Menjadi satu-satunya perempuan di antara anak Mama, membuatku mengikuti gaya abang-abangku. Memanjat pohon mangga tetangga, main sepak bola, berkelahi dengan teman cowok bahkan sampai menekuni karate sejak SMP. Untuk yang terakhir, sebenarnya awalnya aku ikut-ikutan saja. Waktu itu Bang Aldi-Aldo yang sudah SMA, masuk klub karate. Aku yang selalu ditinggal kerja oleh Mama, memaksa ikut mereka. Akhirnya aku sekalian mendaftar latihan bersama anak-anak sebaya.
Jago karate membuatku kadang bandel. Waktu SMA, teman perempuan yang dekat denganku memang hanya Icha. Tapi kalau teman cowok, tentu banyak. Walaupun kebanyakan adalah anak-anak badung yang hobi tawuran. Iya, aku biasanya ikut mereka tawuran dan balapan motor. Pernah aku kecelakaan waktu balapan, membuat Mama langsung menjual sepeda motor itu. Sampai sekarang pun aku jadi tidak punya kendaraan. Mama bahkan melarangku belajar mengendarai mobil karena takut aku kecelakaan lagi.
"Musibah kan udah diatur, Ma. Aku naik ojek atau jalan kaki pun, kalau takdirnya mati ya bakal mati." Itu sanggahanku, yang langsung dihadiahi pukulan di kepala dengan centong nasi.
Itulah alasan kenapa kini aku masih mengandalkan kendaraan umum atau dijemput abang, atau juga supir Mama. Tapi kalau sekarang, aku jadi bersyukur. Kenapa? Karena itu juga akhirnya aku punya alasan untuk sering-sering nebeng Om Daniel. Aku jadi harus berterimakasih pada Mama. Hahaha.
Oke, balik lagi ke masalah karate. Selain jadi suka tawuran, ada keuntungan tersendiri bagiku setelah bisa karate. Tentu karena aku tidak perlu menggantungkan perlindungan Bang Aldi-Aldo jika ada yang berniat jahat atau kurang ajar padaku. Aku juga bisa menjaga Mama jika kami pergi berdua saja. Pun, aku bisa membantu orang-orang di jalan yang membutuhkan bantuan dari gangguan. Seperti yang baru saja terjadi.
"Sini lo, bangsat! Jangan lari. Beraninya sama cewek. Cemen lo! Pakai mukena sana lo, tobat sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa. Dasar banci!"
Salah satu dari dua laki-laki bertampang preman itu sempat menoleh dan mengacungkan jari tengah sebelum melarikan diri. Aku mengumpat keras, sudah akan mengejar kalau saja tidak mendengar tangis keras dan melengking dari belakang. Mengembuskan napas keras, aku membalikkan badan dan menemukan perempuan muda yang kini sedang berjongkok di depan bocah perempuan.
"Sudah, Sayang, sudah. Jangan nangis lagi ya. Cup. Cup. Om jahatnya udah pergi, Sayang."
Perempuan itu memeluk bocah yang kutebak anaknya itu. Tapi si anak masih saja menangis. Aku memutuskan mendekat dan ikut berjongkok di depannya.
"Hai!" sapaku sambil mencoba tersenyum lebar. Oke, aku memang bukan penyuka bocah, tidak benci juga. Tapi tetap saja merasa bingung membujuk anak kecil yang sedang menangis kejer begini. "Nama kamu siapa?"
Bocah itu menatapku dengan mata mengerjap dan berlinangan air. Dia terlihat takut, lalu semakin merapat pada ibunya.
"Kakak nyeremin ya?" Aku mencoba mengingat-ingat ekspresi imut Icha dan memperagakannya. "Kamu takut sama Kakak?"
Bocah itu dengan polosnya mengangguk sambil masih sesenggukan. "Ta-tadi ... tadi ... kakaknya pukul-pukul om jahat. Noli ... Noli ... takut dipukul."
Aku meringis sambil menggaruk kepala. "Kakak kan nggak mukul kamu ... eh namanya siapa? Noli?"
"Magnolia," sela ibunya.
Aku mengangguk-angguk. "Noli nggak usah takut. Kakak nggak mukul Noli, kok."
"Mukul Ibu?"
"Enggak." Aku menggerakkan tangan ke kanan-kiri. "Kakak nggak mukul Noli sama Ibu. Kakak kan nggak jahat. Noli jangan takut."
"Iya, Sayang." Si ibu merangkul bahu Noli. "Kakak baik kok. Kalau Kakak nggak nolong Ibu sama Noli, pasti tadi om jahatnya udah nangkap kita. Noli bilang makasih sama Kakak, oke?"
Noli kembali mengerjapkan mata, menatapku lalu ibunya bergantian. "Makasih, Kakak. Tapi Noli nggak tahu nama Kakak."
"Nama Kakak Zeva. Mau salaman?" Aku mengulurkan tangan, yang dibalas Noli bahkan sambil mencium punggung tanganku. Aku jadi merasa agak gimana gitu.
"Makasih, Kakak Zeva."
Aku tersenyum lebar. "Sama-sama. Jangan nangis lagi ya." Lalu menoleh pada ibunya Noli. "Mbak nggak apa-apa?"
Dia mengangguk. "Saya nggak apa-apa. Terima kasih sudah menolong kami."
"Bukan masalah."
"Oh ya, saya Sasi."
Aku membalas uluran tangannya. "Zeva."
Untuk beberapa saat, kami berbincang canggung. Sebenarnya aku bukan jenis orang yang gampang akrab dengan orang asing. Tidak seperti Icha yang jika sudah ber-insting seseorang baik, maka bisa begitu ramah. Mungkin Mbak Sasi tahu itu, sehingga dia akhirnya pamit pergi setelah berterimakasih sekali lagi dan meminta maaf karena wajahku terkena pukulan para preman itu.
Setelah sendiri, aku mendudukkan diri di halte. Tadi hujan deras sehingga orderan ojek online-ku berkali-kali ditolak. Karena itu memutuskan berjalan dari kampus ke halte, tapi malah melihat dua preman sedang menarik-narik Mbak Sasi dan Noli. Sekarang hujan reda dan menyisakan gerimis. Aku masih menunggu ada yang menerima orderanku. Tapi belum juga lima menit aku bermain ponsel, tiba-tiba sebuah mobil menepi. Mataku mengerjap.
"Zevania?"
Aku spontan berdiri, lalu mengangkat tangan sejajar telinga. "Om Ahjussi!"
Om Daniel yang menatapku melalui kaca jendela, mengerutkan kening. "Kamu menunggu ojek? Mau pulang?"
"Iya, Om. Kesel banget aku nggak ada yang terima dari tadi."
"Ya sudah ayo masuk."
"Diantar Om?"
"Tentu saja." Om Daniel tersenyum hangat. "Saya juga mau pulang."
Tersenyum semringah, aku langsung bergegas masuk dan duduk di bangku penumpang tepat di sebelahnya. Saat aku memasang sabuk pengaman, Om Daniel memutar tubuh dan mengambil sesuatu di jok belakang.
"Rambut kamu basah." Om Daniel mengulurkan handuk kecil.
"Makasih!" Aku menerimanya dengan senang hati, tapi tiba-tiba Om Daniel menahan lenganku. "Kenapa, Om?"
"Ini kenapa?" Dengan mata membelalak, Om Daniel menyentuh daguku. Aku sendiri mematung. Kulit ibu jarinya terasa dingin di kulitku. "Ini kenapa, Zevania?"
Aku menelan ludah, berusaha tersenyum lalu menjawab dengan santai. "Kena pukul preman hehe."
"Hehe?" Kedua alis Om Daniel menyatu. Lalu dia menghela napas. "Bibir kamu berdarah. Pipi kamu lebam, biru. Ini bukan 'hehe', Zevania."
"Nggak apa-apa, Om." Aku menyengir lebar. "Luka kayak gini biasa kali. Dulu pas masih hobi tawuran, aku bisa dapat luka yang lebih parah. Eh dulu pernah sih sampai gegar otak. Untung nggak amnesia."
"Itu bukan hal yang patut ditertawakan, Zevania." Nada lembut Om Daniel membuat tawaku terhenti. Dia menatap dalam, membuatku sedikit salah tingkah.
"Ya maaf, Om." Aku kembali menyengir. "Tapi beneran aku nggak apa-apa. Paling-paling entar di rumah diomelin Mama sama Bang Aldi. Tapi nggak masalah, Om. Santai. Aku kan strong."
Om Daniel menggeleng pelan, lalu merebut kembali handuk yang sudah kuterima. Awalnya aku bingung, tapi langsung terkesiap begitu melihat apa yang dia lakukan selanjutnya. Dengan wajah santai, dia mengeringkan rambut sebahuku yang basah.
"Eh Om, aku bisa sendiri." Aku mencoba merebutnya tapi Om Daniel menggeleng.
"Biar saya."
Ingin aku menonjok wajahnya yang terlihat tidak canggung sama sekali. Ya dia bisa biasa saja, karena mungkin menganggapku sebatas sahabat dari anaknya. Lha aku? Mau bernapas saja susah sekarang. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba aku mati kehabisan napas gara-gara wajah Om Daniel yang sangat dekat begini?
"Kamu tidak keberatan bukan, kalau kita ke rumah saya dulu?"
"What?!" Aku melongo.
"Saya tidak bisa mengabaikan luka kamu begitu saja, Zevania." Tersenyum lembut, Om Daniel mengacak-acak rambutku kemudian mulai melajukan mobil kodoknya ini.
Aku sendiri masih cengo. Woi jantung, lo masih stay?!
***
![](https://img.wattpad.com/cover/266526163-288-k477222.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Saranghae, Om Ahjussi!
Romance"Cinta itu universal, guys. Nggak mandang muka, warna kulit, kedudukan sosial, pekerjaan, latar belakang, negara, suku, dan yang terpenting ... umur. Mau itu beda tujuh tahun, beda sebelas kayak Icha sama Satpam Gadungan, atau beda puluhan macam ABG...