Memories [2]

829 118 14
                                    

Karena kelak, suara tangisan itu adalah suara yang paling kamu rindukan

-Si Pengarang Aksara-

"Kakak, ini apa?" Telunjuk mungil Anta menunjuk sederet botol obat di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kakak, ini apa?" Telunjuk mungil Anta menunjuk sederet botol obat di atas meja. Kenta yang duduk di sisinya, sibuk menyiapkan air untuk adiknya, hanya menoleh sekilas. Binar di iris hitam itu masih memancarkan tanya.

"Ini obat. Supaya flu kamu cepat hilang." Jawaban Kenta lantas membuat Anta segera menutup mulutnya. Padahal di udara, tangan Kenta sudah hampir Menjejalkan obat ke dalam mulut yang lebih muda.

"Anta, minum obatnya! Kalau nggak minum, gimana bisa sembuh?" Kenta hampir frustasi. Karena Anta selalu seperti ini. Menolak meminum obat, padahal kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.

Ini karena kejadian dua hari lalu, saat Anta dengan sengaja bermain hujan. Saat itu, Kenta belum pulang dari sekolah, dan setelah tiba di rumah, justru dia menemukan anak itu bermain di halaman belakang dengan keadaan yang sudah basah kuyup.

Ingin marah, tapi begitu melihat binar di kedua iris Anta, Kenta hanya mampu bungkam. Kemudian menarik adiknya masuk, membantu anak itu mandi dengan air hangat. Dan sudah Kenta tebak pula, bahwa adiknya akan demam. Benar saja, malamnya Anta demam tinggi.

"Pahit. Anta nggak suka!"

"Salah siapa main hujan? Apalagi kamu nggak izin sama Kakak."

Anta menunduk. Jadi berasa bersalah. Apalagi melihat raut wajah Kenta, walau Anta tak mengerti perasaan apa itu, tapi Anta tahu bahwa kakaknya sudah sangat lelah. Jika malam, Kenta tidak tidur. Yang lebih tua terjaga, menjaga adiknya.

"Maafin, Anta."

Melihat raut sedih itu, Kenta sedikit senang, artinya Anta akan luluh pada akhirnya. "Kakak maafin. Buka mulutnya, minum obat dulu!"

"Aaa ...." Dengan sekali tegukan, obat itu larut ke tenggorokan, meninggalkan sisa rasa pahit di langit-langit mulut. Anta meringis, hampir memuntahkan kembali obatnya, sebelum Kenta membekap mulut anak itu.

"Jangan di muntahin! Sabar, nanti pahitnya hilang."

Kepala Anta mengangguk kecil, kemudian tangannya menyingkirkan tangan Kenta. "Nggak mau lagi minum obat." Bibir itu mencebik, siap menangis.

"Makanya jangan main hujan. Kamu nggak tahan dingin. Oke?" Tangan Kenta mengusap surai hitam itu. Penuh kelembutan. Membuat sang adik terbuang, hampir memejamkan mata.

Melihat adiknya yang sudah hampir terpejam, Kenta menumpuk bantal kembali seperti semula. Menyuruh Anta merebahkan diri. Menarik selimut sampai ke batas dada, memastikan anak itu tidak sesak karena lilitan selimut.

Kedua iris indah Anta masih mengerjap, menangkap wajah Kenta yang selalu tersenyum seperti biasa. Merasakan usapan lembut di kepalanya, kantuk perlahan menyerang. Akhirnya, kedua iris itu menutup, dengan dengkuran halus yang menjadi melodi pengisi sunyi.

|✔| Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang