Bab 1 Cinta Memang Tidak Salah

1 0 0
                                    

Pagi yang cerah dengan balutan awan tipis di langit, hangatnya mentari menyelimuti keseluruhan kaki bumi, dan juga terdengar nyanyian burung yang menari menguasai langit.
Suasanya kota Bandung pagi ini sangat baik untuk berolahraga ataupun jalan santai keliling komplek setelah kemarin hujan sedang seharian penuh tanpa jeda, akibatnya air kolam ikan depan yang ada di rumahku ini penuh dan hampir saja ikan-ikan tersebut terbawa air hujan, mampus sudah riwayatku, ikan yang kubeli ini hasil tabungan selama satu tahun saat sma kelas dua.

Namaku Febriyan, lahir di Jawa Tengah namun tinggal di Bandung karena pekerjaan Ayah dan Bunda di sini. Ayahku asli orang Jawa.

Kali ini, kalian akan kuperkenalkan dengan sahabatku yang paling manis se kota Bandung, itu menurutku. Dia sangat cerewet, posesif, namun juga sikap keibuannya sangatlah menarik.

Gadis keturunan Bandung-Jepang ini memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, karena saat berdiri di depan ku tingginya hanya sedadaku, mungkin sekitar 160cm. Rambut lurus sebahu dan dan saat tersenyum terbentuk lengung pipi, menambah aura kecantikannya.
Tiap hari selalu meluangkan waktu untuk datang ke rumah walaupun sekedar main atau bahkan membawakan makanan untuk sarapan. Dia bernama Ichi. Saat ini pukul 06.30 waktu setempat dan berarti sebentar lagi dia akan datang, aku sangat menanti masakannya. Lezat sekali.

Sembari menunggunya seperti biasa rutinitasku di hari pekan hanya menonton acara kartun di smartv. Di rumah sepi karena kebetulan kedua orang tuaku sedang ada acara di rumah adik ayah yang ada di Jakarta. Mereka menginap di sana sudah dua hari dan dengan teganya meninggalkan anaknya yang paling tampan rupawan ini. Juga tidak ada asisten rumah tangga yang kebetulan tengah cuti lantaran anaknya mengalami musibah kecelakaan, jadi sudah pasti beliau menemani anaknya.

Tiba-tiba dari arah dapur terdengar suara klontangan piring yang seperti ditata. Aku berpikir sejenak, apa mungkin ada kucing? Tapi aku tidak pelihara hewan apa pun termasuk kucing. Seketika aku kaget dan berlari ke dapur untuk memastikan bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi. Namun ketika telah berada di dapur, aku lebih terkejut lagi akan kedatangan Ichi di rumah. Padahal sejak tadi aku ada di ruang depan namun tidak melihatnya sama sekali ketika masuk.

Oh, astaga, tanpa ada ucapan salam ketika masuk rumah, maklum saja. Bahkan aku yang sedari tadi di ruang tamu tidak disambut. Baru teringat kalau itu sudah kebiasannya sejak dulu.

“Ohayo gozaimasu Febriyan-kun, apa kabar? Kau pasti sudah menunggu lama bukan? Hari ini kubuatkan khusus untuk mu yaitu onigiri dan sup miso,” tangannya sambil mengeluarkan rantang dalam tas.

"Kau masuk dari pintu mana, Chi? Kok bisa aku tidak melihatmu saat masuk?" tanyaku padanya sekaligus mendekatinya dan membantunya menata makanan di meja makan agar bisa makan bersama.

Namun rupanya ia pura-pura menghiraukanku dengan bernyanyi lirih lagu kesukaannya dan memberikan isyarat untuk segera melahap makanan yang sudah tertata rapi agar tidak dingin ketika dimakan. Aku pun hanya menurut saja.

Duduk berhadapan sambil sarapan bersama hasil masakan Ichi, rasanya memang bukan seperti sahabat.

Ketika satu suapan masuk dalam mulutku dan menatap wajah Ichi seketika batinku berkata,"Kok bisa aku punya teman sebegini cantiknya tapi juga menyebalkan,"

Ketika sedang asik makan sambil menatapnya tiba-tiba ia juga menatapku. Rasanya sedikit ada yang "deg" begitu dalam jantung. Hati berdebar kencang, perut terasa ada yang terbang begitu. Tapi tak tahu apa itu dan mengapa bisa terjadi. Sepertinya ia menyadarinya sejak awal. Namun mengapa harus begini? Ini membuat canggung.

"Kau menatapku sebegitunya, apa ada yang ingin kau sampaikan padaku?" dia masih melihatku. Dengan cepat aku menggeleng.

"Kalau begitu aku saja yang bercerita, ya. Koko tahu tidak kalau akhir-akhir ini aku sangat merasa gelisah pada suatu hal. Rasanya begitu tidak nyaman di dada namun tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata," ucapnya, lalu ia kembali bercerita tentang kegelisahannya. Banyak hal yang ia sampaikan di meja makan, aku hanya mendengarkan sekaligus melahap makanan ini yang sejak tadi belum juga habis.
Mungkin ia begitu karena sejak seminggu yang lalu aku tidak memberi jawaban apapun padanya mengenai hubungan ini, bagiku dia sudah seperti adik bahkan saudara jadi sangat berat hati jika menerima hatinya sebagai sepasang kekasih.
Kami berteman sejak aku pindah kemari sekitar usia lima tahun, dan dia berkata akulah cinta pertamanya. Bahkan ayahnya menyuruhku menjadi kekasihnya.

“Kenapa tidak mau jadi kekasihku, koko ? Apa kurangnya Ichi, katakanlah maka akan segera Ichi sempurnakan.” Dia menangis dihadapan ku.

Ya ampun, dia membahas hal ini kembali untuk ke sekian kalinya sejak kami satu sekolah saat sma. Dan selalu ku tolak dengan alasan dia sudah kuanggap sebagai saudara dan juga sahabat, tidak mungkin bagiku menerima cinta saudara sendiri walaupun aku tahu kami tidak se ibu.

Ucapannya barusan membuatku berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi saat ini, rasa canggung ini, dan ah entahlah. Masih mencerna keadaan dan situasi, pun aku tidak tahu harus gimana. Ditambah dia masih sesegukan sambil menyantap makannya aku pun hanya berdiam di tempat duduk dan sesekali menatap wajahnya yang kini memerah. Sebenarnya ketika begini aura kecantikannya bertambah juga semakin tampak imut atau mungkin jika kata orang wajahnya itu baby face.

Tapi jika dibiarkan semakin lama justru aku kasihan padanya, tentu tidak tega juga merasa bersalah jika faktanya yang membuat ia menangis ialah aku.

Lantas kuhentikan aktivitas makan ini, kuletakan sendok dan garpu di samping mangkuk. Kutatap wajahnya sekali lagi, “Ichi sayang, harus ku ulang berapa ratus kali lagi untuk menjawab pertanyaan mu itu, hm? Kau adalah saudara perempuanku, sahabatku, kita sudah berteman sejak kecil bukan? Marilah berdamai dengan hati, atau kau ingin kuperkenalkan dengan sahabatku yang pemain basket itu? Dia bahkan satu ekskul band dengan mu bukan?”

Lagi-lagi ia hiraukan perkataanku, itu semakin membuat perasaan menjadi serba salah. Hampir frustasi dibuatnya namun apa boleh buat, kali ini harus kulakukan untuk membuatnya tenang.

Kuraih kedua tangannya, lalu "cup", kucium tangannya yang mungil ini bagaikan adik kecil.

"Mengertilah, bahwa aku pun mencintaimu Ichi namun kita sudah berjanji bahwa tidak akan melibatkan hati. Aku tahu kau pasti butuh tangan untuk menguatkanmu namun kau tahu, bukan? Aku selalu ada untukmu di setiap saat dalam hal apa pun. Kita ini saudara, aku sayang padamu itu wajar, sayang," kuberikan senyuman terindah yang belum pernah kusampaikan padanya, kucium lagi kedua tangan ini. Dia tersenyum membalas perkataanku. Seketika hatiku damai.

"Jangan tinggalkan aku," ucapnya dengan berlinang air mata telah membasahi pipinya yang manis ini. Lantas aku menggeleng, itu tidak akan pernah terjadi karena apa pun keadaannya aku akan tetap bersamanya.

Dia hanya kesepian, takut kehilangan, butuh pelukan. Aku paham itu.
Cinta memang indah, namun terkadang tidak pada porsi dan posisi yang tepat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

i'll Off You (Story On KBM APPS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang