Engsel

35 5 5
                                    

Terdengar sayup-sayup suara lembut yang berhasil menembus indra pendengaranku. Rasanya ketenangan berhasil mendekapku. Dengan embun yang menyelimuti dan udara pagi yang menyejukkan hati, ada lantunan ayat quran yang meneduhkan dan menenangkan. Siapa sang pembaca quran itu masih menjadi pertanyaan.

Suara itu muncul ketika aku hendak menata sajadah yang kemarin lusa kucuci. Aku melangkahkan kaki ke masjid al rahman dan mendengar suara itu. Letak masjid berdekatan dengan pondok putri gedung belakang, antara masjid dan pondok bersebelahan. Aku yang mendengar suara itu segera mencari sumber suara lembut itu. Kulihat sekeliling masjid dan aku menemukannya.  Ia berada di teras pondoknya. Ia memakai mukena hitam polos tanpa motif dengan posisi duduk menghadap kiblat dan memegang al quran warna abu-abu. Tak berjarak lama setelah aku menemukannya, ia menyudahi bacaan al qurannya. Nampaknya ia mengetahui kehadiranku, ia seperti orang yang ketakutan karena melihatku ada disini.  Padahal kalau dipikir-pikir memang waktunya shalat subuh jadi masuk akal kalau ada santri yang pergi ke masjid. Aku segera meninggalkannya dan melanjutkan langkahku menuju masjid untuk shalat subuh. 

Sejak pagi tadi pikiranku dipenuhi dengan suara mengaji, dan pada akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakannya pada Faris.

"Ris Faris,  awakmu kenal santri putri opo ora? "

"Yo kenal, tapi kan akeh. La santri seng kok maksud kui sopo. Lek tekokmu mek ngono tok aku yo rapaham to Ri" Faris menjawab dengan nada yang agak kesal,  karena memang pertanyaan terlalu umum untuk ditanyakan

"Pye ya Ris?" aku bingung harus mendeskripsikan perempuan itu seperti apa,  karena aku tidak melihat wajahnya dan hanya mendengar suaranya.

"La piye to Ri?  Ciri-cirine wae wes,  koyok opo?"

"Suarane ayu" itu yang bisa kukakatan pada Faris,  selebihnya aku tidak tahu seperti apa wujud jelasnya.

"Suara ayu ki koyok opo? alah boh Ri, angel omong karo kowe"

"Yowes gausah dipikir Ris,  bene tak pikir e dewe" jawabku singkat,  aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak tentangnya. Dan tentang bagaimana dirinya,  aku masih belum mengetahuinya. 

"Iyo wes ra tak pikir.  Eh awakmu nyapo lo kok mondok rene? Padahal omahmu uuuaduoh, kok iso ngerti pondok kene? "

"Lek mondok e kerono pakku kambek mbokku pengen nyawang aku tenang. Tapi kok iso ngerti lan milih pondok iki aku ora ngerti sebab musabab e, seng milihne pondok e wong tuaku Ris"

"Peh dadi anak kok manut eram karo wong tua, bedo lek karo aku sing saben dina penggaweyane engkel-engkelan karo bapak ibu"

"Jane ora Ris,  tapi aku wes kesel mlaku manut dalanku dewe. Kerep kesasar, tibo,  sampek keloro-loro. Tak pikir-pikir penak manut ae,  bene lek enek opo-opo aku ra melu disalahne"

"Iyo.  Atrah Mas Ghiffari idaman pol, wes ganteng,  soleh,  mbeneh sisan"

"Alah gombal mukiyo" jawabku singkat,  mungkin Faris bisa berpikir begitu karena tidak tahu asal muasalku dan bagaimana masa laluku.

Keakraban diantara kita sudah terjalin dengan baik. Aku mudah berbaur dengan mereka, mereka juga menerimaku dengan baik. Kita saling memahami dan mengakrabi, kecanggungan yang sering datang kini mulai berkurang atau bahkan menghilang. 

***

Pondokku ini cukup unik,  disini santri putra hanya boleh mondok saja (tidak boleh sekolah formal)  sedangkan santri putrinya boleh mengambil pendidikan formal. Karena hal ini,  rata-rata santri putra adalah lulusan SMA/MA sederajat sedangkan santri putri rata-rata sambil sekolah di MAN/SMAN sederajat. Alasan utama pondok mengambil langkah ini karena ingin manyiapkan santri dengan pemahaman agama yang kental dengan akhlak yang mulia dan siap terjun di masyarakat serta kelak mampu menjadi imam yang baik bagi keluarga dan lingkungannya.

Kegiatan pondok putra dan putri tentu jauh berbeda.  Kalau dilihat-lihat kegiatan santri putra jauh lebih padat.  Kegiatan ngaos (mengaji)  di pondok putra lebih banyak jika dibandingkan dengan santri putri.

Di pondok putra dalam sehari ngaos diadakan 4 kali, setelah shubuh mengaji quran,  jam 8 sampai jam 10 pagi ngaos kitab,  ba'da ashar ngaos kitab,  dan ba'da isya juga ngaos kitab.  Selebihnya waktu digunakan untuk melakukan aktivitas masing-masing atau ikut bantu-bantu keperluan pondok dan ndalem.

Kalau sedang sendiri, aku banyak menghabiskan waktu di makam Kyai Hasan sambil murojaah hafalanku atau bercerita tentang aktivitas dan masalahku. Hari ini aku bercerita mengenai suara halus milik makhluk misterius itu. Kuceritakan bagaimana aku mendengarnya,  mencarinya,  serta akhirnya menemukannya. Namun hingga saat ini belum mengetahui siapa sang empunya kelembutan itu. Kulanjutkan dengan mengirim al fatihah untuk kyai Hasan dan melanjutkan murojaah. 

Di tengah murojaahku, aku mendengar ada sosok yang memanggilku.

"Ri, sibuk gak? "

Ternyata dia Giyo,

"Enggak sih, mek ngene-ngene ae kat meng isuk"

"Melu aku yoh ! "

"Nendi? " aku menanyakan dengan alis yang sedikit terangkat

"Nyang pondok mburi"

"Arep nyapo?, ojo aneh-aneh. Ta'zir mantap wingko! "

"Diutus Abah Lukman benakne lawang, mesti lek suudzan e di disekne"

"Ealah, Abah lukman seng ngimami subuh?"

"Iyooo,  ojo kakean takon. Ayo mangkat!"

Dalam hati kecilku aku takut jika nantinya bertemu dengan sosok pemilik suara itu, tapi keinginanku untuk membantu jauh lebih besar.

Kami memulainya dengan melepas engsel pintu di ruang tamu ndalem. Abah Lukman menghampiri kami dan mengatakan akan pergi ke pondok ar rahmah karena ada undangan mengisi pengajian. Sebelum itu beliau memanggil dua santri putri untuk mengambilkan obeng dan seperangkat alat pertukangan lainnya. Yang satu bertubuh tinggi, kulit putih, gigi gingsul, dan kuakui dia cantik. Yang satunya berkulit sawo matang, mata tajam, gigi gingsul, kuakui dia manis,  dan memiliki tampilan wajah yang sejuk dipandang.

"Ndok Nia, sman kek kono alat e" abah mengarahkan sambil menunjuk satu tempat di dekat kursi ndalem. Aku mendengar abah memanggilnya Nia, entah sosok mana yang beliau panggil namanya. Yang pasti diantara keduanya ada 1 orang yang kurasa dia adalah pemilik suara lembut itu.

Dua orang perumpuan itu terus menunduk dan bahkan aku hanya bisa melihatnya dari belakang.  Sopan santunnya sangat luar biasa,  apalagi jika dibandingkan dengan diriku yang kurasa masih sangat kurang. Aku dibuat kagum dengan perilaku keduanya, tutur kata dan juga sikapnya sangat mengagumkan. Disana hanya ada satu kalimat "enggeh bah" dan kemudian ia kembali menuju ke tempat asalnya. Menampilkan punggung yang lambat laun mulai menghilang pertanda ia menjauh.

Seusai membenahi pintu, aku dan Giyo kembali ke pondok. Aku hanya diam dan Giyo membangunkan lamunanku
"Heh Ri, Ari,  Ghiffariiiii"

"Pye? "

"We nyapo?. Meneng ae kat meng"

"Wimeng mbak e jenenge sopo? "

"Mba Arnia Kambek Mba Salwa"

"Seng njawab Abah meng lo"

"Oala,  mba Nia wi"

"Mba Nia? "

"Iyoo,  mba Arnia celuk ane mba Nia"

"Oke"

"Nyapo Ri? "

"Gaopo" dalam batinku aku senang karena tahu sumber suara itu dari mana. Ternyata dia bernama Arnia. Semoga nanti bisa saling sapa atau bahkan bercanda bersama.
Aku tidak tahu ini perasaan apa,  tapi kurasa ini bukan cinta. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tidak Sempurna dan SeutuhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang