DALAM CANGKANG

1 0 0
                                    

Dari kejauhan terdengar suara riuh dari rumah berdinding putih kusam yang sebagian berlumut. Rumah di paling pojok kampung ini memang tidak terlihat paling lusuh. Setidaknya rumah itu kurang lebih sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah itu kecil:dikontrakan oleh Haji Babe yang kemana-mana harus memakai perhiasan di atas gamis mahalnya.

Keluarga Eko sudah menyewa kontrakan itu semenjak 10 tahun yang lalu. Tahun itu, pertama kali Ratna bertemu dengan ayah tirinya. Ia dan Ibunya seperti sedang dikejar maling. Mereka keluar dari kandang buaya untuk masuk ke kandang singa. Tidak ada gunanya.

"Jangan, mas!"teriakan wanita dari dalam rumah membuat Ratna bergegas.

Ketika ia membuka pintu dengan tergesa, terlihat Ibunya sedang meringkuk melindungi dua anaknya. Seorang pria dengan badan besar dan wajah geram sedang memegang gagang sapu. Tangannya tertahan di udara seketika Ratna menerobos masuk dan langsung memeluk Ibunya.

"Bangsat, mau sok jadi pahlawan kamu?!"bentak Eko yang kemudian mengayunkan gagang itu ke punggung Ratna.

Ratna menelan sakit. Rasa pahit menguasai isi mulutnya. Ia tiba-tiba teringat dengan rasa sayur pare yang sering dimasak oleh Ibu untuk ayah kandungnya.

Eko tidak hanya mengayunkan satu hentakan gagang saja. Ia memukul punggung Ratna sampai ujung gagang sapu itu patah. Tidak hanya itu, ia berupaya untuk meraih botol minuman keras yang berserakan di pojok ruang tamu. Namun, ia mengurungkan niatnya itu ketika Ratih berteriak.

"Berhenti! Berhenti!"teriak Ratih frustasi. Melalui insting seorang ibu, ia menarik Ratna ke belakang tubuhnya. Bersikap melindungi anak-anaknya.

"Kalau kamu menyakiti anak-anak saya. Kamu nggak bakal pernah tahu dimana tabungan itu!"ancam Ratih. Kedua matanya melotot keluar, wajahnya merah, dan matanya kabur oleh air mata.

"Istri nggak tahu diuntung. Dimana tabungan itu?"Eko menurunkan botol di genggamannya.

Ratih menoleh ke arah Ratna lalu kedua anaknya. Ada keraguan terbesit dalam hatinya. Tentu saja ia tidak akan rela apabila uang hasil jirih payahnya menjadi buruh cuci berakhir di tangan jahanam ini. Tapi, jika ia tidak memberikan uang itu, nyawa ketiga anaknya akan menjadi taruhan.

Ratna tahu bahwa memar biru keunguan di wajah dan badan Ratih merupakan sebuah penyesalan telah membawanya hidup di dunia yang kejam ini. Ia pun tidak pernah punya pilihan lain.

"Ada di bank. Saya akan beri tabungan itu. Tapi dengan satu syarat, biarkan kami pergi dari sini. Jangan pernah cari kami."ujar Ratih.

Tawa Eko menggelegar pecah. Bahkan, dari ujung kedua matanya, menetes air mata kekonyolan.

"Jangan konyol kamu, Ratih. Bisa apa pelacur seperti kamu, hah?!"Eko menarik rambut Ratih.

"Baiklah. Kalau gituh, bunuh saja kami disini. Kamu tidak akan pernah dapat uang itu! Bunuh kami! Ayo!!"tantang Ratih sambil menahan tangan Eko dibelakang kepalanya.

Eko, pekerja bangunan yang hampir mati setelah jatuh dari ketinggian 30 meter, berupaya tenang. Otaknya mungkin terluka dan tidak pernah sembuh akibat dari kecelakaan itu, tapi ia selalu percaya pada instingnya. Insting abal-abal itu mengatakan untuk mengikuti permainan Ratih.

Eko melepas tangannya dari rambut Ratih.

"Anak-anak, sekarang kalian berkemas. Cepat!"sahut Ratih. Tanpa menoleh ke Ratna, ia berkata, "Ratna. Kemasi barang-barang Ibu. Kita bertemu di tempat waktu itu. Mengerti?"

"Iya, Bu."jawab Ratna mengerti.

Ratna dan kedua adiknya bergegas ke kamar mereka. Mengemasi pakaian dan barang mereka yang tidak berharga ke dalam satu tas jinjing besar. Barang keempat orang itu muat dalam satu tas jinjing.

Galih dan Ratna (Skeptis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang