Terpaut Rasa

42 13 0
                                    

Sound : Dari Mata - Jazz

***

"Assalamualaikum. Bunda... Yuhuuuuuu...." Langit baru sampai di rumah dan langsung mencari Bunda tersayangnya.

"Waalaikumsalam. Iya, Kak. Bunda di dapur." Terdengar suara lembut Bunda dari arah dapur. Langit meletakkan jaket dan tas ranselnya di atas sofa lalu menghampiri Bundanya.

"Masak apa, Bun?" tanya Langit sembari mencium punggung tangan Bunda.

"Masak opor ayam. Kakak dari mana? Kok sore banget pulangnya?"

Bunda masih sibuk dengan masakannya. Membiarkan Langit duduk di meja makan dan mencomot kerupuk yang ada di dalam toples.

"Abis dari kampusnya Bumi, Bun," jawab Langit.

"Jadi Kakak udah ketemu sama Bumi?" tanya Bunda antusias. Bunda Langit tahu betul seberapa penting Bumi bagi anak lelakinya itu.

"Udah, Bunda. Kemaren Kakak ketemu sama Ajun, temen SMP Kakak sama Bumi dulu. Dia ngasih tau Bumi kuliah di mana. Terus tadi Kakak samperin ke kampusnya. Beneran ada di sana itu si Bumi," ujar Langit bercerita, masih sambil mencomot kerupuk dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Main game dia kerjaannya, Bun. Bukannya kuliah yang bener yah bocah."

Langit tertawa. Sementara Bunda hanya tersenyum mendengar candaan Langit. Sudah jadi hal biasa baginya melihat Langit dengan tingkah uniknya.

"Terus kabar Bumi sekarang gimana, Kak?" Bunda mematikan kompor dan duduk di depan Langit.

"Baik, baik banget dia. Makin ganteng. Tapi tetep gantengan Kakak sih." Langit terkekeh pelan. Bunda hanya menggeleng mendengar kenarsisan anak sulungnya itu.

Langit melanjutkan cerita tentang sahabatnya itu. Dan Bunda hanya fokus mendengarkannya bercerita. Sesekali mereka tertawa saat membahas masa kecil Langit dan Bumi. Juga sifat kedua sahabat itu yang benar-benar seperti langit dan bumi.

"Bun, semingguan ini ada cewek yang bikin Kakak penasaran, deh," ujar Langit tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

Bunda sedikit mengernyit, seolah ia salah dengar akan ucapan Langit. Tapi melihat keseriusan yang jarang ditemukan di wajah Langit, Bunda memutuskan menunggu apa yang selanjutnya akan anak lelaki kebanggaannya itu katakan.

"Namanya Senja. Anaknya kayaknya sih baik, baik banget. Cantik. Eh, aneh. Eh, gak tahu deh. Pokoknya Kakak penasaran sama Senja. Mau temenan, tapi dia agak susah dideketin," ujar Langit. Bunda tersenyum.

"Kakaknya usil kali sama Senja. Makanya Senja gak mau deket-deket Kakak." Langit tertawa kecil.

"Tapi kan Kakak ganteng, Bun," timpal Langit sembari meraih lagi kerupuk di dalam toples lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Tepat saat itu Awan, adik Langit, melewatinya dan menimpuk bahu kakaknya dengan sebuah buku. "Ganteng kalo diliat dari Uranus pake sedotan air mineral. Dasar narsis!"

Langit meringis, tangannya mengusap bahu yang tadi ditimpuk oleh Awan. Tapi ia tertawa lebar mendengar celotehan adiknya.

"Adek... Gak boleh gitu ah sama Kakak," ujar Bunda menasehati gadis bungsunya. Sementara Awan hanya nyengir mendengarnya dan membalas Langit yang meledeknya dengan menjulurkan lidah.

"Syukurin," bisik Langit nyaris tanpa suara.

"Bodoooo," balas Awan dengan hal yang sama. Berharap Bunda tak mendengar mereka.

"Bunda masih denger loh ya, Kak, Dek," ujar Bunda yang sekarang tengah membelakangi mereka, kembali sibuk dengan kompornya.

Langit dan Awan salah tingkah lalu terkikik geli. Awan melangkah pergi ke arah ruang tengah setelah meneguk segelas air putih. Memindahkan jaket dan tas Langit yang menurutnya menghalangi ke sofa yang lebih kecil. Lalu menjatuhkan dirinya di atas sofa panjang yang empuk.

Selaksa Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang