pulang dan datang

47 8 3
                                    

Sudah berpuluh-puluh pondok kudatangi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain,  tapi masih juga belum ada kemantapan hati untuk menetap dan menimba ilmu disana. Mungkin ini adalah pondok yang akan kucoba dan mungkin juga akan bernasib sama, kutinggalkan seperti pendahulu-pendahulunya. Tepat sebelum menginjakkan kakiku di ar rahman aku sempat mondok di ponpes sabilul huda di sleman yogyakarta. Sangat jauh jika berangkat dari rumahku di Trenggalek. Nyatanya jarak yang sangat jauh tidak melemahkan keinginanku untuk pulang dan mencari tempat yang baru. Aku tidak bisa hidup disana karena ketidaknyamananku dalam belajar,  aku sudah mencobanya selama 3 bulan terakhir. Namun nyatanya masih sama, aku tidak bisa hidup di sana. 

Ada banyak hal yang kurasa tidak sejalan dengan harapan yang kuinginkan. Abi dan Umiku selalu memintaku untuk bersabar dan bertahan, tapi aku masih tetap dengan jawaban yang sama "tidak krasan". Banyak tekanan dari rekan dan pondok itu sendiri. Banyak kesedihan di masa lalu yang terus menghantuiku. Kenangan buruk itu seperti sering muncul saat aku sendiri,  berdiam,  merenung, bahkan saat shalat. Tidak jarang tangisan mengalir begitu saja saat takbiratul ihram hingga salamku tiba atau bahkan sampai setelahnya. Aku terus menjelaskan pada abi dan umiku untuk memindahkanku, dan pada akhirnya aku dibawa pulang ke trenggalek untuk menenangkan pikiran & hatiku. Hingga suatu hari tiba, 

"nek sampean panggah ndek omah ae,  bakalan panggah linglung koyok ngene,  umi raiso le nyawang anak e koyo ngene.  Mari ngene sampean arep tak terne neng ndalem e kyai Ahmad seng ono nek kediri"

Aku masih termenung dan memasang ekspresi penuh pertanyaan. Aku tidak percaya bahwa keputusan yang diambil abi dan umiku masih saja sama. Membawaku ke pondok pesantren.

"iyo le,  opo seng diomongne Umimu kuwi bener. Aku yo ora iso lek kon ngopeni anak seng sabendino pikiran e kalang kabut diisi karo perkoro seng sejatine wes dadi aturan e gusti"

"nek ngoten,  kulo nderek dawuh e abah kaliyan umi" hanya itu kalimat yang sanggup keluar dari bibirku. Aku sudah lelah berpindah tempat dan berusaha menghilangkan pikiran burukku.

Dan disinilah tempat baruku,  pondok pesantren ar-rahman milik kyai Ahmad. Aku dipasrahkan di ndalem abah Ahmad atau sering dipanggil abah Mad. Langkahku lunglai saat aku menginjakkan kakiku di pintu gerbang pondok kecil ini. Pintu gerbang coklat yang sudah usang menjadi saksi langkah kaki tanpa semangat ini.

Setelah dibawa ke kamar yang akan aku tempati, Abi dan Umi mengajak untuk ziarah ke makam kyai hasan yang merupakan pendiri pondok ini.  Saat kakiku mulai memasuki area makam, tanpa disangka ketenangan batin akhirnya kudapatkan. Aku tidak tahu pertanda apa ini, rasanya pikiranku jauh lebih tenang dan sejuk. Kalang kabut yang semula menyelimuti, kini seakan telah terhapus dan terganti dengan ketenangan hati. Saat itulah,  aku mantap dan yakin bahwa pondok ini akan membawaku kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seusai berziarah dan shalat dhuhur berjamaah, Abi dan Umiku pergi meninggalkanku, mereka pulang sedang aku ditinggal sendirian. Memasuki waktu ashar aku masih terdiam dan termenung di hadapan nisan kyai Hasan. Aku bercerita banyak hal pada makam didepanku. Meluapkan semua amarah dan kecewaku. Kuakui hatiku jauh lebih tenang dan damai.  Aku berharap akan ada kebahagiaan yang menungguku untuk datang.

"mas saman gak melu jamaah ashar ye? " tiba-tiba suara itu membuyarkan diskusikuu dengan Kyai Hasan. 
"nderek mas. Niki jam pinten nggeh?" aku menjawabnya dengan secukupnya dan dengan bahasa yang sopan karena kupikir aku orang baru jadi harus sopan. 
"jam 4 mas,  ayo ndang wudhu sedelo maneh abah mad rawuh. Sman jenenge sopo mas? aku faris cah kamar umar"

"masya allah jam 4? kulo Ghiffari saking trenggalek lare kamar umar gih an. Kulo wudhu riyen geh?"

"iyo mas,  ojo boso lek karo aku.  Adewe konco kok e, lek kaliyan abah lan ndalem niku kedah boso"

"hehehe,  enggeh mas tasek sungkan kulo"

Hari pertamaku disini tidak seburuk yang ku bayangkan,  seperti yang sudah kubilang aku jauh lebih tenang dan mudah berteman dengan mereka. Ada Roni,  faris, Zafran,  dan Giyo yang sudah dekat denganku. 

Setelah shalat ashar,  aku ditimbali oleh abah mad. Beliau memberi wejangan dan sekalian meminta tolong padaku untuk mencuci sajadah yang terkena kotoran kelelawar. Aku menerima sajadah itu kemudian mencuci dan menjemurnya. Dari percakapanku dengan abah mad,  aku merasa beliau sudah tau banyak tentang masalah yang selama ini menggangu pikiranku. Bahkan aku diberi banyak wejangan dan solusi.  Aku suka dengan kelembutan tutur kata beliau dan caranya memberikan solusi untuk menghadapi apa yang sedang aku alami. Beliau memintaku untuk banyak bershalawat dan beristighfar, di hari itu aku hanya menunduk dan menerima petuah beliau.  Aku takut kalau Umiku sudah menceritakan semuanya pada abah Mad.

Tidak Sempurna dan SeutuhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang