Tidak pernah terlintas sekalipun, bahkan dalam impian terliarku, bahwa Ardi akan terlihat serapi dan sesopan ini. Maksudku, bayangkan saja. Ketika ke kampus sekalipun, pakaian Ardi paling rapi yang pernah kulihat adalah kaos The Beatles-aku bingung, Ardi punya berapa, dalam seminggu dia bisa menggunakan tiga kaos berbeda, begitu juga minggu depannya-dan celana jeans serta sepatu Converse hitam yang sudah belel. Kemudian ransel yang seperti tidak ada isinya. Memang, ia memang sangat rajin, tapi itu semua tidak tercermin dari penampilannya.
Well, never judge a book by its cover, right?
Namun hari ini, Ardi tampil rapi. Super rapi, untuk ukuran Ardi. Ia mengenakan kemeja biru muda yang kemudian dilapisi oleh sweater biru tua, celana chino coklat, dan sepatu Converse hitam-untungnya tidak belel.
Setelah percakapan singkat dengan kedua orang tuaku-Ayah terlihat senang berbincang dengan Ardi, entah tentang apa, dan Bunda bahkan memuji kesopanan Ardi ketika mengantarku sampai pintu depan-mobil Ardi segera melaju menuju salah satu mall di bilangan Senayan.
"Lo..." aku memutuskan membuka percakapan setelah jeda cukup lama. Memutus suara Tulus yang sedang menyanyikan lagu Teman Hidup di radio, "kok tumben rapi?"
Mungkin itu adalah pertanyaan aneh, karena sejurus kemudian Ardi menatapku sesaat sebelum akhirnya tertawa pelan. Astaga, suara tawanya...kenapa terdengar merdu sekali? Aku bisa merasakan pipiku memerah hanya dengan mendengar tawanya yang renyah itu.
"Aneh ya, Na?" tanyanya.
"Euh... engga, kok," aku nyengir kuda. "Cuma heran aja, biasanya lo kalau di kampus kan...."
"Berantakan, ya?" potong Ardi.
Aku hanya bisa nyengir sambil ketawa garing. "Hehehe."
"Yaa, kan nggak mungkin gue ke rumah cewek yang gue suka dengan pakaian seolah gue mau ke kampus. Apalagi pasti ketemu orang tuanya. Ya, kan?" jawabnya sambil tersenyum ke arahku.
APA TADI DIA BILANG???
Aku terdiam, sama sekali tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sialnya, sekarang lampu merah. Masih 56 detik lagi dan Ardi masih menatapku, menunggu reaksiku.
Dan setelah menunggu beberapa saat dalam diam-aku memilih menatap jariku yang saling bertaut dipangkuanku, Ardi akhirnya berinisiatif memecah keheningan. Tangan kirinya bergerak mencubit pelan pipi kananku sambil tertawa kecil, "Kok jadi merah gini, sih? Grogi ya?"
Aku mendelik ke arahnya sambil mendengus, kemudian mengupat pelan, "Salah siapa coba? Ih," yang ternyata masih cukup keras untuk di dengar Ardi karena dia kemudian tertawa, dan disela tawanya ia berkata, "Astaga, ternyata kamu lucu banget ya, Na, kalau lagi malu."
KAMU?? Tadi dia serius bilang 'kamu'?? Sejak kapan ada peningkatan gini??? Belum sempat aku menanggapi, Ardi sudah kembali serius menatap jalanan di hadapannya.
Dari ujung mataku, aku bisa melihat Ardi sedang tersenyum, yang otomatis membuat bibirku tersenyum juga.
***
"Aku nggak tahu kalau kamu suka film action," komentar Ardi ketika kami baru saja keluar dari bioskop setelah menonton salah satu film aksi yang sedang booming akhir-akhir ini.
FYI, kami akhirnya sudah naik satu tingkat dalam hal kedekatan. Ber-aku-kamu, maksudku.
"Well, you know nothing about me, Mr. Dharmawan," balasku.
"Selain kenyataan bahwa kamu lucu banget kalau lagi malu dan bahwa ternyata kamu penggemar film action? I'd love to find out more about you, then." Aku sukses merona yang segera disambut tawa Ardi.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) The Only One
RomanceTolong, jangan mengajakku terbang tinggi, kalau menggenggam tanganku pun kamu masih ragu. Kamu mungkin peduli, tapi aku tahu, aku tidak pernah menjadi prioritasmu nomor satu. Karena aku tahu, selain namaku, kamu juga masih menyimpan namanya disudut...