Pertemuan Pertama Kita

1K 44 2
                                    

Matahari bersinar begitu terik siang ini. Bahkan pendingin ruangan terasa tidak ada gunanya. Dosen Kewarganegaraan masih menjelaskan materi tentang Geopolitik Indonesia. Namun aku bosan. Aku melihat sekeliling dan banyak temanku yang sudah tertidur. Kuliah gabungan memang tidak efektif. Dua jurusan diharuskan berada di satu ruangan yang besarnya pas-pasan, menghadapi dosen yang mengoceh tiada henti, dan teriknya sinar matahari yang menembus jendela.

Para sahabatku, di sebelah kiri dan kanan sudah sibuk dengan ponsel masing-masing. Entah mendengarkan lagu, atau sekedar membuka timeline Twitter. Membosankan.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan tatapanku terhenti pada sesosok lelaki yang sedang serius mendengarkan dosen, tak jauh dari tempatku duduk. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Atau mungkin sudah, tapi aku tidak peduli. Sekarang aku tidak bisa mengalihkan perhatianku. Entahlah, tampaknya aku kagum dengan keseriusannya. Matanya fokus menatap ke arah slide yang silih berganti, dan tangannya tidak berhenti mencatat. Beberapa kali kulihat teman disebelahnya berusaha mengajaknya mengobrol, tapi hanya ditanggapinya dengan senyuman kecil. "Nanti dulu, ya." Aku membaca gerak bibirnya. Dan tanpa sadar aku tersenyum.

Tiba-tiba lelaki itu menoleh, menatapku. Mungkin dia merasa sedang diperhatikan. Aku kaget, dan mendadak terpaku. Dia tersenyum sambil mengangguk kecil. Aku membeku. Bahkan tidak terpikir untuk membalas senyumnya, sampai ia kembali menghadap ke depan.

Entah kenapa setelah itu aku merasa senang. Luar biasa senang. Aku tidak bisa mengenyahkan wajahnya yang tersenyum padaku. Senyum yang hangat, diikut tatapan matanya yang teduh. Aku terlena.

Terlalu senang bahkan untuk menyadari bahwa kuliah telah selesai. Dosennya telah keluar ruangan. Kedua sahabatku sudah bersiap untuk pulang.

"Akhirnya selesai juga. Yuk, pulang! Ngantuk, nih."

Mereka sudah mengambil tas ketika aku baru sadar bahwa bukuku masih berserakan di meja, dan laptop-ku juga masih menyala. "Kalian duluan deh, aku kayaknya masih agak lama nih."

"Yaudah, kita tunggu di kantin, ya." Merekapun berlalu bersama teman-teman yang lain.

Aku merutuki kesenanganku tadi sehingga tidak bisa fokus. Aku sadar aku tidak pernah bisa beberes cepat. Biasanya, lima menit sebelum mata kuliah berakhir, aku sudah membereskan buku dan laptop. Tapi, karena memikirkan senyuman lelaki tadi, aku seolah melupakan segalanya.

Buru-buru aku memasukkan seluruh bukuku ke dalam tas, dan mematikan laptop. Kemudian memasang sepatu yang sengaja kulepas, dan segera bersiap keluar ruangan. Saat itu aku baru sadar bahwa lelaki yang senyumnya memabukkan itu, masih di dalam ruangan. Masih mencatat. Dengan ragu, aku menghampirinya.

"Nggak pulang?" tanyaku.

Dia menoleh, dan tersenyum. Duh! "Oh? Iya, sebentar lagi. Catetannya masih kurang sedikit."

Aku mengangguk-angguk. "Oke, kalo gitu gue duluan ya."

Lagi-lagi ia tersenyum dan mengangguk. Aku baru saja akan melangkah pergi ketika ia memanggilku, "Hey! Gue Ardi."

Berusaha mengatasi kesenangan, aku tersenyum. "Gue..."

"Gue tau nama lo, kok," katanya. "Nina, kan?"

Aku terkejut. Entah harus kaget, atau senang. Atau keduanya. Dia tertawa kecil melihatku terdiam terpaku. "Sampai ketemu besok, Nina." Dia tersenyum sambil melambai, sebelum kembali konsentrasi kepada catatannya.

Aku tersenyum dan segera berjalan cepat keluar ruangan. Senang bukan main. Ternyata dia tahu namaku. Dia tahu namaku!

Aku berjalan cepat menuju kantin, tidak sabar untuk berbagi cerita. Senyum lebar masih terkembang dibibirku.

Sampai ketemu besok, Ardi...

(Not) The Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang