TC -2

2.5K 344 22
                                    

Memandangi laki-laki yang tampak lahap sarapan nasi goreng di piring bulatnya. Kak David tak menyadari jika sedari tadi aku tengah memerhatikan gerak-geriknya. Sampai suara telepon genggam di saku kemejanya langsung diterima walau mulutnya sedang mengunyah, lantas memasukan kembali usai berkomunikasi.

"Kak."

Kak David mengangkat wajah menatapku.

"Aku boleh ikut, kan?" Aku masih harus memastikan. Bahkan kalau perlu merayu sedemikian rupa agar dia mau mengabulkan.

"Semalem udah kita bahas. Cuma aku yang akan dateng. Kamu tunggu di rumah. Nanti pulangnya aku bawain makanan kesukaan kamu." Kak David masih bersikeras menolak. "Oya, bekal makan siang aku udah disiapin?"

"Nggak."

"Oh, ya, udah aku tungguin," jawabnya enteng tak peka sejenakpun kalau aku sedang marah.

"Berasnya habis. Aku belum masak. Jadi Kak David nanti makan di luar aja," sahutku ketus tak mau menatapnya. Bahkan sisa separuh nasi goreng di piring serasa hambar.

"Kamu marah?"

"Pikir aja sendiri. Lagian kalo aku marah nggak bakal ngaruh buat kakak. Nggak akan dibujuk juga, apalagi dirayu-rayu supaya dimaafin."

Kak David mengembuskan napas panjang usai menghabiskan sarapan. Meminum air mineral hingga tandas, lantas mengelus pucuk kepalaku sebelum beranjak ke pelataran.

"Apa kakak malu nikah sama aku yang belum juga bisa kasih anak?" ucapan lirihku membuat langkah kaki Kak David terhenti. Berbalik badan dan kembali menghampiriku. Dia meraih daguku agar mendongak melihatnya.

"Kok, jadi ngomong gitu? Nggak ada urusannya aku pergi sendiri sama urusan anak. Aku sering bilang ke kamu kalo rezeki dan maut itu udah Tuhan atur. Anak termasuk dengan rezeki. Jadi kamu nggak usah libatin masalah sepele ini sama kuasa Tuhan," ucap Kak David tegas. Aura ramah di wajahnya telah berubah dengan tekanan emosi di dalamnya. "Kita cuma diminta bersabar, aku yakin suatu saat rumah kita akan dipenuhi suara tangis bayi dari benih yang aku tanam ke rahim kamu."

"Terus kenapa kakak kayaknya nggak mau banget aku ikut? Dulu aja awal-awal nikah sering banget ajak aku ke acara kayak gitu. Sampe ke acara ulang tahun pimpinan kakak aja aku dibujukin, padahal aku udah nolak," balasku tak mau kalah.

"Itu beda situasi, Del."

"Masih sama. Buktinya kita masih berdua aja nggak ada ekor yang ikutin induknya."

"Della."

"Ya, udah sana berangkat. Pegawai teladan jangan sampe telat. Buruan." Aku membalik tubuh Kak David, lalu mendorong kedua punggungnya ke luar. Di sana roda empat silver sudah bertengger bersiap mengantarnya ke gedung perkantoran kawasan elit.

Dengan kesendirian yang terlalu lama terkadang aku juga merasa bosan. Bukan aku tak pernah punya kegiatan lain. Dulu, setelah satu bulan menikah aku pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang kontraktor.

Hanya dua tahun karena aku memutuskan ingin program hamil mengingat belum juga ada tanda-tanda. Namun, rencana hanya rencana. Sampai sekarang sudah tiga tahun sejak aku berhenti bekerja berita bahagia itu belum juga aku terima.

Kak David memang tak mempermasalahkan. Sebagai wanita tentu saja aku merasa insecure. Apalagi saat teman kantornya yang menikah lebih belakang dari kami sudah memiliki dua bocah menggemaskan, membuatku sering merasa sedih.

Kak David selalu menghiburku dengan kata-kata ajaib yang menenangkan. Sikapnya juga tak ada yang berubah. Masih dingin dan datar. Hangat dan panas jika ada maunya dan tentu saja dalam hal aktivitas memacu adrenalin di atas bed.

Terpaksa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang