Ini Cerita Lama

13 2 0
                                    

Wush...

Angin bertiup kencang kala sebuah kereta melaju cepat, menghempas pita merah yang mengikat rambutku. Helaian rambutku kini berhamburan, tidak karuan.

Hap!

"Pitamu lepas, sini biar aku bantu" Katamu yang dengan sigap menangkap sehelai pita itu. Tanpa aba-aba langsung memasangkannya padaku. Tangan terampilmu lalu mengikat rambutku menggunakan pita yang tadi kau tangkap.

"Enggak pakek pita juga enggak apa kok" Ujarku padamu, sesosok lelaki yang amat kukenal. Rambut dan manik mata hitam serta senyum yang sepertinya mulai detik ini akan selalu aku rindukan.

"Udah selesai, cantik deh" Gumammu bangga tepat setelah selesai mengikatkannya dengan rapi.

"Bisa enggak, kamu jangan pergi?" Aku bertanya, setengah merajuk.

Kamu tersenyum kecut, "Maunya sih gitu, tapi enggak bisa" jawabmu murung seranya memelukku erat-erat pada akhirnya.

Aku semakin merenggut sedih. "Percuma aku cantik, kalau kamu enggak di sini."

"Aduduh... makanya tungguin sampai minggu depan dong. Ya? Ya?" Kini, menggunakan kedua tangan kau menangkup pipiku yang memerah, menahan malu.

"Awas aja kalau kamu enggak dateng" Setengah bercanda, aku mengancammu dengan jari kelingking teracung.

Kamu mengangguk mengerti, menyambut jari kelingkingku lalu menautkannya. "Iya, janji"

"Jangan suka sama cowok lain selama aku pergi ya" lanjutmu lagi tanpa melepas kaitan pada jemari kita.

"Kalau kamunya lama, aku bakal pikir-pikir lagi" Aku menjawab sambil tertawa kecil.

"Cih, tungguin dong. Oh! keretanya sudah datang. Aku pergi dulu ya" Kamu berseru kala sebuah kereta uap terlihat datang dari kejauhan.

"Iya hati-hati di jalan!" Aku berteriak pada punggungmu yang berlalu pergi memasuki gerbong kereta.

Kamu menepuk dahi pelan. "Eh iya, hampir lupa" Seketika berbalik kembali ke arahku sambil berlari tergesa. Teringat ada sesuatu yang nyaris saja terlupa.

"Apa? Ada yang ketinggal-?" Pertanyaan panikku terpotong saat menyadari sebuah kecupan mendarat di dahi. Aku membeku sejenak sementara kamu tersenyum riang.

"Tungguin ya" ucapmu parau, sebelum akhirnya benar-benar berlari ke arah kereta sambil memecah kerumunan orang.

"Sampai jumpa!!" Teriakanmu dengan wajah sumringah terlihat jelas. Kamu bahkan harus berlari mundur agar bisa melambaikan tangan penuh semangatmu padaku. Sikapmu tentu saja mengundang sejuta pasang mata untuk melirik.

Aku tersenyum malu, ikut melambaikan tangan padamu yang berlari kian menjauh.
Melihat sendiri bagaimana kereta melaju, membawamu pergi.

***


Drek... Drek... Drek...

Puluhan kereta melintas di atas rel. Silih berganti datang dan pergi, namun tidak ada satupun yang membawa dirimu pulang. Bahkan setelah gerbong kereta terakhir beroperasi, kamu tidak kunjung kutemui.

Waktu bergulir dan terus mengalir. Seperti penantianku yang entah kapan akan berakhir.

Tempatku berpijak kini, perlahan tapi pasti mulai berganti. Stasiun kereta yang menjadi tempat kita berpisah tidak lagi ada. Ia telah beralih fungsi menjadi jalanan yang ramai di lalui orang. Meski begitu, aku masih setia menunggu. Termangu sendiri seakan waktuku terhenti di saat itu.

Semakin lama, rasa lelah kian menumpuk. Menantimu yang tidak kunjung kembali membuat asaku menipis, lalu di satu titik berakhir terputus.

"Apa aku bilang? Percuma aku cantik kalau kamu tidak ada" Aku bermonolog. Dalam hati, mencoba menerima. Mungkin sudah waktunya untuk merelakan.

Sebelah tanganku melepas pita merah yang selalu aku pakai. Helaian rambut hitamku tergerai menutupi separuh wajah. Pita inilah yang kamu pasangkan hari itu. Hatiku selalu terasa berat untuk melepaskan, namun tetap kubiarkan angin membawanya.

Aku berani bertaruh, tidak satupun orang pernah mengira bahwa aku akan tetap menantimu yang tak pasti itu. Sebanyak apapun aku lahir dan mati, sebanyak apapun ragaku berganti, atau entah sudah berapa takdir yang terlewati dalam setiap kehidupan yang kujalani, aku selalu mengingatmu. Aku tahu, dan aku pun yakin bahwa kamu akan sama seperti orang lainnya. Kamu mungkin saja sama sepertiku yang menjalani berpuluh-puluh kelahiran, namun tidak sepertiku kamu tidak akan pernah ingat. Perpisahan kita mungkin hanya akan jadi cerita lama yang tidak seorangpun peduli. Jadi, selama ini aku berharap apa?

"Aku pernah bilang kan? Kalau kamu lama datang, aku bakal pikir-pikir lagi?" Aku berujar lirih. Air mata menetes pilu, sedangkan kedua kakiku masih diam termangu.

Setelah menguatkan diri, kali ini aku memutuskan untuk beranjak pergi.
Menyerah akan kedatangan nihilmu itu ataupun harapan tentang pertemuan kembali kita. Semesta tidak ingin kita jumpa, jadi untuk apa bersikeras?

Aku hendak beranjak pergi, tapi kuurungkan sebab sebuah tangan tiba-tiba menggenggam sebelah lengan. Menahanku melangkah lebih jauh.

"Ini, pitamu lepas" Begitu ucap sosok yang menahan sebelah lenganku itu. Aku menoleh, dan yang kudapatkan setelahnya hanya rasa hampa. Semesta pasti bercanda.

Dua buah bola mata sehitam arang menatap ke arahku. Sorot mata yang persis sama seperti saat terakhir kali kita berpandangan. Aku tersenyum pahit, menyadari bahwa orang itu adalah kamu. Terlihat sama meski kini terasa berbeda. Lihat? Kau pasti lupa.

Malangnya aku yang tidak bisa melupakanmu dan terus menunggu dari waktu ke waktu. Menyelam dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain.

"Sini, biar aku bantu" Kamu yang terasa asing bagiku, kembali berucap. Berjalan mendekat guna memasangkan kembali pita milikku.

"Tidak perlu-"  Aku belum selesai bicara, tapi kamu sudah memasangkan pita itu dengan sigap. Mengulang kembali apa yang dulu pernah kau lakukan padaku.

Aku terhenyak. Memandang bingung pada reaksi terkejut yang tiba-tiba hadir di wajahmu. Beberapa saat kamu terlihat linglung seperti tersesat di antah berantah. "Kamu gapapa?" Aku bertanya khawatir.

"Eh?" Suaraku sepertinya membawamu kembali pada kenyataan. Perlahan, sorot matamu terasa semakin menghangat. Atau hanya aku yang merasa begitu?

Kamu tampak berfikir. Seolah sedang mengingat sesuatu atau menyatukan pecahan memori secara perlahan. Aku mencoba menerka, apakah kamu mengingat tentangku?

"Udah selesai" Kamu berseru setelah selesai mengikatkan pita merah itu. Kedua tangamu lalu meraih pundakku. "Akhirnya kita ketemu lagi. Terima kasih dan maaf karena sudah menungguku" Suaramu terdengar sendu.

Aku terisak. Perlahan, kamu mengikis jarak di antara kita. Membawaku kedalam pelukmu. 

Aku kira hanya aku yang keras kepala. Kukuh melawan siklus alam yang berulang hanya demi bertemu denganmu.

Tapi aku salah. Ternyata, kamu juga sama.

"Aku kembali"  Disela tangis, kudengar kau berucap begitu.

Selesai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEA SALTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang