𝓹𝓪𝓼𝓾𝓷𝓰

297 96 5
                                    

•••

Iman.

Kata itu kerap membimbangkan saya beberapa kali. Seringkali keraguan menghantam saya, dan kata iman juga percaya makin membuat kepala ingin migran. Kalaupun saya percaya, lalu apa? Saya telahkah menjadi beriman? Saya telahkah menjadi pengikut Kristus yang saleh? Apakah saya telah jadi hamba Allah yang dapat dibanggakan? Memang, saya penganut iman yang mana? Katholik, kah? Islam, kah?

Saya ingin menjadi pohon kecombrang saja−yang tumbuh liar di depan teras rumah saya. Pohon kecombrang apakah juga memikirkan iman? Sepertinya pohon kecombrang telah diringankan kutukan dari semesta untuk tak lagi memusingkan hal begini. Lalu, mengapa saya tak menjadi pohon kecombrang saja? Warna merah darah yang menyelimuti tubuhnya mengingatkan sesuatu yang mengalir di diri saya; tetapi milik pohon kecombrang tentu tidak menanggung beban dosa sehingga Yesus musti disalib untuk menebus semua dosa anak manusia. Sesungguhnya saya juga tak tahu dosa saya apa, sehingga Yesus dengan susah payah sudi untuk menanggung urusan saya. Ah, tak apalah. Sudah semestinya begitu; itu yang ditulis nubuat-nubuat untuk dipercayai.

Kalau saya tidak percaya, bagaimana? Akankah saya yang disalib untuk menanggung dosa yang saya tidak tahu? Ataukah saya musti sholat ribuan tahun, bersujud atas segala dosa yang juga tak pernah saya akui? Aduuuhhh pohon kecombrang, saya mau jadi kamu saja yang bukan pengikut Kristus dan hamba Allah. Saya iri. Kamu liar, dan saya iri.

Hanya, kita kadang kala memang tak pernah menjadi kita untuk beberapa alasan. Misalnya saja; sebagai perempuan barangkali adalah dosa saya. Boleh jadi, itulah sebab mengapa pada akhirnya Yesus disalib akibat menanggung dosa para anak manusia−termasuk saya di dalamnya. Itulah sebab pula di dalam nubuat termaktub ayat-ayat yang menerangkan bagaimana perempuan menjadi penghuni neraka paling banyak. Sebagai perempuan, saya pikir saya tidak hanya perlu genit tetapi mesti pula memanipulasi agar dapat bertahan hidup.

"Percaya tidak?"

Saya mendapati kebingungan pada wajahnya yang lugu. Kekehan melolong dari dua katup bibir; betapa lucunya ia, pikir saya. Sejak lalu cuma-cuma terperangah pada saya, menonton betapa mayor saya dalam bercerita. Saya menarik napas, menggagaui jumawa yang membanjiri diri. Kian bersemangat saya untuk berceloteh lebih banyak dari yang telah saya dongengkan.

"Tuhan tahu partikelir apa sih mengenai manusia?" Wajah setengah datarnya meneleng, memerhatikan saya saksama, "Cuma bisa memperkarai, mempersalahkan, lalu apa? Saya toh ini tak pernah dibimbingnya."

Mulutnya terkatup rapat. Agaknya ia enggan menimpali, lebih senang bila saya melisankan segenap kapasitas di dalam kepala. Saya kembali menarik napas, mangkin betulan banyak yang hendak saya muntahkan.

"Tuhan itu pilih kasih."

"Tuhan membuat semua aturan itu."

"Aturan apa?" Samar-samar saya bisa dengar bagaimana suaranya yang sejak tadi hilang, nyaris teredam oleh mersik di dalam kepala saya. Saya menyunggingkan senyum, kepalanya kini tegak. Antusiasmenya membakar saya.

"Keistimewaan terhadap laki-laki."

"Orang-orang Farisi hanya melempari perempuan dengan batu sebab zinah, tetapi laki-laki itu tak juga mengakui dosanya. Tuhan membiarkan perempuan terkekang nafus dan berahinya, tak melakukan sebaliknya pada laki-laki. Tak ada penghukuman dalam masyarakat atas laki-laki. Saya kecewa pada Tuhan yang mahapelit dengan perempuan yang pasif."

"Sebenarnya, pada dasarnya Tuhan memang tak tahu itu. Kelegaan pada laki-laki tak menjadikan ia sebagai segalanya. Laki-laki juga setengahnya mungkin telah dikutuk untuk dikorbankan Tuhan menjadi yang tak dirinya dan bukan yang lain pula."

Ada kalanya kepasrahan ialah jalan terbaik untuk menerima; bagi mereka-mereka yang lemah itu tak dapat diterima. Sebetulnya menerima adalah perbuatan paling superior yang tak semua orang bisa lakukan. Seperti bagaimana saya menerima nubuat Tuhan; saya menerimanya, tetapi urusan saya untuk mau beriman dan percaya. Tuhan telah menyerahkan pilihan, tapi tak juga menyertakan kebebasan. Pilihan saya untuk merdeka tanpa terikat, maka Tuhan harusnya bisa konsisten untuk menerima tanpa memberi ketakutan dalam dosa dan neraka.

Memang, apa itu dosa dan neraka?

Apakah dosa dan neraka yang termaktub dalam nubuat adalah sama dengan isi di satu per satu kepala manusia? Apakah detil penggambarannya akan serupa? Apakah semua manusia bisa merasakan absurditas tersebut ke dalam nalar secara serupa? Bila memang iya, apa memang stabilitas pemahaman manusia juga sama dan dapat diukur? Agaknya itu berlebihan, mengingat bagaimana manusia satu dan lainnya terlalu heterogen dengan pemahaman akan iman. Bila bukan laki-laki tetapi bukan yang lainnya, maka manusia menjadi semakin mayor akan iman dan pemahamannya. Menghardik seperti sebuah doa, sementara mengucilkan adalah puasa yang diiming-imingkan pahala.

Saya tertawa terbahak-bahak. Air liur saya menggumpal di sudut mulut mendapati kelucuan ini. Saya bukan antipati kepada Tuhan, tetapi seringkali perempuan dipersekusi norma sementara laki-laki memegang ekspektasi konstruksi. Menjadi dilema memahami bagaimana dunia menjadi rancu akibat ulah manusia, tetapi kemana perginya Tuhan?

Untuk perempuan yang dipersekusi gender?

Untuk laki-laki yang ditempa mayor?

... dan untuk yang bukan keduanya?

Kemana perginya Tuhan di saat interseksionalitas kerap membunuh banyak jiwa-jiwa dalam keterpurukan?

Saya melolong tawa untuk kali kedua. Penghakiman saya dapati lagi dan lagi; berpuluh pasang mata menatap saya keji, merasa jijik, meludahi saya dari balik jeruji. Beberapa melafalkan ayat suci untuk kebebasan nalar saya yang telah bersaksi terhadap racun dari keterpurukan pemahaman iman yang tak sama.

Ia yang dikenali sebagai laki-laki berambut gondrong itu cuma menatap nanar di hadapan cermin setengah meter yang berada di hadapannya. Laki-laki itu gemar bercermin.

Ia yang dikenali sebagai laki-laki itu sering bilang bahwa ia adalah pohon kecombrang. Batang tubuhnya sama dengan miliknya.

Ia yang dikenali sebagai laki-laki itu sering bilang bahwa ia adalah pohon kecombrang. Indah kelopak-kelopaknya persis dirinya.

Dengan kedua kaki terpasung dari balik jeruji, ia yang dikenali sebagai laki-laki itu terkekeh, "Besok-besok, Tuhan yang akan meludahi kalian dengan pemahaman iman sesat kalian."

Ia yang dikenali sebagai laki-laki itu adalah saya, yang kini dihakimi dari balik jeruji: katanya saya sakit jiwa.




𝓼𝓮𝓵𝓮𝓼𝓪𝓲

Pasung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang