Mei 1917
Suara gemuruh petir membuat suasana terasa mencekam, sejak sore hujan terus mengguyur hingga Magrib tiba. Bersamaan dengan hal itu ada seorang wanita yang mengejan sendirian di rumahnya yang hanya berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan genting.
Tidak ada yang mendampinginya melahirkan baik itu keluarga ataupun suaminya sendiri. Hingga akhirnya ia dia berhasil melahirkan anak pertamanya sendirian.
Suara tangisan bayi mengisi kesunyian, bahkan hujan berangsur reda tepat saat anak itu lahir. Iyem, wanita yang dari tadi berjuang sendirian itu meneteskan air mata.
Anak pertamanya ternyata laki-laki walau masih berlumuran darah tapi warna kulit putih pucatnya tak bisa disembunyikan seperti bayi Eropa, warna matanya terlihat cerah tak gelap seperti miliknya.
Melahirkan seorang anak blasteran indo-Belanda di tahun 1915 merupakan hal yang tabu, sudah bisa ditebak jika Iyem merupakan gundik milik seorang meneer.
"Nak, ibu sangat bahagia karena kamu terlahir dengan selamat. Mungkin saja ayahmu turut bahagia diatas sana,” ujar Iyem tersenyum sambil memandang langit malam yang perlahan memperlihatkan bintang yang bertebaran di atas sana.
Sungguh disayangkan putranya ini terlahir tanpa ada suami di sampingnya, karena Tuan Heut Van Anaphalis memilih kembali ke Belanda. Fakta bahwa Tuan Heut hanya memanaafkan dirinya sebagai seorang pemuas nafsu itu membuat Iyem sakit hati.
Pada saat tuan Heut masih hidup ia punya niat menceraikan istri pertamanya dan menikahi Iyem setelah ia kembali dari medan perang, agar Iyem lebih dihargai di keluarganya.
Namun takdir berkata lain, kini hanya tersisa dirinya dan putranya ini karena lihak keluarga Iyem tidak sudi mengakui dirinya sebagai keluarga lagi.
"Tak apa Nak, kamu masih punya ibu. Aku yakin Tuan Heut pasti bahagia melihat kelahiranmu,” ucap Iyem tersenyum getir.
Tiba-tiba suara gedoran pintu membuatnya terlonjak,"mbakyu, tolong buka pintunya,” panggil adik iparnya, dengan susah payah Iyem pun bangkit dari tempat tidurnya.
Dibukanya pintu dari anyaman bambu disana berdiri adik iparnya yang terlihat begitu panik, “ada apa Siti, kenapa kau terlihat panik begitu? Ayo masuk dulu,” ajak Iyem.
Ajakan dari kakak iparnya ia tolak begitu saja "sekarang bukan waktu yang tepat Yu Iyem, sebaiknya mbak bawa anak mbak pergi dari rumah ini secepatnya. Para warga mulai berdatangan kesini untuk menangkap kalian berdua,” jelas Siti.
Siti pun langsung masuk kerumah untuk mengemasi barang-barang yang diperlukan sebelum para warga sampai ke rumah. Tangannya terhenti sesaat, sepertinya orang-orang mulai berdatangan kesini, segera Iyem pun menggendong putranya dengan kain Jarik.
“Cepat kalian pergi sebelum mereka datang!" perintah Siti kepada kakak iparnya itu. Mereka pun pergi lewat pintu belakang, sebenarnya Iyem masih kesusahan karena dirinya lelah setelah melahirkan tadi.
"Hei, mereka kabur ke hutan!" teriak salah seorang warga yang melihat Iyem dan Siti berlarian lewat pintu belakang.
Tiba-tiba saja Iyem terjatuh bahkan anaknya malah menangis hingga mempermudah para warga melacak keberadaan mereka.
"Mbakyu, sebaiknya susui anakmu dan duduklah dibawah pohon Mahoni ini,” tunjuk Siti kearah pohon yang ada di sebelah mereka. Cepat-cepat Siti mengumpulkan daun Mahoni kering sebanyak-banyaknya untuk menyembunyikan Iyem dan anaknya.
"Mbakyu, sembunyi disini saja. Aku akan mengalihkan perhatian para warga,” ujar Siti.
Sebelum adik iparnya pergi, Iyem menahan pergelangan tangannya, "jangan Siti itu berbahaya, nanti kau bisa ditangkap,” ujar Iyem merasa tak tega.

KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Hazel Eyes [END]
Historical FictionFIKSI SEJARAH 1. {Behind Hazel Eyes} 📍Pasca Kemerdekaan - Agresi Militer Belanda II Historical || Advanture || Romance Demi bisa mendapatkan pekerjaan, Runi rela melakukan perjalanan waktu ke Pasca Kemerdekaan 1945 hingga Agresi Militer Belanda II...