Kemanakah Nuraniku

18 2 3
                                    

Hari pernikahan itu datang, Aku datang seumpama tawanan yang digiring ke tiang gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa, tanpa cinta. Apa mau dikata, cinta adalah anugrah Tuhan yang tak bisa dipaksakan. Pesta meriah dengan bunyi empat grup rebana terasa konyol. Lantunan Sholawat Nabi terasa menusuk nusuk hati. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!  Perasaan dan nuraniku benar benar mati!

Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku bagai teriris iris. Aku benar benar merana. Satu satunya harapanku berkah dari Allah atas baktiku pada ibu yang amat sangat kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya..

Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksakan untuk memuliakan Raihana sebisanya. Kupaksa untuk romantis, bukan karena cinta. Sungguh, bukan karena aku mencintainya. Hanya sekedar karena aku seorang manusia yang sedari kecil terbiasa membaca ayat ayat Nya. Oh alangkah dahsyatnya sambutan cinta Raihana atas kemesraan yang pura pura itu. Saat Raihana tersenyum mengembang, hatiku merintih menangisi kebohongan dan kepura puraanku. Apakah aku telah menjadi orang munafik karena mendustai diri sendiri dan banyak orang? Yaa Tuhan.. mohon ampunan. Aku yang terbiasa membaca ayat ayat Nya kenapa Bisa sedemikian dustanya? Kenapa? Pertanyaan pertanyaan itu menebas leher kemanusiaanku, dan aku pasrah tanpa daya.

Tepat dua bulan setelah pernikahan, Kubawa Raihana ke rumah besar yang kubeli di pinggir kota Malang. Mulailah nyanyian hampa kehidupan mencekam. Aku tak menemukan adanya cinta. Hari hari indah pengantin baru, mana? Mana hari hari indah itu? Tak pernah kurasakan! Yang kurasakan hanyalah siksaan siksaan jiwa yang mendera dera.

Oh.. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan aku hidup bersama seorang istri. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama makhluk bernama Raihana, isteriku. Tapi, Masya Allah, bibit bibit cintaku tak juga tumbuh. Senyum manis Raihana tak juga menembus batinku. Suaranya yang lembut terasa hampa. Wajahnya yang manis dan teduh tetap saja terasa asing bagiku. Sukmaku merana. "Duhai cinta! Hadirlah! Hadirlaah!! Aku ingin merasakan bagaimana indahnya mencintai seorang isteri!!" Jerit batinku merana menggedor gedor jiwa. Cinta yang kudambakan bukannya mendekat, malah lari semakin jauh. Pepatah jawa kuno mengatakan, "Wiwiting tresno jalaran soko kulino" Artinya, Hadirnya cinta sebab sering bersama. Tapi pepatah itu agaknya tidak berlaku untukku. Aku setiap hari bersama Raihana. Berada dalam satu rumah. Makan satu meja, dan tidur satu kamar. Tapi cinta itu kenapa tak hadir hadir juga? Kenapa?! Yang hadir justru perasaan tidak suka yang menyiksa. Aku hawatir, jangan jangan aku bisa gila? Tapi Tidak! Tidak ada yang menyebutku gila. Aku masih bisa mengajar di kampus dengan baik, masih bisa menjawab pertanyaan pertanyaan mahasiswa dengan baik. Tapi dalam sejarah kehidupan manusia banyak orang gila yang kelihatannya normal normal saja. Banyak juga yang kelihatannya aneh tetapi sebenarnya dia tidak gila. Cinta yang salah kejadian memang sering menciptakan orang orang gila. Begitu jugalah cinta yang tak kesampaian. Apakah aku akan tercatat dalam daftar orang orang yang salah kedaden dalam cinta? 

Embuh! 



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHAINDIGO : I Want To Love Her (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang