TRAUMATIS

3 0 0
                                    

Perasaan yang mengganjal terus menerus mengusik Ratna. Ia bukannya tidak lega Ibunya berhasil datang dengan keadaan tubuh yang utuh, tetapi saat ini Ratna seperti melihat boneka yang hanya berpura-pura hidup. Sudah tiga hari Ibunya sakit demam. Dokter di puskesmas menyarankan untuk rujuk ke rumah sakit besar apabila demam Ibu tidak turun selama tiga hari.

Saran itu tidak pernah direalisasikan. Selain karena masalah biaya, Ibu juga memilih untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Entah bagaimana, Ratna merasakan déjà vu. Ia seperti merawat perempuan sakit 10 tahun lalu.

"Loh, lu ga sekolah lagi?"Mira, yang hendak pergi kerja tertahan di ruang tamu. Mira duduk di kursi kayu itu dan memakai sepatu berhak super tingginya. "Harusnya lu sekolah aja. Ibu lu juga udah gede."

Ratna hanya melempar tatapan sayu.

Mira kadang merasa jengah dengan sikap ponakannya itu. Padahal sewaktu kecil, ia hanya melihat ponakannya itu sebagai putri kerajaan yang cantik dan lugu. Kini, setelah tertampar pahitnya kenyataan, Mira setuju untuk tidak bersikap lembut kepada siapapun, terutama keluarganya.

"Ya udah. Gue berangkat dulu. Entar lu kunci aja semua pintu. Gue pulang subuh."ujar Mira yang merapikan mini dress ketatnya. Ia menutupi badannya dengan jaket kulit yang sudah lusuh. Riasannya menor dan anting yang menggantung di kedua telinganya besar.

Ratna mengangguk.

Ibunya masih tertidur pulas dan kedua adiknya sedang mengaji di masjid dekat kontrakan Mira. Si kembar memang jago beradaptasi. Mereka seakan deprogram untuk beradaptasi. Seakan sebelum diberikan kepada Ratih, Aldo dan Aldi diberi ceramah panjang oleh Tuhan mengenai pentingnya adaptasi diri sebagai anak dari Ratih.

Ratna memutuskan untuk memeriksa ponselnya. Layar ponselnya terbelah menjadi dua karena beberapa malam lalu sempat jatuh dengan keras mengenai aspal. Untungnya, ia masih bisa menyelamatkan ponselnya itu.

Ia membuka satu-satunya pesan yang muncul di layar ponselnya.

Na, besok kita nongkrong lagi ya. Jangan lupa.

Pesan itu terkirim tiga hari yang lalu. Seketika Ratna merasa bersalah kepada Galih. Tapi, ia malu untuk membalas pesan itu. Kakinya kini diberi pemberat. Ia hanya perlu masuk karung dan ditenggelamkan di sungai paling kotor se-Jakarta.

Pada akhirnya, Ratna hanya mendiamkan pesan itu dalam kondisi terbaca.

**

Jennifer sedang ngibing di lantai dansa. Tangannya membawa sebotol beer dan pinggangnya sedang dijelajahi oleh seorang pria. Pria itu pastilah bukan Galih. Sebab, sepanjang dua jam, Galih hanya duduk di kursi meja bar sambil mengalihkan pikirannya yang masih bertengger pada nama Ratna.

Pesannya sudah dibaca, tapi mengapa tidak ada balasan, Galih bertanya-tanya. Ia sudah hampir gila. Mungkin tengah malam nanti ia akan kehilangan kewarasannya.

Seorang perempuan dengan mini dress hitam berbelahan leher rendah mencolek Galih. Galih sontak terkejut. Ia tidak ingin dilayani oleh siapapun.

"Sendirian, bang?"tanya perempuan itu genit.

Dari penampilan dan logat bicara, Galih tahu perempuan ini menggodanya demi uang.

"Sama temen."jawab Galih ketus.

"Ih, jutek amat deh. Main aja yuk sama aku. Murah loh."godanya.

"Nggak minat. Sori."jawab Galih lagi.

Perempuan itu pergi begitu saja. Ketika Galih menoleh ke arah Denis yang sedang bermain bilyar, perempuan itu sudah melingkarkan lengannya di lengan Denis. Galih tahu bahwa Denis tergoda. Terbukti ketika mereka yang kemudian menghilang dari klub malam ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Galih dan Ratna (Skeptis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang