Rudelle meringis saat dirinya terbangun dan merasakan rasa sakit yang menggigit di sekujur tubuhnya. Rasa sakit yang tentu saja belum pernah ia rasakan seumur hidupnya sebagai seorang nona muda dari kediaman bangsawan bergelar Count. Rudelle menipiskan bibirnya mengingat siapa orang yang sudah membuat dirinya mengalami semua hal yang mengerikan ini. Rudelle merasa mual saat dirinya mengingat wajah tampan yang rasanya tidak pantas dimiliki oleh Hobart. Rasanya, wajah tampan yang ia miliki sangatlah sia-sia dimiliki oleh orang yang tidak bermoral dan gila sepertinya. Berkali-kali Rudelle memaki Hobert dalam hatinya. Amarahnya pada pria itu tentu saja tidak akan habis dalam waktu yang singkat.
Jika saja Hobart tidak menculiknya, menyekapnya, dan hampir melecehkannya, Rudelle tidak mungkin bertindak gila dengan melemparkan diri ke jurang dan berkahir di tempat yang tentu saja tidak pernah ia bayangkan. Rudelle mengedarkan pandangannya, dan sadar jika dirinya saat ini tengah berada di dalam pondok kayu. Ada sebuah perapian di mana kayu-kayu tengah dilahap oleh api, dan menyebar suhu hangat di dalam pondok kayu yang memang cukup besar tersebut. Rudelle tidak bisa melihat siapa pun di pondok tersebut. Ia pun meringis dan berusaha untuk bangkit dari posisinya. Setelah berhasil duduk bersandar pada dinding kayu yang menempel pada salah satu sisi ranjang, Rudelle baru sadar jika di balik selimut bulu yang ia kenakan, tidak ada sehelai pakaian pun yang membalut tubuhnya yang dipenuhi luka memar dan goresan.
Wajah Rudelle memerah. Ia tentu saja berharap, jika orang yang menolongnya bukanlah seorang pria. Jika iya, maka itu sangat memalukan. Dan hal yang lebih buruk akan terjadi. Tubuh polos Rudelle sudah dilihat oleh seorang pria, maka hukumnya wajib bagi Rudelle untuk menikah dengan pria itu. Rudelle tentu saja tidak mau menikah dengan pria asing. Sayangnya, beberapa saat kemudian, rasanya Rudelle yang masih bergelung dalam selimut, ingin segera melarikan diri atau memilih mati tenggelam saja di sungai. Karena ternyata, apa yang ia takutkan memang benar terjadi. Orang yang menyelematkannya tak lain adalah seorang pria. Pria yang sangat seksi, dengan tubuh tinggi kekar, rambut abu-abu keperakan, dan netra kelabu yang sangat indah.
Rudelle memekik saat seekor anjing besar belari pandanya dan menjilati tangannya. Pria berambut abu-abu itu mendengkus melihat hewan peliharaannya yang tampak begitu senang pada Rudelle. "Gray, duduk! Kau menakuti tamu kita," ucap pria itu dengan suara rendahnya dan seketika membuat Gray duduk dengan tenang. Hanya saja, Gray masih menatap Rudelle dengan penuh minat, seakan-akan sudah tidak sabar untuk segera bermain dengan Rudelle.
"Tu, Tuan—"
"Minum dulu," potong pria bernetra abu-abu itu sembari menyodorkan gelas pada Rudelle.
Tentu saja, Rudelle segera meminumnya, saat baru sadar jika tenggorokannya memang sudah sangat kering. Setelah minum, pria itu kembali mengambil gelasnya dan berkata, "Nich. Panggil aku Nich."
Rudelle pun mengernyitkan keningnya. Pria ini memperkenalkan diri dengan nama panggilan, dan bukannya nama keluarga. Itu artinya, ada kemungkinan jika pria ini bukanlah seorang bangsawan atau orang yang mungkin memiliki ikatan atau bersinggungan dengan para bangsawan. Setidaknya, ini adalah hal yang sangat baik bagi Rudelle. Ini tempat aman bagi Rudelle untuk bersembunyi, sebelum kembali ke keluarganya. Namun, mengingat perjodohan yang menjadi wasiat sang kakek yang sudah meninggal dua tahun yang lalu, membuat Rudelle semakin mengernyitkan keningnya. Kakek Rudelle memang sudah meninggal dua tahun yang lalu, tetapi wasiatnya baru dibuka tepat saat Rudelle berusia sembilan belas tahun, sesuai dengan permintaan sang kakek.
Namun, hal yang mengejutkan dalam wasiat itu adalah, selain Rudelle akan menerima delapan puluh persen warisan dari keluarga Count Barret yang menjadikannya sebagai seorang pewaris muda kaya raya, Rudelle juga mendapatkan sebuah wasiat perjodohan yang mengharuskannya menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia temui. Hal yang ia ketahui mengenai calon suaminya adalah nama, gelar, dan rumor yang mengatakan jika pria itu adalah pria bengis, kasar, dan misterius. Pria yang jelas sangat jauh dari kriteria suami idaman Rudelle.
"Sekarang berbaliklah, aku akan memakaikan obat di punggungmu. Luka di tangan dan kakimu sudah lebih baik, karena aku sudah mengoleskan obat di sana, tetapi di punggungmu belum," ucap pria bernetra abu-abu yang ternyata bernama Nich itu.
Rudelle tersadar dari lamunannya dan menatap Nich dengan netra biru lautnya yang sebening air laut. Nich seakan-akan bisa melihat dasar laut melalui netra jernih itu. "Ti, Tidak mau! Kamu juga sudah melihat tubuhku! Tidak sopan! Kamu harus bertanggung jawab," ucap Rudelle lalu tanpa sadar netranya mulai berkaca-kaca.
Rudelle merasa sangat frustasi. Ia baru saja berhasil melarikan diri dari si gila Hobart, dan sekarang dirinya kemungkinan besar harus terikat dengan pria asing yang tidak ia kenali karena sudah melihat tubuh polosnya. "Ya, aku akan bertanggung jawab," ucap Nich seolah-olah tidak peduli dan segera mengubah posisi duduk Rubelle menjadi memunggunginya.
Nich pun mengoleskan dedaunan obat yang ia tumbuk halus pada luka memar dan gores pada punggung Rudelle yang terlihat sangat terawatt sebelumnya. "Apa kau tau, apa yang kau katakan barusan?" tanya Rudelle sembari menahan perih karena obat yang menempel di permukaan kulitnya.
"Ya, aku tau. Aku hanya tinggal bertanggung jawab saja," jawab Nich membuat Rudelle menggigit bibirnya keras.
"Kau harus menikahiku, karena sudah melihat bagian tubuhku yang tidak seharusnya kau lihat," ucap Rudelle sukses membuat tangan Nich terhenti mengoleskan obatnya.
Namun, beberapa saat kemudian Nich kembali mengoleskan obat itu dan berkata, "Anggap saja aku tidak melihat apa pun, toh aku tidak mengingat apa yang sudah aku lihat."
"Lalu, kau kira saat ini kau tengah mengoleskan obat di mana?" tanya Rudelle sengit.
Nich terdiam dengan kening mengernyit menatap punggung ramping Rudelle. "Aku mengoleskannya pada punggungmu," jawab Nich.
"Maka kau memang harus menikahi aku! Kau harus bertanggung jawab, kau sudah melihatnya," ucap Rudelle sembari menahan tangis. Jika hal ini diketahui oleh orang tuanya atau orang lain, tidak ada satu pun orang yang mau menikahi Rudelle. Pandangan orang-orang pasti akan berubah sangat buruk terhadapnya. Persetan dengan perjodohannya, Rudelle memilih melepaskan gelar kebangsawanannya dan menikah dengan orang biasa seperti Nich daripada harus dikucilkan di pergaulan kelas atas yang terasa mengerikan baginya.
"Tapi aku sudah memiliki tunangan. Aku sudah dijodohkan sejak kecil," ucap Nich membuat Rudelle mengernyitkan keningnya.
"Aku pun memiliki tunangan. Aku memiliki wasiat, untuk menikah dengan seorang pria yang bahkan belum pernah aku temui," ucap Rudelle dengan suara sendu.
Nich kembali terdiam. Ia menarik diri, membuat Rudelle menoleh padanya. Namun, ternyata Nich tengah membuka bajunya, mempertontonkan tubuh bagian atasnya yang tampak begitu kekar. Tentu sja Rudelle menjerit, dan berusaha untuk menutup kedua matanya. Walaupun kedua matanya tidak bisa diajak bekerja sama, karena sama sekali tidak bisa menutup. Tampaknya, kedua mata Rudelle sudah lebih dulu merasa ingin dimanjakan oleh pemandangan, miliki pria seksi itu. Nich pun berkata, "Kita buat impas saja. Sebelumnya, aku sudah melihat tubuh polosmu, maka kini kau lihat saja tubuh polosku."
Mendengar hal itu, Rudelle memerah. Ia berubah panik saat Nich akan melepaskan celananya. Dan Rudelle pun pada akhirnya menjerit, "Tuhan, kenapa aku terus bertemu dengan orang gila?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Rudelle : the Unexpected Husband
Romance[Karena mengandung unsur DEWASA maka SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE. FOLLOW SEBELUM MEMBACA. Biar nyaman bacanya😄] Rudelle merasa jika usia sembilan belas tahun adalah usia yang paling sial baginya. Tahun di mana dirinya mengalami semua pengalaman ter...