BAB 4

2.4K 272 27
                                    

Ara hanya tertegun menatap layar ponselnya. Sebuah foto yang dikirim Atha membuatnya resah. Derik pintu besi yang ditarik tidak membuat Ara buru-buru membereskan barang-barangnya. Senggolan temannya di bahu baru menyadarkan Ara.

"Pulang, ayo! Tumben-tumben bisa tenggo nih." Si teman mendesak Ara untuk beranjak dari tempatnya. Ara tersenyum maklum. "Kamu balik duluan saja. Aku mau mampir dulu. Kakakku lagi di sini," ujarnya. Ara kembali menatap pesan Atha. Foto Atha tersenyum sambil menyuapkan mie Aceh kepiting ke depan mulutnya. Di bawah foto tersebut tertulis dua baris pesan.

Adhiastha Pranaja:

Send a picture
@Mie Razali
I'll wait for you.

Kak Atha benar-benar menyusulnya? Ara masih kesulitan memproses fakta ini. Kenapa tidak ada yang mengabarinya sebelumnya? Tidak Kak Atha maupun keluarganya. Tiba-tiba, Kak Atha mengirim pesan itu, Ara sempat mengira pria itu bercanda. Namun, unggahan Instagram story milik pria itu memang menyatakan ia sudah sampai di kota serambi Mekah ini.

"Kak Ara, ada yang cari kakak nih. Katanya kawan dari Jakarta." Dari balik pintu geser besi, seorang sekuriti berteriak. Ara semakin bingung, merasa aneh dengan pemikiran bahwa Kak Atha menyusulnya ke kantor.

"Iya, sebentar." Ara hanya berteriak dan kembali mengumpulkan barang-barangnya. Merasa semuanya sudah lengkap, Ara buru-buru melangkah keluar kantor. Matanya membulat melihat siapa yang menunggunya di parkiran.

"Adit?" pekiknya.

Adit yang bersandar di kap mesin mobil melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Ara menghampiri laki-laki itu dengan kikuk. "Kok di sini?"

"Tugas lagi." Adit cengengesan. "Ra, lo enggak marah 'kan?"

"Marah? Kenapa?" Banyak sekali yang membuat Ara kebingungan sore ini.

"I didn't call you since that day."

Ara menautkan alis. Iya sih, Adit tidak menghubunginya lagi sejak kembali ke Jakarta dua minggu lalu. Namun, Ara tidak pernah mempermasalahkannya.

"Apaan? Ada-ada aja. Masa iya gitu aja marah?"

"Emang lo enggak kangen gue?"

"Ngaco, ah!" Ara berdecak. Tangannya ia lipat di depan dada.

Adit tertawa. "Nomor lo hilang. Handphone gue hilang." Ara hanya menatap Adit curiga sebagai responnya. Kemudian, menggeleng-geleng tak percaya. Alasan paling konyol enggak sih? Nomor Ara hilang? Apa kabar tuh sosial media lainnya? Nama Ara bisa dicari dengan mudah.

"Sini, handphone." Adit menyerahkan ponselnya yang memang terlihat baru. Ara mengetikkan nomornya sendiri dan menyimpannya. "Sudah, ya. Gue pulang duluan." Ara menyerahkan gawai puluhan juta itu kembali ke tangan Adit.

Otomatis, Adit menarik lengannya. "Apaan pulang? Ayo, temani gue makan." Ara hampir tidak melawan ajakan Adit jika ponselnya tidak berbunyi nyaring. Nama laki-laki yang sedang menunggunya di warung mie terkenal di Banda Aceh yang terpampang membuat perempuan ini mengumpat kecil.

"Halo, Kak! Iya, ini otw." Ara segera mematikan sambungan telepon itu sebelum Atha meresponnya panjang lebar. Beban Ara semakin bertambah ketika ia mau menolak ajakan pria itu tetapi tidak tega melihat wajah memelas Adit.

"Belum makan dari siang nih, Ra," tambah pria itu. Seakan Adit tahu Ara akan segera menolak ajakannya. Sialan! Sialan! Ara kembali mengumpat. Giliran sudah bahagia jomblo, kenapa ini dua cunguk datang mulu sih? Ara bergumam dalam hati.

"Yaudah, yuk! Gue yang nentuin tempatnya," putus Ara. Otaknya sudah membuat skenario menarik.

—PRAGMA—

PRAGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang