Gadis dengan surai (haircolour) itu tersenyum, saat melihat sosok pemuda berambut kuning sedang tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya.
"Kau sudah siap (Y/n)?" Tanyanya sembari merangkul gadis itu.
Yang dirangkul mengangguk. Keduanya berjalan bersama, ditemani terang bulan dan juga bintang. Jalanan yang cukup sepi membuat tawa mereka menggema.
Saling menceritakan kisah konyol yang mereka lakukan. Mengingat momen awal pertemuan mereka, hingga bisa menjalin pertemanan sejauh ini.
Keduanya mengambil tempat yang strategis. Duduk bersama, menunggu waktu dimana kembang api akan meluncur.
(Y/n) kini terdiam. Menatap langit malam yang terlihat tenang. Sesekali gadis itu menghela nafas, ia masih belum rela kehilangan temannya. Teman yang selalu ada untuknya, teman terbaik yang pernah ia miliki.
"Oya, (Y/n) ayolah jangan murung begitu!" Seru Lannion yang kini kembali merangkulnya.
"Kau memikirkan apa sih? Sampai sedih begitu?" Tanya Lannion lagi.
"Tolong jangan pergi, Lannion," pinta (Y/n) lirih. Jemari mungilnya meremas ujung jaketnya.
Pemuda dengan surai kuning itu tersenyum sendu. Ia mengusap surai (haircolour) milik (Y/n).
"Maaf (Y/n), aku harus pergi. Aku tidak bisa menolak permintaan ayahku," ucap Lannion dengan suara rendah.
"Aku janji. Setelah urusan ayah selesai, aku akan kembali lagi kesini. Mau bagaimana pun, ini juga kampung halamanku bukan?"
(Y/n) mendongak, menatap manik hitam milik Lannion."Kau berjanji?" Tanyanya lagi.
Lannion menganggu."Aku berjanji, (Y/n)".
Malam itu, semua orang bersorak gembira saat kembang api di luncurkan. Bahkan, senyum (Y/n) langsung mengembang.
***
Setahun berlalu semenjak malam keberangkatan Lannion, gadis bersurai (haircolour) itu sedang duduk di bangku taman. Menikmati semilir angin sore yang menenangkan.Di tengah keasikannya menikmati semilir angin, suara dering ponsel mengejutkannya. Segera diambilnya benda canggih itu. Tertera nama sang ibu di sana. Ia menggeser tombol hijau, lalu mendekatkan benda itu ke telinganya.
Hal pertama yang ia dengar adalah suara sang ibu yang sedang menahan tangis, juga beberapa orang di dekat sang ibu.
Setetes butiran bening jatuh diatas pipinya kala mendengar kalimat berikutnya dari sang ibu. Bibirnya bergetar.
Dengan tergesa-gesa, kini ia berlari di lorong rumah sakit, mencari keberadaan sang ibu. Lampu ruang gawat darurat belum mati, artinya, dokter masih menjalani pemeriksaan.
(Y/n) hanya bisa menunduk diam saat firasat buruknya menjadi kenyataan. Teman terbaiknya, ia hanya bisa berdoa untuk temannya. Di pandangnya foto dirinya dan Lannion yang diambil sehari sebelum pemuda itu berangkat.
(Y/n) sebenarnya terkejut. Tentang informasi kecelakaan Lannion. Bukannya pemuda itu sedang di luar kota?
"Lannion berencana untuk memberimu kejutan. Karena itu ia melarang kami memberitaumu, tapi... kecelakaan itu tak bisa kami hindari (Y/n)," isak ibu Lannion.
(Y/n) kembali menunduk. Tidak tau harus berkata apa.
Lampu ruangan yang padam menandakan bahwa dokter telah selesai melakukan pemeriksaan. Ibu Lannion langsung mendatangi dokter dan menanyakan keadaan putranya.
"(Y/n), Lannion memanggilmu," ucap ibu Lannion membuyarkan lamunan (Y/n).
Setelah mendapat izin, gadis itu langsung memasuki ruangan itu. Bau khas rumah sakit langsung memasuki indra penciumannya. Kedua matanya kini menatap pemuda bersurai kuning sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Keadaannya parah. Kepala yang di balut perban, tangan yang diinfus. Tubuhnya lemah.
Perlahan, (Y/n) melangkah menghampiri Lannion. Menggenggam tangan temannya.
"Hai (Y/n), bagaimana kabarmu?" Tanya Lannion lirih.
Gadis itu menangis. Ia tak sanggup melihat kondisi temannya."Kabarku sedikit baik, Lannion," balasnya di sela isak tangis.
Lannion tersenyum. Sebelah tangannya terulur, mengusap air mata yang turun di pipi temannya."(Y/n), boleh aku minta satu hal darimu?" Tanyanya.
"Tolong tersenyum. Aku ingin melihat senyummu. Senyum manismu untuk yang terakhir kalinya,".
Ucapan Lannion berhasil membuat (Y/n) terjatuh. Ia tidak kuat menopang tubuhnya. Sambil berpegangan pada meja, (Y/n) berusaha bangkit. Ia tersenyum. Walau air matanya masih mengalir.
"Terimakasih. Terimakasih untuk semuanya (Y/n). Terimakasih karena mau menjadi temanku, memberikan kenangan yang indah, terimakasih," ucap Lannion lembut.
"Kau hebat. Kau kuat. Aku yakin, kau akan menemukan teman yang lebih baik dariku," lanjutnya.
***
Kini gadis itu duduk di bangku tunggu luar ruangan. Kepalanya tertunduk. Enggan menatap ruangan dimana temannya berbaring.Nafasnya memburu saat mendengar jeritan dari ibu Lannion yang kini berada di dalam. Dengan cepat, ia memasuki ruangan. Suara nyaring dari mesin detak jantung membuat tubuhnya lemas.
"Lannion!" Tak peduli jika teriakannya akan mengganggu pasien lainnya, ia menghampiri temannya. Menepuk pipi, mengguncang pelan bahunya. Mencoba membangunkan Lannion.
Nihil. Tubuh Lannion sudah dingin. Yang tersisa hanyalah seulas senyum di bibirnya.
Berita buruk kembali (Y/n) dengar saat dokter menyatakan bahwa Lannion sudah tidak ada. Kini gadis itu menangis di pelukan ibunya dan ibu Lannion.
Teman terbaiknya. Sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Kini pergi.
***
Sudah sebulan sejak kepergian Lannion. Selama itu pula (Y/n) seperti orang yang tidak bersemangat.Di genggamnya surat pemberian Lannion juga sebuah kalung yang ia temukan dindalam surat itu.
Tidak ada lagi cengiran jahil dari Lannion, tidak ada lagi sosok teman yang membuatnya tertawa.
'Jangan bersedih, aku yakin, kau akan menemukan teman yang lebih baik dariku,'
Ucapan Lannion kembali terdengar, seolah angin baru saja menyampaikan pesannya.
Perlahan, seulas senyum terukir di bibir gadis itu. Senyum yang sudah lama hilang kini muncul.
"Terimakasih untuk semuanya, Lannion,".
29-4-21
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot The promised Neverland
FantasíaCerita kalian bersama trio the promised neverland dan kawan-kawan. Boleh chat pribadi untuk request