BAB 5

680 80 23
                                    

Pantai Lampuuk, Banda Aceh.

---

"So, how's life, Ra?" Sebuah pertanyaan yang sangat basa-basi dari seorang Adhyastha Pranaja.

Ara hanya melirik singkat Atha sebelum kembali terpaku memandang horison. Mereka berdua terduduk di hamparan pasir putih bersih. Debur ombak begitu menyejukkan sore yang masih terik ini. Atha tampak takjub dengan keindahan pantai yang punya masa lalu kelam. Sekarang, Lampuuk berlangit biru. Pantai megah yang saat ini diisi dengan beberapa gelak tawa tak lagi menampakkan seramnya sisa-sisa keganasan alam 18 tahun lalu. Lampuuk, menjadi salah satu saksi bisu kemarahan alam, tsunami Aceh, 2004. Lampuuk yang kini tertata kembali juga--semoga--menjadi simbol kehidupan baru para penyintas.

Ah, Ara pikir-pikir, pantai ini persis seperti mereka. Kini, tampak tenang dan damai,  tapi di masa lalu, pernah porak-poranda meninggalkan trauma. Ara tersenyum sinis.

"Ra?" panggil Atha.

"Baik, Kak. Banda Aceh menjadi keputusan yang tepat untuk menata ulang hidup," jawabnya terang-terangan.

"Tapi, aku gak suka kita jauh." Atha bergumam.

"Kalau kita gak jauh, kakak gak akan tahu kalau kakak gak suka kalau kita jauh."

Atha tergelak. "Kenapa sih gak Bali aja?"

Ara mengernyit. "Maksudnya?"

"Ya, kalau di Bali kan, sama-sama ada pantai, tapi aku bisa bebas peluk kamu."

"You wish!" Ara melemparkan sejumput pasir ke arah Atha.

Laki-laki itu tergelak lagi. Begitu keras dan bebas. Tawa yang sedari dulu jadi favorit Ara. Tawa yang sedari dulu bisa bikin hati Ara cenat-cenut. Tawa yang sampai saat ini masih membuat Ara menegang. Sial! Laki-laki ini, apa maunya sih?

"Ra, pulang, yuk."

"Bentaran lah, Kak. Dikit lagi juga terbenam. Selagi belum disuruh pergi."

Ara dan Atha sedang menunggu sunset. Walau sambil harap-harap cemas, semoga matahari terbenam lebih dahulu sebelum mereka diusir dari lokasi pantai. Sebuah perbedaan besar dari Bali, ketika pantai tetap ramai di malam hari, beberapa pantai tujuan wisata di Aceh biasanya akan dikosongkan menjelang Maghrib.

"Pulang ke Jakarta, maksudku."

Ara terkesiap. "Ngaco lo bener dah."

"Resign, aja, Ra. Pulang sama aku."

Ara menjitak kepala kakak-kakakannya ini. Atha hanya mengusapnya pelan, tetapi matanya tak lepas dari wajah Ara. "Pulang, yuk?"

"Biayain hidup gue, tapi," ucap gadis kesayangan Atha itu dengan asal.

Atha menyanggupi. "Mau disatuin juga enggak kartu keluarganya?"

"GILAAAAAA!!!" Ara menjerit sambil terbahak. Walau sisi terdalam hatinya sempat menggodanya untuk berkata mau, tapi dengan cepat Ara halau.

Tepat saat tawa Ara meledak, langit mengeluarkan semburat jingga bercampur ungu. Indah sekali matahari terbenam kali ini. Semakin menyempurnakan senyuman wanita yang ada di samping Atha. Tidak ada rambut yang tertiup angin ala-ala drama negeri gingseng, karena Ara mengikat rambutnya kebelakang dan menutupi kepalanya dengan selendang. Namun, tetap saja, siluet di depannya ini membuat rasanya hidup Atha disetel 2 kali lebih lambat dari biasanya. Ara mengulurkan tangannya perlahan, tentu disambut oleh Atha.

"Ayo, pulang," kata gadis itu.

--PRAGMA--

Pulang.

PRAGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang