Dul

426 61 2
                                    

Iya, Om Daniel itu ayahnya sahabatku. Tentu saja si Icha atau Aecha Kim, karena dia sahabatku satu-satunya. Kalau ingat kisah Icha dan Om Daniel, kadang aku merasa itu mirip seperti sinetron. Bagaimana tidak? Kalau kenyataannya selama ini Icha hanyalah anak angkat Om Hendra dan Tante Arwen. Lalu Sarah Kim yang merupakan ibu kandung Icha, adalah orang ketiga dalam rumah tangga kakaknya Om Hendra yaitu mak lampir Budhe Risna dan suaminya Pakdhe Danar. Sedangkan Om Daniel sendiri jadi korban, dipisahkan dengan anaknya hanya karena nafsu Sarah Kim.

Selama ini Icha hidup di tengah-tengah keluarga yang dihancurkan ibu kandungnya. Gila kan? Pantas saja Icha selalu ditindas oleh Budhe Risna dan Gina, anaknya. Fakta ini baru diketahui beberapa bulan belakangan sih, itu pun setelah kedatangan Om Daniel dalam hidup Icha. Bukan yang Om Daniel langsung kasih tahu di hari pertama muncul di depan Icha, tapi setelah beberapa bulan menyamar jadi pelanggan setia Louvre.

Iya, dulu Om Daniel muncul hanya sebagai seorang pelanggan yang tiap hari makan kue di Louvre. Bukan cuma dengan Icha dia mengakrabkan diri, tapi juga dengan Riska dan Santi—pegawai Louvre—dan aku, karena aku memang hampir tiap hari datang untuk sekadar membantu dengan sukarela. Baik banget kan aku? Bahkan aku tidak minta gaji pada Icha. Kadang aku sendiri heran kenapa bisa begitu baik padanya yang dulu jadi korban bully-ku. Hahaha. Di mana lagi ada pembully dan korbannya yang berakhir jadi sahabat dekat?

Dari awal kenal, aku dan Riska memiliki panggilan kesayangan pada Om Daniel yaitu Om Ahjussi. Tentu saja itu karena dia yang asli orang Korea, walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta dan fasih berbahasa Indonesia. Aku sendiri awalnya sama seperti Riska, hanya sekadar mengagumi. Tapi gara-gara tiap pulang dari Louvre aku selalu nebeng Om Daniel karena rumah kami searah, rasa kagumku jadi berubah lebih dalam.

Ya bagaimana lagi? Om Daniel itu adalah sosok yang memiliki paket lengkap. Super ganteng, dewasa, murah senyum, baik hati, tidak pelit dan penyabar. Apalagi Om Daniel itu orangnya menyenangkan. Aku yang malas dekat dengan orang baru saja bisa langsung akrab dengannya. Ah satu lagi! Dia itu kaya. Selain jadi koki, dia juga owner dari sebuah restoran Internasional ternama di Jakarta. Gila kan? Aku yang matre makin klepek-klepek, dong!

"Dek!"

Decakan kesal kulakukan saat suara makhluk tak kasat mata menginterupsi monologku. Ya iyalah tak kasat mata, soalnya orangnya masih di luar kamarku. Dan karena aku lagi malas, dongkol dan dalam mode mogok bicara padanya, jadi segera kusimpan ponsel yang masih menampilkan foto Om Ahjussi kemudian menutup seluruh tubuh dengan selimut.

"Dek!"

Suaranya makin dekat, diiringi pintu yang dibuka kasar. Bar-bar banget setan satu itu!

"Ngebo, lo?"

Bodoh amat. Aku ogah jawab. Biar saja dia menyangka aku tidur benaran.

"Dek!" Dia masih memanggil, sambil menepuk bahuku dengan gerakan yang tidak ada lembut-lembutnya sedikit. "Bangun woi! Jalan yuk."

Aku berdecih dalam hati. Jalan, katanya? Telat!

"Zevania Sayang."

Aku langsung mual kalau dia sudah sok bersuara lembut begini. Apalagi sambil memelukku dari belakang, dengan posisiku yang masih terbungkus selimut. Dia itu tidak cocok bersikap malaikat seperti Bang Aldi. Dia kan setan.

"Masa ngambek sampai tiga hari sih, Dek? Abang sedih nih kalau kelamaan didiemin kamu."

Bodoh amat!

"Kan Abang sibuk. Tiga hari ini Abang beneran ngurus masalah supplier benang itu. Nggak ada waktu bahkan buat pulang ke rumah. Kamu sih sibuk ngambek sampai nggak tahu kan Abang nginep kantor? Aldi aja sampai harus turun tangan, lho."

Aku mengernyit. Memangnya iya? Kok aku tidak tahu kalau setan ini tidak pulang?

Dia makin mengeratkan lengannya di perutku. "Sekarang deh, ayo jalan. Ke mana deh. Abang turutin. Ya?"

Tapi aku sudah malas. Oke mungkin kalian anggap aku lebay, sok-sokan ngambek cuma karena batal diajak jalan abang sendiri. Biasanya aku juga tidak begitu. Tapi kadang aku merasa jengah sendiri. Aku memang berkecukupan harta. Papa meninggalkan sebuah pabrik kain, bengkel dan distro sebelum meninggal. Materi, aku tidak pernah kekurangan. Tapi aku jadi jarang mendapatkan waktu dari keluargaku. Si setan satu ini sudah mengurusi pabrik sejak muda. Bang Aldi dapat bagian bengkel. Sedangkan Mama sibuk dengan distro. Itulah kenapa aku jarang di rumah dan memilih bantu-bantu di Louvre.

Tapi ada saat-saat di mana aku kangen berkumpul bersama keluarga. Ditawari jalan dengan Mama atau kedua saudaraku itu bisa terbilang jarang, jadi waktu Bang Aldo ajak, aku langsung senang. Nyatanya bullshit!

"Dek, gue tahu lo nggak merem ya!" Dia mulai tidak sabar. "Dalam hitungan tiga nggak bangun, gue sembelih si Popo ya!"

Dih. Memang berani?

"Satu!"

"..."

"Lo tahu gue nggak bakal main-main kan? Gue bukan Aldi yang gampang kasihan. Apalagi sama samsak buluk lo itu. Dua!"

"..."

"Tiga. Fine!"

Terdengar suara langkah kaki menjauh membuatku panik. Aku langsung membuka selimut lalu berlari keluar. Menuruni anak tangga dan mengejar si setan yang benar-benar berjalan tergesa ke sebuah ruangan.

"Gue bunuh kalau tangan najis lo berani sentuh Pipo!" teriakku, waktu dia hampir menyentuh benda kesayanganku itu.

Bang Aldo menghentikan langkah, membalikkan badan dan menyeringai. Lalu berjalan cepat ke arahku.

"Harusnya lo tahu, kalau gue nggak bisa dicuekin, Adek Sayang."

"Bangsat, lepas!" Aku memberontak waktu dia memelukku erat sambil menyerang pipiku dengan ciuman bertubi-tubi. "Najis. Pipi gue ternoda. Lepas!"

"Nggak mau." Dia kembali mencium pipiku.

"Apaan ini basah, woi!" Aku berteriak kesal. "Gue bunuh lo, bangsat!"

"Bunuh aja nih, bunuh!" Tapi tentu perlawananku tak sebanding dengan kekuatannya.

Dan si setan ini tertawa membahana. Bahkan meski kami terjatuh bersama di lantai, dia belum mau melepasku. Dia memang tahu, cara membuatku kesal setengah mati adalah dengan menempelkan bibir najisnya itu ke pipiku. Astaga, jijik!

***

Saranghae, Om Ahjussi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang