Bagian 3

147 7 1
                                    

-Selly-

Hari sudah beranjak malam saat telpon dari Reza yang menyatakan sudah menemukan Barry masuk ke ponsel Bobby. Seharian ini aku dan Bobby sudah mencari kemana-mana dan untungnya Reza membantu kami hingga kini ia sudah menemukan Barry. Akupun belum tau motif penculikan ini karena Bobby hanya diam saat ku tanya.

"Kita pulang sekarang." Hanya itu yang di ucapkannya setelah menutup telpon dari Reza.

"Kita gak jemput Barry langsung mas?" tanyaku yang langsung dihadiahi tatapan tajam. Akupun hanya terdiam mendapat tatapan begitu, dan hanya bisa mengelus dada saat ia melajukan mobilnya ke rumah yang sudah dekat dari tempat kami berada sekarang.

"mas, kamu mau ap--"

"diam!"

Teriaknya saat menyeretku ke kamar dengan menarik rambutku kasar sampai kulit kepalaku terasa perih.

Sesampainya dikamarku, ia segera mendorongku ke sudut tempat tidur. Kemudian tanpa berkata apa-apa, dirobeknya blusku. Entah apa yang ia pikirkan sekarang, namun yang ku tau ia sangat marah.

Seperti tak puas, sekarang ia merenggut sobekan blus tadi hingga aku sekarang hanya mengenakan tanktop putih.

Aku syok dengan perlakuannya dan segera menutup tubuhku dengan selimut, namun ia segera menarik selimut tersebut.

Terlihat ia sedang melepas sabuknya dan tak lama kemudian memukulkannya ke badanku. aku hanya bisa menangis dalam diam merasakan perih di beberapa bagian, tempat dimana ia menyabet tubuhku dengan sabuk itu.

Sejak tadi ia diam saja dan terus menghujamku dengan pukulan menggunakan sabuk itu. Suara sabetan itu terdengar menggema nyaring daripada ringisan ku sendiri.

Mungkin ini semua hukuman untukku hingga aku hanya bisa pasrah menerima perlakuannya.

Tak lama ia berhenti, kupikir ia sudah puas. Namun aku salah besar.

Dengan tiba-tiba, ia mencengkram bahuku kuat, aku meringis tak bersuara. Kurasa sendiku berpindah tempat.

Tiba-tiba ia menindihku setelah sebelumnya mengikat tanganku dengan sabuknya, aku tak berdaya saat ia menelanjangiku, kemudian mendesakku.

"Bukankah ini yang kamu mau?" tanyanya setelah seketika aku merasa tubuh bagian bawahku perih, Aku hanya bisa menggeleng. Bukan ini yang ku mau tentu saja.

"ka- kamu masih perawan?" tanyanya lagi dengan kaget, mungkin merasa ia telah merobek sesuatu. pertanyaan itu lebih sakit dari sekedar ditampar. ia pikir aku semurah itu? ya Tuhan. Aku hanya bisa menangis sambil mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Aku tak percaya, sekarang tekhnologi sudah canggih, bisa saja kamu mengoperasinya." Ucapnya lagi kemudian melanjutkan apa yang telah ia lakukan. Ia tak peduli rasa perihku dan tetap melakukannya dengan kasar seolah aku hanya seorang pelacur. Padahal aku baru sekali melakukannya. Tentu caranya yang kasar menambah perih untukku yang sebelumnya tak pernah melakukan hal ini.

Seolah penderitaanku ini tak cukup membuatnya puas, ia malah menyebut nama Dhiya saat bersetubuh denganku, membuat hatiku bagai digores pisau berkarat yang tumpul. kenapa lagi-lagi harus Dhiya?

Lengkaplah sudah rasa sakit itu. Membuatku sudah tak berharga lagi sebagai wanita. Saat ia merasa sudah puas, ia meninggalkanku tanpa berkata apa-apa.

Meninggalkan aku dengan perasaan hancur, bukan hanya perasaan tapi juga fisikku. Kurasakan badanku sangat lemah sekarang, ditambah lagi dengan luka yang sudah tersebar di hampir seluruh tubuhku.

Paginya aku tak dapat menggerakkan tangan kiriku. Jadi aku melakukan semua dengan tangan kananku. Tubuhku terasa lemah. Aku menatap diriku didepan kaca. Aku begitu kacau.  Aku harus bertahan.

A Freeze Spring (Side Story of Reaching Your Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang