Bagian 1

261 7 0
                                    

-Selly-

"Ingat ya, pernikahan ini bukan karena aku cinta sama kamu, tapi demi mendiang Kak Alya dan demi Barry. Perasaan itu sudah hilang sejak kamu menghianatiku."

Entah berapa kali sudah aku mendengar kalimat itu semenjak pernikahan kami satu bulan yang lalu. Aku tak bisa lagi membuatnya percaya bahwa yang terjadi dulu, semuanya hanya kesalah pahaman. Demi Tuhan aku tak pernah berkhianat. Dan sekarang, aku tak bisa berbuat apa-apa saat aku tau bahwa ia tak lagi mempercayaiku.

Namun aku bersyukur bisa ditakdirkan bersamanya lagi meski sekarang ia tak mencintaiku. Tak peduli bagaimanapun ia menyakitiku, perasaan ini takkan berubah untuknya.

Flashback

Sore ini langit terlihat mendung, Aku yang baru saja pulang dari butik sedikit kaget melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman rumahku. Gerimis mulai turun dan membasahiku yang berlari kecil menuju ke rumah setelah memarkir mobil di halaman.

ketika aku masuk ke dalam rumah, kulihat kedua orangtuaku menyambutku senang.
Tak biasanya mereka pulang kerumah sesering ini. Seharusnya jadwal kepulangan mereka masih enam bulan lagi, saat Dinda akan wisuda.

"Selly, Ayo duduk sayang."
Mama menyambutku, aku hanya menurut kemudian duduk disamping mama.

"Jadi, Bagaimana?"
Dia adalah papanya Bobby. Aku menatap mama heran. Mengapa mereka ada disini? Namun ada perasaan senang dalam hatiku.

Sesaat ruangan hening seketika.

"Bobby melamar kamu, nak. Bagaimana? Apa kamu menerima?" Tanya papa to the point membuatku kaget dan benar benar senang. Aku tak heran kenapa papa bertanya tanpa intro, karena mereka tau kalau dulu aku pernah pacaran dengan Bobby. Namun mereka tak tau kalau kami sudah putus, tepatnya Bobby memutuskanku sepihak.

Aku mencari kejujuran di mata Bobby namun ia menghindari tatapanku. Tanpa pikir panjang aku mengangguk pelan.

"Selly bersedia Pa."

---

Dan setelahnya, semua terjadi begitu cepat. Awalnya, aku tak menyadari kalau ternyata ini bukan keinginannya. Selama mempersiapkan pernikahan kamipun, aku melakukannya sendirian. Ia selalu beralasan sibuk dan aku mencoba mengerti. Tentu saja aku sempat iri dengan pasangan calon pengantin lain yang biasanya datang berdua ke WO, sedangkan aku hanya sendiri dan terkadang hanya ditemani Mila, asisten, sekaligus sahabatku.

Sempat aku menangkap basah ia yang berkata sedang sibuk dan tak dapat menemaniku memilih undangan, tapi ternyata sedang berkumpul bersama saudara sepupunya di sebuah restoran. Tak masalah untukku, namun jujur saja aku cemburu pada salah seorang disana. Ya, Dhiya. Gadis itu, aku tak menyalahkannya sama sekali. Malah seharusnya aku meminta maaf sekaligus berterimakasih padanya atas pencabutan tuntutan pada adikku setahun yang lalu- yang dituntut karena nyaris saja membunuh Dhiya.

Namun rasa cemburu tentu tak bisa ku hindari. Bahkan aku dapat melihat dari sini, tatapan mata penuh cinta itu masih ada. Aku juga sempat merasa iri dan bertanya dalam hati, kenapa semua orang begitu menyayanginya?

***

"mas, sarapannya udah aku siapin." ucapku sambil mengetok pintu ruang kerjanya, sesaat setelah aku menyiapkan sarapan untuknya dan Barry pagi ini. Lama tak ada respon, aku kembali mengetuk.

ia membuka pintu lalu menatapku tajam.

"aku gak lapar. Nanti aku bisa sarapan diluar." Sahutnya dingin. Aku hanya bisa menunduk sedih saat ia kembali menutup pintu.

Hal ini sudah biasa terjadi setiap hari. Terkadang hanya jika Barry memaksa ingin sarapan bersama, barulah Bobby akan sudi memakan masakanku. Terkadang aku harus mengelus dada mendengar ucapan kasar dari mulutnya yang meskipun diucapkan dengan nada datar, namun tentu saja melukai hatiku.

A Freeze Spring (Side Story of Reaching Your Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang