Di Penghujung Kisah

9 2 0
                                    

Putri Akasia berdiri seorang diri sembari menghembuskan nafas jenuh berulang kali. Dalam benaknya terpatri sebuah impian bias yang mustahil untuk tercapai. Satu-satunya yang Tuan putri inginkan hanyalah bagaimana- atau lebih tepatnya, adakah suatu cara bagi dirinya untuk bisa menghilang diam-diam dan tak pernah ditemukan lagi oleh siapapun.

Bukan tanpa alasan mengapa hal-hal semacam itu bisa terbesit di kepala sang putri. Belakangan ini, ia merasa seluruh aktivitas yang telah dilakukan bertahun-tahun terasa begitu monoton dan hambar.
Tuan putri terlalu asyik berkutat dalam lamunannya sampai tidak menyadari adanya sebuah gelombang besar tengah menggulung di balik punggungnya. Gelombang itu sudah siap menghempaskannya bersama deburan ombak, andai Putri Akasia tidak segera berbalik dan menghentikannya.

Ombak tadi berhenti tepat dihadapan Putri Akasia yang memandang gulungan air itu dengan tatapan datar.

"Ah, dasar payah!" Gerutuan milik Zenn, si pangeran lawan main si putri terdengar dari balik ombak. Wajah tampannya mengkerut kesal melihat tindakan Putri Akasia.

"Kalau tingkahmu begitu terus, cerita dongeng tidak akan menarik lagi! Kau kira dengan begitu bisa membuat semua membaik? Huh?" Zenn kembali melanjutkan keluhannya.

Sang putri menghela nafas lelah. "Apa salahnya? Lagipula dongeng klasik yang setiap saat kuperankan ini memang membosankan"

"Maaf sobat, kebosanan itu hanya berlaku padamu, sementara diluar sana masih banyak anak kecil yang sepanjang malamnya sebelum tidur ingin mendengar dongeng, dan bisa jadi mereka bukanlah anak yang sama dengan yang kemarin" Penjelasan Zenn seketika membungkam Putri Akasia. Ia tidak pernah bermaksud untuk menghalangi keinginan setiap anak yang ingin mendengar kisahnya. Hanya saja, ia merasa kian hampa.

"Kalau kau lelah, lebih baik kau pergi istirahat saja" celetuk Zenn sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan sang putri seorang diri. Malam ini, Putri Akasia kembali mengucap keinginannya tanpa seorangpun tahu.

***

"Tak apa, kau tak perlu memaksakan diri" Ujar Moris, mencoba menghibur Putri Akasia.

Putri Akasia memutar bola mata malas. "Kenapa dunia ini membosankan sekali. Kau lihat sendiri, cerita kuno seperti ini tidak akan menarik lagi, bukan? Sumpah! Aku tidak mau hidup dalam peran ini selamanya. Aku ingin bebas"

"Tapi disinilah kita. Kalau dirimu tidak semangat begini, bagaimana nasib anak-anak di luar sana?" Moris si tabib istana menyahuti perkataan sang putri dengan tenang. Ia sudah sangat terbiasa menjadi teman curhat Putri Akasia.

Tuan putri cemberut tidak setuju. "Aku lihat tiap malam mereka langsung tertidur. Mereka pun sudah lelah mendengar dongeng, Moris"

"Tidak, Tuan Putr-"

"Sudahlah. Kau juga sama saja" belum sempat Moris menuntaskan kalimatnya, suara Tuan Putri terlebih dahulu menyela. Putri hendak bangkit dari tempat duduknya dan melenggang pergi, tetapi suara Moris yang kembali terdengar membuatnya berpikir ulang.

"Ketahuilah Putri. Kau boleh keluar dari peranmu, tetapi hanya dengan satu cara"

"Apa itu?" Putri Akasia bertanya antusias. Manik mata Tuan putri bersinar penuh rasa ingin tahu.

Moris menoleh sebentar ke arah tuan putri, sebelum akhirnya berpaling kembali untuk fokus meracik obat herbal. "Kalau dongeng ini sudah tidak ada lagi, atau dengan kata lain tidak seorangpun menginginkannya. Saat itulah, kau bisa bebas dari peranmu disini"

"Hah?! Hal itu mustahil bisa terwujud dalam waktu dekat"

"Tidak juga, lihatlah putri" Moris si tabib istana menunjuk ke salah satu sudut dinding ruangannya yang sedikit demi sedikit memudar. Retakan yang semula tidak begitu ketara, kini terlihat jelas.

SEA SALTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang