Dia

581 33 2
                                    

"Yang mana, sih? Yang pakai kemeja biru itu?"

Aku menggeleng. Lagi. Saat ini kami sedang berada di kantin. Jam kosong, karena dosen yang seharusnya mengajar tiba-tiba harus menghadiri seminar di luar kampus. Karena tidak ada tugas yang diberikan, aku dan dua sahabatku, Dayu dan Eva memutuskan untuk ke kantin. Tidak untuk makan, karena kami masih kenyang, namun untuk mencari sosok yang sudah beberapa hari ini memenuhi pikiranku.

Saat ini kantin memang sedang ramai. Jam makan siang. Untungnya, kami berhasil mendapatkan meja di dekat jendela yang menghadap ke arah taman kampus. Tadi, saat sedang menggosipkan seorang perempuan dari jurusan lain yang kepergok sedang jalan berdua bersama Ketua BEM yang notabene sudah memiliki pacar dari kampus lain, tiba-tiba mataku menangkap sosok dia.

Ardi.

Sudah tiga hari berlalu sejak percakapan singkat kami di kelas Kewarganegaraan waktu itu. Dan tidak ada perkembangan yang terjadi. Selama tiga hari ini, aku selalu mencarinya, tapi tidak pernah berhasil. Sedangkan Dayu dan Eva sudah mulai penasaran karena belum bertemu dengan lelaki yang, kalau mengutip kata-kata Eva, "berhasil membuat jantungku kembali berdebar setelah sekian lama hiatus."

Memang benar, sih. Terakhir kali aku tertarik pada seorang lelaki adalah dua tahun yang lalu. Berani sumpah, aku masih suka laki-laki sampai saat ini, dan tidak berniat sama sekali untuk berubah haluan, kalau itu yang kalian takutkan. Selama dua tahun terakhir ini, bukannya tidak ada lelaki yang mendekatiku, please, aku tidak semenyedihkan itu. Sebut saja ada Bima, Hari, Radit, dan Bintang. Hanya saja, aku tidak tertarik pada mereka. Simple. Lagi pula, karena sudah terlalu dekat dan terlalu nyaman dengan mereka, aku tidak pernah bisa membayangkan mereka menjadi kekasihku. Dayu dan Eve pernah memaksaku untuk menerima Bintang-dia yang terakhir mendekatiku-tapi aku menolak mentah-mentah. Buat apa pacaran kalau hanya untuk status?

Setelah Bintang, aku tidak berhubungan dengan lelaki manapun. Sampai aku bertemu Ardi.

Ah, Ardi. Dimana dia?

"Jadi, yang namanya Ardi itu yang mana, sih?!" tanya Eva, mulai sewot karena aku tak kunjung memberitahunya.

"Tadi ada, suer. Sekarang nggak keliatan sama sekali, ketutupan orang-orang itu," aku menunjuk sekumpulan orang yang baru masuk kantin.

"Eh, kelasnya Ridwan, tuh," Dayu memekik senang. Ridwan adalah kekasihnya, fyi, bulan lalu mereka baru saja merayakan anniversary ke-tiga.

Benar saja, tidak lama kemudian, Ridwan menghampiri meja kami. Jujur, aku heran dengan orang-orang semacam Ridwan. Setelah melewati beberapa kelas full sejak pagi, ia masih juga terlihat segar, wangi, dan rapi. Sedangkan aku? Rambutku yang tadi pagi masih lurus-rapi setelah selesai ditata, sekarang sudah berubah menjadi kucir kuda asal-asalan.

"Hai, Sayang," Ridwan mencubit pelan pipi Dayu yang dibalas dengan cibiran pelan yang langsung terganti dengan senyuman senang.

"Duh, siang-siang bikin makin gerah aja sih lo berdua," ejek Eve, sambil mengipaskan tangannya.

"Makanya cari pacar di sini," sahut Dayu. "Pacaran kok sama Line, BBM, SMS. Hiih."

Eva hanya memutar bola matanya kesal. Sudah terbiasa dengan sindiran-sindiran Dayu. Eva memiliki seorang pacar yang sedang kuliah di Jogjakarta sekarang, Angga. Mereka sudah berpacaran sejak kelas satu SMA, berarti sudah enam tahun. Eva sendiri tenang-tenang saja, dan hubungan LDR mereka berjalan lancar sejauh ini. Dan semoga sampai nanti. Tuhan tahu betapa aku iri akan kemesraan Eva-Angga dan sama sekali tidak rela bila mereka harus berpisah.

"Harusnya lo tuh ngomel sama temen lo masih jomblo ini, Day," Eva menunjukku. "Buka hati kok ya susah banget. Udah lah sekarang dia bisa buka hati, cowoknya nggak nongol-nongol. Ini kantin kok rame banget sih?! Nggak ngerti gue lagi kepo apa?!" aku dan Dayu saling lirik kemudian tertawa pelan. Sudah biasa, melihat Eva marah-marah sendiri, ngomong sendiri seperti ini.

"Siapa sih? Gebetan baru si Nina?" tanya Ridwan.

Dayu mengangguk semangat. "Iya, babe. Jadi, gini, tiga hari yang lalu..." kemudian mengalirlah begitu saja dari mulut Dayu cerita perkenalanku dengan Ardi.

"Tunggu, Ardi siapa nih? Nama lengkapnya lo tahu nggak?"

Aku menggeleng. "Boro-boro. Gue aja baru tahu dia sekelas di Kewarganegaraan setelah sekian pertemuan."

"Ciri-cirinya, deh."

Aku berpikir. Tidak perlu lama sebenarnya. Aku mengingat setiap detil wajahnya, sampai warna pulpen yang dia gunakan untuk mencatat waktu itu. "Tinggi, kayaknya. Rambut pendek, mata agak sipit, tajam, memabukkan dan menenangkan sekaligus," Eva terkikik. "Waktu itu sih dia pakai kacamata pas nyatet. Hmm, apa lagi ya? Mancung, bibirnya tipis. Kulit sawo matang. Duh, ganteng pokoknya, Wan! Lo kenal?"

"Yah, kalau cuma segitu doang, gue takut salah orang. Gue punya satu teman namanya Ardi soalnya, tapi nggak tahu ini Ardi yang sama atau bukan," jelasnya.

"Dia jurusan apa emangnya?" tanya Eva. "Yang teman lo itu."

"Aduh, lupa gue. Teman SMP soalnya. Pernah ketemu cuma pas jaman ospek dulu banget itu. Tapi kayaknya sih jurusan seni gitu, deh."

"Yang kemarin itu, jurusan apa yang kelas gabungan sama kita, Nin?" tanya Dayu.

Aku nyengir. "Nggak ingat gue. Boro-boro deh. Nama dosennya aja gue nggak tahu yang ngajar."

Eva menoyor kepalaku. "Memori lo tuh, bener-bener deh," ia mendengus kesal. "Giliran cowok cakep aja, inget."

Baru aku akan membalas ucapannya, tiba-tiba Ridwan berseru, "Bentar, tuh temen gue yang Ardi itu. Bentar gue panggilin ke sini deh, ya." Ia pun berlalu menuju kerumunan orang-orang.

Dayu, Eva, dan aku saling berharap.

Dalam hati aku berharap, semoga Ardi yang teman SMP, eh atau SMA ya? Duh, Ridwan adalah Ardi yang "itu".

(Not) The Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang