"Sayang, brownies kukus udah habis?"
"Eh, nggak tahu ya. Coba tanya Riska di depan."
"Oke."
"..."
"Habis, Sayang. Bikinin lagi dong, Sayang."
"Iya, habis cupcake ini selesai ya."
"Oke. Thank you, Sayang. I love you."
"Dih."
"Kok gitu jawabnya?"
"Haha. I love you too."
Melempar ponsel ke ujung sofa, aku berdecih dan melempar tatapan sinis pada sepasang manusia di depan sana. "Gue mual, sumpah."
Si cowok yang sebenarnya lebih pantas dipanggil om-om itu terbahak. "Masuk angin, Zev?"
"Please ya, Bapak Satpam Gadungan yang terhormat. Sejak kapan Bapak mengumbar kebuncinan di depan publik begini?" Aku bergidik jijik sambil mengusap telinga. "Kasihan banget kuping gue."
"Di mana letak bucinnya, coba? Manggil 'Sayang' dan bilang 'i love you' sama istri sendiri itu nggak melanggar hukum. Nggak ada peraturan perundang-undangannya."
"Ada, kalau itu sengaja dipamerin di depan mata seorang single macam gue!"
"Itu sih salah kamu sendiri yang jomlo. Cari pacar sana!" Kedua alisnya terangkat. "Atau mau saya cariin?"
"Sorry to say, gue masih bisa cari sendiri!"
"Radit jomlo lho, Zev. Kayaknya dia cocok sama kamu."
"Gue yang nggak mau ya, Pak. Temen Bapak kayak patung, mulutnya sariawan tiap hari, pelit senyum, nggak like gue."
"Sok jual mahal."
"Serah gue!"
"Zeva, Mas Bara, udah dong. Masa tiap ketemu, adu mulut mulu sih?"
Mendengar ucapan Icha, aku hanya mendengus. Tapi aku akui dia memang benar. Setiap bertemu dengan om-om yang menikahi sahabatku lima bulan lalu ini, bawaannya selalu kesal. Karena dia juga sudah tidak jaim, sok dingin atau galak lagi, tapi berubah jadi manusia menyebalkan. Katanya, inilah sifat aslinya. Dan karena aku sahabat Icha, maka aku juga otomatis jadi sahabatnya. Cih. Seakan-akan aku bangga banget bersahabat dengan orang tua macam dia!
Dan ya, karena sifat menyebalkannya itu, aku jadi malas bersikap sopan. Dia juga tidak kelihatan keberatan saat aku menyebut diriku sendiri 'gue', meski dia tetap kupanggil 'Bapak'. Karena kalau memanggilnya 'elo', Bang Aldi siap sedia kunci Inggris buat menggetok kepalaku. Gara-gara Icha yang tukang ngadu. Semenjak nikah, dia memang makin berani padaku. Awas saja kalau aku sudah jadi emak tirinya nanti!
Dering ponsel, mengalihkan perhatianku. Aku segera meraihnya. Kontak bertuliskan 'Setan Kredit' terpampang di layar segiempat itu. Segera kutekan tombol berwarna hijau.
"Halo!"
"Weis, galak bener adik gue. Woles dong, Sis, woles."
"Woles, pala bapak lo?!" sahutku galak, tak peduli Bapak Gio dan Icha menoleh heran ke arahku. "Gue nungguin udah dua jam, woi! Tega bener lo jadi abang!"
"Heh, bapak gue, bapak lo juga, tolol!" Mendengarnya, aku memutar bola mata, tak peduli. Walaupun dalam hati aku memohon ampun pada almarhum Baginda Papa Orlando. Semoga aku tak dihantui nanti malam. Biar si Setan Kredit saja, aku ikhlas. "Dua jam? Halah, belum dua puluh empat jam aja udah ribut."
"Lo mau gelut?! Lo di mana, Setan? Katanya mau jemput?!"
"Nah ... itu masalahnya."
Dari nada bicaranya yang memelan, dan terdengar aneh, aku merasakan firasat nggak enak. "Jangan bilang lo nggak bisa jemput?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Saranghae, Om Ahjussi!
Romance"Cinta itu universal, guys. Nggak mandang muka, warna kulit, kedudukan sosial, pekerjaan, latar belakang, negara, suku, dan yang terpenting ... umur. Mau itu beda tujuh tahun, beda sebelas kayak Icha sama Satpam Gadungan, atau beda puluhan macam ABG...