tahun pertama Dika, dalam video call dari rumah sakit, Winda menggendong Dika yang menatap gambar papanya, yang sedang terbaring di rumah sakit. 

"Ayo Paaa, cepet sehat, cepet pulang...biar bisa lihat Dika belajar jalan." Winda memberi semangat kepada suami yang begitu 'ngemong' dirinya.

" Dika sayaaang, selamat ulang tahun ya, Nak. Maafkan Papa enggak bisa mendampingimu meniup lilin ulang tahun pertamamu. Doakan Papa cepet sehat ya ...." Uda Yusuf penuh antusias bicara kepada Dika yang hanya bisa menatap papanya dari layar ponsel. Berkali-kali Uda meminta maaf kepada Winda karena tidak bisa pulang untuk merayakan ulang tahun pertama anaknya.

"Maafkan papa ya sayang, karena papa enggak bisa pulang pada ultah pertamamu, berdua sama mama dulu ya, tiup lilin dan potong kuenya." Suara Uda Yusuf terdengar penuh semangat, bicara kepada Dika yang tak berkedip memandangi papanya, meskipun ia tidak mamahami apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri papanya.

Pukul 02.00 dini hari setelah menelpon, HP Winda berdering. Dari rumah sakit. Tertulisa nama Dokter yang merawat Uda Yusuf yang menelpon Winda untuk meminta persetujuannya sebagai isteri, bahwa Uda Yusuf sesak napas sehingga harus segera dipasang alat bantu pernapasan. Winda tidak percaya mendengar berita itu, karena siang hari tadi Uda kelihatan segar dan bersemangat untuk sembuh. Tidak mengira bahwa dini hari itu kondisi Uda memburuk. Tanpa ragu Winda menyetujui untuk segara dipasang alat bantu pernapasan itu. Masih berharap ada keajaiban, bahwa alat bantu napas itu bersifat sementara saja. 

Winda ingin segera berlari memberi kekuatan langsung kepada suaminya, tetapi peraturan rumah sakit tidak memperbolehkannya. Jadi, Winda hanya dapat memantau perkembangan suaminya dari video call saja setiap hari.

Waktu terus merayap, tak bisa berhenti barang sedetik pun. Dua minggu sejak dipasang alat bantu pernapasan, Winda tidak melihat perkembangan yang berarti pada kesembuhan suaminya.

Harapan Winda, sambil menatap wajah ganteng Uda melalu video call, ia ingin mendengar suara suaminya. Namun, keinginan itu ternyata tak pernah lagi kesampaian hingga Allah memanggil Uda Yusuf pulang keharibaan-Nya, meninggalkan dirinya bersama Dika saja. Rasa kehilangan yang amat mendalam membuatnya seperti tak punya daya sama sekali.

Sambil makan sahur, sesekali dilihatnya Dika di kamarnya, dia masih tidur pulas. Biasanya Winda duduk tepat di depan Uda yang menyantap makanan sahurnya, kini kursi itu kosong dan Ramadhan tahun ini Winda sahur dan puasa seorang diri.

Sabtu lalu sebelum Ramdahan tiba, Winda sempat membawa Dika ke makam suaminya untuk berziarah. Ia menumpahkan segala keluh kesahnya di pusara Uda, membayangkan suaminya mendengarkan apa yang dismpaikan. Winda teringat sebulan sewaktu Uda Yusuf masih sehat ia mengemasi barang dan pakaian pribadinya. Seperti sebuah isyarat bahwa dia telah bersiap untuk pergi, dan ternyata uda Yusuf memang pergi tak pernah akan kembali.**

Cinta yang dibangun selama 7 tahun telah memberinya banyak pelajaran hidup. Bagaimana penantian kehadiran Dika akhirnya dikabulkan oleh Allah. Namun satu tahun saja Uda Yusuf membersamai Winda mengasuh Dika, kini ia harus melanjutkan perjalanan hidupnya sendiri. 

Tiga minggu setelah kepergian suaminya, Winda memutuskan untuk segera menjual rumah yang telah ditempatinya bersama Uda Yusuf sejak mereka menikah. Rumah itu menyimpan semua kenangan bersama Uda. Winda ingin segera pindah rumah agar semua kenangan  indah bersama Uda di rumah itu tak lagi mengganggunya. Biarlah rumah itu menjadi saksi cinta mereka berdua.

"Kalau Dika sudah besar, mugkin kita bisa cari rumah yang tidak terlalu jauh dari saudara, dan kalau bisa yang juga tidak jauh dari sekolah Dika. Setelah browsing, ia menemukan sebuah rumah mungil di daerah pinggiran kota dengan harga terjangkau. Besarnya pun cukup saja, tidak terlalu besar.

Winda segera bangkit dari keterpurukannya ditinggal suami. Dia akan segera aktif kembali membuka butiknya sekaligus menjual garment secara off-line. Dia juga ingin menjalankan penjualan pakaian secara online,  kegiatan yang dapat dijalani tanpa harus meninggalkan Dika. Ia tidak ingin menitipkan Dika kepada sorang babby sitter, biar dia sendiri yang mengasuh Dika.(Bersambung)

RUMAH BARU - CerpenWhere stories live. Discover now