[•° EMPAT PULUH TUJUH °•]

110 12 0
                                    

Di kamar apartemen yang menjadi awal mula pertengkaran dirinya dengan Ire, Habib duduk sambil meremas rambutnya dengan kasar. Ia sengaja tidak menyalakan pendingin ruangan, membuat kaus hitamnya berkeringat. Senja sudah kehilangan sinarnya, kini malam datang dan Habib sendirian.

Dipandangnya lantai apartemen yang dilapisi keramik putih bersih itu. Nampak bersih dan licin, sebab Ire sempat membersihkannya ketika terakhir kali mereka kesini beberapa hari lalu. Tangannya, tangan kiri yang menampar Ire senja tadi, terasa mati rasa setelah sempat memanas tadinya.

"Emosi gue makin ga kontrol. Gue bahkan udah nampar Ire," gumamnya. Ia menyesal, sungguh. Harusnya ia bisa lebih sabar.

Entah sudah ke berapa kali ia mengatakan hal itu tapi tetap saja ia tak bosan. Ia harus lebih sabar. Ia harus bisa lebih menahan emosinya di depan Ire.

"Argh! Suami macam apa gue!" bentaknya pada diri sendiri sembari membanting bantal di atas kasur. Dipukul-pukul benda empuk itu sampai Habib lelah sendiri.

"Brengsek Lo, Bib! Lo nampar Ire! Lo nampar bidadari Lo sendiri. Lo nyakitin dia! Argh! Sialan," racaunya emosi.

Rambut lelaki itu masih basah akibat sisa wudhu Magrib tadi sekaligus keringat, ia meremasnya lagi. Menjambak rambut tebalnya dengan kasar hingga kepalanya pusing.

Habib kacau.

Ia tahu yang ia lakukan pada dirinya sendiri tidak sebanding dengan rasa sakit hati Ire akibat perlakuannya. Habib selesai dengan bantalnya, kini ia memeluk lutut di atas kasur.

"Gimana bisa jadi ayah kalau Lo kasar sama istri Lo sendiri? Ga bisa jaga emosi, main kasar, main tangan. Brengsek Habib!" bentaknya pada diri sendiri.

Sekitar sepuluh menit, ia berguling di ranjang apartemen dengan keadaan tak baik-baik saja. Rambutnya berantakan, matanya bengkak, jidatnya berkeringat, kaus dan celaannya berantakan dan kusut.

Lelaki itu bangkit. Ia duduk di kasur sesaat setelah mengusap wajahnya dengan kasar. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang yang ia rasa pas untuk mendengarkan perkataannya.

Begitu kontak itu terpanggil, lelaki di seberang sana langsung menjawab. Lelaki dengan wajah yang cukup mirip dengan Habib, hanya tampak lebih tua akibat jenggot dan kumis.

"Assalamualaikum, bro," sapa lelaki itu. Ia berada di sebuah ruangan dengan banyak meja kursi bernuansa kayu.

"Mas, aku salah, Mas. Khilaf," jelas Habib dengan suara parau.

Febru Hambali, kakak lelaki dari Habib yang berusia dua puluh delapan tahun itu mengernyit heran. Duduknya menegak dan ia tahu betul adiknya sedang tidak beres.

"Kenapa?"

"Aku kasar sama Ire, Mas."

Hambali menaikkan alisnya, "Kasar piye?"

"Aku," lelaki itu membenamkan bibirnya, "aku nampar Ire."

"Asem! Tenan?" Hambali nampak kaget sekaligus marah. Ia terlihat celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar obrolannya dengan Habib, sampai mata bulat itu kembali ke layar telepon video.

"Aku khilaf. Aku salah," racau Habib lagi.

"Emang masalah apa? Kog bisa sampai nampar, Bib?" tanya Hambali, ia mengusap wajahnya putus asa, "Astaghfirullah, Bapak aja gak pernah kaya gitu. Aku juga ga ada kasar sama istriku. Belajar dari mana kamu, Bib?!"

"Tadi aku emosi banget, Mas. Aku ... Argh!" dipukulnya ranjang.

"Ire tu anak tunggal, Bib. Tak jamin Bapak Ibu nya ga pernah kasar sama dia. Kelihatan juga kan dia manja dan sensitif gitu. Harusnya kamu sadar kalau memperlakukan Ire memang harus lembut dan sabar."

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang