Tiap kusibak tirai berwarna kuning cerah tersebut, aku selalu bertanya-tanya 'mengapa rasa benci selalu hadir kala melihatmu ada dibaliknya?'.
Iya, kamu yang berada di balik tirai tersebut. Sosokmu yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk berjuang. Bahkan terkadang sampai melewati batas kemampuan, selalu memaksakan diri adalah kebiasaanmu.
'Karena hidup ini bukan soal untung-untungan, melainkan tentang arti sebuah harapan. Kalau kau tidak memilikinya, maka hidupmu kurang berarti' Kalimat itu terlintas di benakku. Perkataanmu seperti baru saja diucapkan kemarin. Mungkin sebab ucapan itu adalah sesuatu yang paling sering aku dengar darimu tatkala kita menemukan bahwa angan acap kali menyimpang dari prediksi.
Aku mungkin tidak akan bisa hidup seperti itu. Tidak akan pernah, dan aku pun tidak menginginkannya.
Untuk apa terus menggantungkan harapan pada angan-angan seperti ini? Lagipula, nantinya akan digilas realita bertubi-tubi. Masa bodoh dengan hidup berarti, bukankah seharusnya kita lebih cemas pada masa depan yang tidak kunjung pasti?"Aku tidak akan hidup sepertimu. Tidak akan pernah" Jawabku sambil meremas tirai kuning itu hingga buku-buku jariku memutih karenanya.
Lontaran kata-kataku membuatmu menoleh, baru menyadari sosokku tengah mengamati dirimu diam-diam dari balik tirai. Kamu menyambut dengan seulas senyum hangat.
"Daze... sedang apa kau disana? Kemarilah" panggilmu saat melihatku, mengajak untuk mendekat daripada hanya bergeming di sudut tergelap ruang ini.
"Hentikan saja. Lagipula berhenti melakukan hal seperti ini tidak akan membuat hidupmu hancur" aku berkata tanpa berpikir. Perkataan kejam yang lebih dari cukup untuk mematahkan sebuah semangat. Aku memang jahat sebab mencoba padamkan nyala asa yang telah terpahat di lubuk hatimu.
"Kenapa?" Tanyamu yang kemudian kubalas sinis.
"Kenapa? Kau masih bertanya kenapa? Andai saja kau bisa lihat sendiri kenyataannya"
Dirimu menggeleng, mengelak dan menganggap ucapanku itu tidak sepenuhnya benar. "Daze... Aku baik"
"Tapi, aku tidak. Aku tidak baik-baik saja"
"Kau takut kecewa kalau nanti aku gagal? Ya ampun manisnya... Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja" ucapmu sambil mengusap puncak kepalaku sembari tersenyum hangat memandangi mimik wajahku yang berbanding terbalik 180°.
"Oh iya, lihat ini! Aku membelinya dan akan kugunakan saat tampil nanti"
Aku masih bergeming, melihat bagaimana ekspresi bangga itu hadir bersamaan dengan dirimu yang mendekap erat-erat sepasang sepatu berwarna merah muda cerah, bagaikan menggenggam sebongkah berlian. Begitu berkilau di matamu, dan amat berarti. Menjadi bukti nyata dari usaha yang selama ini dikerahkan.
"Lucu sekali! Pertama kali lihat, kukira warnanya jingga tapi setelah dilihat secara teliti ternyata merah muda. Hehehe..." Kau terkekeh riang setelah berucap begitu.
Aku tidak habis pikir bagaimana senyum tulus bisa melekat saat mengatakan hal sepele seperti ini. Andai ketika kutengok di masa mendatang senyummu sama seperti sekarang, mungkin tidak akan pernah ada rasa gelisah yang menghantui diriku kini.
***
Waktu, perlahan tapi pasti terus bergulir. Hari berganti, begitupun musim turut berlalu. Namun seperti yang sudah aku perkirakan, hal paling menyakitkan itu datang dan menunjukkan wajahnya padamu. Kau berhadapan dengan apa yang selalu kutakuti tanpa sempat mengelak.
Kini, yang kulakukan hanyalah bergeming, layaknya seorang pengecut dari balik tirai berwarna kuning cerah kita. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yang kudengar sekarang hanyalah sayup-sayup suara isakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEA SALT
Short StoryDalam benak orang, hidangan pencuci mulut selalu berkaitan dengan sesuatu yang manis. Namun, apa jadinya jika rasa yang hadir justru asin? Seasin garam di laut lepas. Eits... Jangan beranjak pergi dulu, bisa saja garam di dapurku tidak seasin yang...