Bagian 7

347 7 0
                                    

-Bobby-

"Kenapa kamu gak pernah cerita kalo kandungan kamu lemah begini? kamu bisa membahayakan anak kita dan membahayakan kamu juga." Ungkapku kesal sesaat setelah kami sampai dirumah.

Untungnya hari ini Selly diperbolehkan pulang. Sebelum pulang, aku memang sempat menemui dokter, menanyai kondisi Selly. Namun kenyataan yang ku dapat membuatku begini, menjadi kesal. Kandungan Selly lemah dan ia tak pernah bercerita padaku. Ia memendam semuanya sendiri. Akupun tak pernah menduga hal ini. Hingga akhirnya aku hanya bisa menanyai Selly, meminta penjelasan.

"maaf mas," sahutnya parau kulihat matanya berkaca-kaca, sepertinya ia akan menangis.

Seketika aku teringat jika semua ini sama sekali bukan kesalahan Selly. Akunya saja yang tak pernah bertanya. aku mengeram kesal lalu mengacak rambutku frustasi.

Aku berjalan mendekatinya yang kini berdiri mematung dengan isakan halus terdengar keluar dari bibirnya.

see, aku membuatnya kembali menangis. Padahal kemarin aku sudah berjanji padanya. Sekarang aku merasa menyesal dengan bentakan yang tadi keluar dari mulutku. aku segera berlutut dihadapannya meminta maaf.

"selly maafin mas. mas tau ini bukan kesalahan kamu. ini salah mas karna gak pernah perhatiin kamu" ucapku lalu menggenggam tangannya, namun ia tak bergeming.

merasa tak mendapat respon aku kembali berdiri dan menggendongnya kekamar. ia tak memberontak dan tetap diam namun masih saja menangis. sesampainya dikamar aku segera merebahkannya di tempat tidur.

"mulai besok kamu harus bedrest. gak boleh ke butik, sampai kamu melahirkan." ucapku sambil mengusap pelan kepalanya.

"tapi mas, aku kan kesepian dirumah." sahutnya dengan suara yang memelan masih dengan isakan. Terlihat sorot takut dimatanya saat pandangan kami bertemu. Aku benar-benar terluka melihat tatapan itu.

"kalo kamu kesepian, telpon aja mas, nanti kalo gak ada kerjaan lagi mas bakal pulang. lagian Barry jam 12 sudah ada dirumah kok. nanti kamu ditemani Barry ya?" ucapku kemudian ikut berbaring di sampingnya, dan memeluknya. ia hanya mengangguk pelan. Tentu saja masih menangis.

"sudah, jangan menangis lagi, mas sedih kalo kamu suka nangis. mas minta maaf ya?" ia mengangguk lagi.

"yasudah sekarang kamu tidur." ucapku, kali ini ia diam saja masih berusaha menghentikan sisa-sisa tangisnya.

"sel?"

"Sel? Kamu sudah mengantuk atau belum?" Tanyaku agar ia mengatakan sesuatu.

"iya mas, sedikit. kenapa? mas pengen sesuatu? biar aku ambilin?" ucapnya menatapku sambil bergegas menyeka air matanya, dan ingin bangkit dari tempat tidur.

"enggak, gak pengen apa-apa." ucapku lalu memeluknya agar ia kembali berbaring.

"cuman pengen meluk kamu aja." lanjutku. kulihat pipinya memerah. ya Tuhan seberapa lama Selly mengenalku sampai setiap aku berbuat hal kecil seperti ini ia selalu blushing.

"mas sayang banget sama kamu. kamu tidur sekarang ya? jangan kecapean lagi apalagi sampe kecelakaan kaya kemaren, mas gak mau kamu sama dedek kenapa-kenapa." ucapku membelai perutnya yang kini mulai membesar.

"iya mas, aku minta maaf." lirihnya.

"jangan minta maaf terus sel, kamu gak salah kok, mas yang salah." ucapku, ia hanya mengangguk. Aku kembali memeluknya yang kini seperti sedang memikirkan sesuatu, entah apa. Ingin bertanya namun tak ingin mengganggu ketenangannya.

-Selly-

Aku benar-benar tidak mengerti akan perubahan Bobby. Aku jelas saja merasakan senang, bahkan sangat. Namun mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat ia menemani seorang wanita hamil mengecek kandungan, membuat hatiku terasa was-was. Aku sangat takut jika semua perhatiannya ini hanya awal dari kekejamannya selanjutnya.

Aku tak bermaksud berprasangka buruk. Namun semuanya benar-benar terasa aneh. Aku tak mengerti apa ia benar-benar menyesal atau tidak. Saat aku dirumah sakit selama dua hari, ia benar-benar perhatian. Rasanya aku seperti dalam dunia mimpi. Tapi, mengingat wanita yang bersamanya kemarin jelas membuat mimpi itu terasa hanya benar-benar mimpi saja.

Apalagi saat barusaja tadi sampai dirumah, ia kembali memarahiku. Perasaanku kembali tak nyaman. Apa aku harus bertanya padanya?

Lihatlah ia sekarang, ia benar-benar bertingkah layaknya seorang suami yang mencintai istrinya. Bahkan ia berkata bahwa ia menyayangiku. Aku harus bagaimana ya Tuhan.

Kurasa aku harus memberanikan diri bertanya padanya.

"Mas?"

"Iya Sel. Ada apa?" tanyanya merenggangkan pelukannya. Aku menggeserkan tubuhku menyamping, menghadapnya.

"apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"bertanya apa Sel? Tanya aja." Sahutnya menatapku dalam. Tatapan itu sungguh-sungguh. Apa aku harus mempertanyakannya lagi? Namun apa yang kulihat kemarin benar-benar menggangguku. Akhirnya aku hanya menggeleng.

"Gapapa mas, lupain aja." Ucapku akhirnya. Tak ingin rasa nyaman ini berakhir dengan cepat jika memang yang kulihat kemarin benar-benar seperti ekspetasiku.

---

"inget ya Sel, jangan lama-lama kalau mau keluar dari kamar. Mbok Tuti, tolong jaga dan temani istri saya. Dia gak boleh kecapean."

Pamit Bobby saat hendak berangkat kekantor. Aku mengangguk saja.

"Bunda, inget pesan ayah ya. Tunggu sampai Barry datang. Nanti Barry yang gantiin mbok Tuti menemani Bunda" sahutnya membuatku dan mbok Tuti terkekeh.

"yasudah kalau begitu aku dan Barry berangkat dulu." Ia mendekat dan mengecup keningku. Disusul Barry yang menyalamiku. Aku mengecup pipinya kemudian ia berjalan menuju mobil bersama Bobby.

Benar-benar seperti sebuah keluarga yang ku impikan. Aku tak ingin semua ini berakhir. namun bayangan Bobby bersama wanita itu masih saja terngiang dikepalaku. Padahal aku berusaha melupakannya.

"Nyonya, Sebaiknya kita kedalam sekarang. Tuan bilang jangan diluar kelamaan." Ucap mbok Tuti menyadarkanku. Aku segera masuk dan duduk disofa seraya menghidupkan televisi.

"Loh, nyonya gak kekamar? Tidur?"

"Nggak lah mbok. Baru juga bangun. Masa tidur lagi?" tanyaku. Mbok Tuti terkekeh mendengar ucapanku.

"Mbok mau ngapain? Ada yang bisa aku bantuin gak?" tanyaku membuat mbok Tuti segera menggeleng.

"Nyonya ada-ada saja. Nanti saya kena marah tuan. Saya tinggal jemur pakaian sama cuci piring doang kok."

"biar aku yang cuci piring ya mbok?" pintaku. Tak ada kegiatan begini benar-benar membuatku bosan.

"jangan—"

"Udah mbok, jangan khawatir. Asal gak ketahuan, semuanya aman." Sahutku melenggang ke dapur. Apa-apaan Bobby. Masa mencuci piring saja aku tak boleh. Kulihat Mbok Tuti pasrah dan segera menjemur pakaian.

Tak lama aku menyelesaikan mencuci piring. Setelahnya aku hanya menonton televisi dan melakukan hal yang tak produktif. Aku benar-benar kesepian padahal baru 3 jam Bobby dan Barry pergi.

Kulihat ponselku tergeletak diatas meja. Rasanya aku ingin mencoba menelpon Bobby. Apa dia benar-benar tak marah dan akan mengangkat telponku kali ini?

Dalam nada sambung ketiga, telpon diangkat.

"iya sayang? Ada apa?" tanyanya lembut. Rasanya darahku seketika mengalir dengan deras.

"Eum, mas. Aku cuman kesepian aja kok." Sahutku membuat Bobby terkekeh.

"Kamu mau aku suruh seseorang nemenin kamu? Atau aku pulang sekarang?" tanyanya yang langsung ku jawab dengan gelengan keras.

"Enggak mas. Gak perlu. Kalo mas sibuk, lanjutin aja."

"Yaudah, kamu tunggu Barry datang ya sayang. Kurang lebih dua jam lagi dia pulang kok. Tapi mas banyak kerjaan di kantor. Jadi tadi mas suruh sopir yang jemput. Barry setuju kok. Katanya yang penting ada kamu dirumah."

Perasaan hangat benar-benar melingkupi hatiku. Apa ia akan selalu begini? Aku tak mau ia berubah. Aku sangat berharap apa yang kulihat kemarin bukan mas Bobby. Atau hanya imajinasiku saja.

"Iya mas. Aku tunggu Barry. Mas kerja aja dulu. Jangan lupa makan siang ya mas."

"Kamu juga ya. I love u."

-tbc-

A Freeze Spring (Side Story of Reaching Your Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang