Bahagia, segera datang jemput mereka
Ukir senyum indah di bibirnya
Biarkan semesta iri mendengar gema
dari tawanya-Si Pemilik Aksara-
Kenta sekali lagi memastikan surai si kecil agar tetap terlihat rapih, kemudian membawanya menuju ke bawah, tepatnya ke ruang makan yang saat ini terdapat beberapa orang. Yang Kenta tahu, orang-orang itu adalah teman Papa, itu pun kata Bi Tika.
Begitu Kenta dan Anta sampai, beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Semua tersenyum teduh, menyambut si ahli waris dari perusahaan terbesar di kota. Melihat tatapan mereka, justru membuat si kecil menyembunyikan tubuhnya dibalik tubuh sang kakak.
"Kak, mereka siapa?"
"Jangan takut, mereka temen Papa."
"Kenta, Anta, kemarilah!" Suara tegas Papa menggema kemudian, membuat dua anak yang berdiri di sana berjalan perlahan. Genggaman si kecil semakin erat, kala irisnya tak sengaja bertubrukan dengan iris tegas milik Papa.
"Jadi ini yang bernama Kenta? Sangat manis, sama seperti Mamanya." Salah seorang wanita berambut pirang, bersuara. Tatapan semua orang lantas bergerak untuk menatap Kenta juga. Sedangkan yang di tatap, hanya memasang senyum sekenanya.
"Tentu saja, dia anak kebanggaan kami." sahut Mama dengan bangga. Terbukti dari irisnya yang berbinar kala menyebut bagaimana bangganya dia dengan Kenta.
"Calon ahli waris memang tidak main-main. Semoga Kenta bisa mengikuti jejak Papanya." Lelaki yang menggunakan jas hitam pekat ikut menyahut.
"Sudah-sudah. Kita lanjutkan obrolan ini setelah makan malam." Akhirnya, sang kepala keluarga angkat suara. Semua orang mulai sibuk memilah makanan yang akan mereka santap. Begitu pun dengan Kenta yang asyik menyiapkan makan malam untuk Anta.
Perlakuan itu tak lepas dari pandangan semua orang. Bahkan wanita yang duduk di seberang Anta membatu, melihat bagaimana tangan kecil itu lincah melayani adiknya. Seolah seperti terbiasa melakukan itu semua.
"Wah! Kenta, kamu baik banget. Manjain adiknya banget, ya?"
Bukan hanya Kenta yang menoleh, Mama dan Papa juga. Wajah keduanya menggelap tanpa orang-orang di sana sadari. Kenta mengangguk, tanpa suara, karena masih sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas adiknya.
"Rasanya saya iri. Kedua anak saya tidak se-akur ini. Selalu bertengkar, membuat keributan, yang bahkan keributan itu tidak pantas diperdebatkan." Wanita satunya bersuara juga, menatap penuh puja pada sosok Kenta dan Anta. Membandingkan dengan sikap kedua anaknya, yang jauh berbanding terbalik dengan mereka.
Bukan merasa tersentuh, justru kedua sejoli di sana wajahnya sudah tak sedap di pandang. Sang kepala keluarga bedehem, meminta semua orang untuk berhenti bicara. Akhirnya, ruangan hanya terisi gema dari dentingan sendok.
Empat orang yang menjadi tamu sepesial malam itu, akhirnya mengundurkan diri pada pukul sembilan. Akhirnya Kenta bisa bernapas lega, menatap Anta di sebelah yang sudah terkantuk-kantuk. Kenta jadi tak tega, hingga berniat membawa adiknya ke kamar sebelum suara Papa mengurungkan niatnya.
"Papa nggak suka kamu bersikap seperti pembantu untuk adik kamu, Kenta. Sudah berapa kali Papa bilang, jangan terlalu memanjakan dia? Nanti dia bisa apa? Anak manja hanya akan berakhir menjadi beban keluarga. Apa kamu mau, adik kamu seperti itu, Kenta?"
Anta yang sudah hampir terpejam, terjaga seketika. Tubuh si kecil semakin menempel pada pelukan kakaknya. Apalagi kala suara tegas Papa menggema, lengkap dengan tatapan tajam, seolah menghakimi yang termuda.
"Kenta nggak masalah kok. Kenta akan kerja keras. Nggak masalah kalau Anta nggak bisa jadi penerus Papa, kan masih ada Kenta. Biar aja Anta menjadi apa yang dia mau."
Rahang si lelaki mengeras kala mendengar ucapan bocah berusia sembilan di hadapannya. "Apa yang kamu tahu tentang masa depan? Papa melakukan ini untuk kamu juga, Kenta! Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya menjadi orang yang tak berguna!"
"Kata guru Kenta, nilai sempurna belum tentu menjamin masa depan seseorang. Nilai sempurna Kenta, belum tentu bisa menjamin kebahagiaan Kenta. Kenta tahu, Anta akan berhasil dalam hidupnya. Anta suka menggambar, Pa. Siapa tahu, Anta bisa menjadi pelukis terkenal, seperti mimpinya yang selalu dia sebutkan kala bercerita dengan Kenta."
"Cukup! Keterlaluan! Siapa yang menyuruh kamu menggurui Papa?" Lelaki itu berdiri di hadapan dua anak yang kini saling memeluk. "Kenta Papa hukum! Pergi ke kamar, jangan ke luar sebelum Papa yang nyuruh. Dan kamu!" Kini telunjuk lelaki itu mengarah tepat di wajah kecil Anta. "Pergi ke kamar kamu juga. Jangan berani-berani ke luar!"
Anta segera menggelengkan kepala kuat-kuat. Tubuh si kecil bergerak untuk bersimpuh di kaki sang Papa. Menangis di sana, dengan suara lirih penuh permohonan. "Jangan. Anta takut, takut Pa. Anta janji, janji akan dapat nilai sepuluh. Ya, Pa?"
"Anta ...."
"Sepuluh? Papa ingin seratus!"
"Seratus! Anta jani, Papa. Jangan kurung Anta. Takut ...."
"Lepas Anta." Kenta beranjak, menarik tubuh adiknya menjauh. Papa masih berdiri di sana, menghela napas, lalu tanpa mengucapkan kata lagi, lelaki itu berlalu pergi.
"Kakak?"
"Kak Kenta di sini."
Tubuh si kecil bergetar, ketakutan. Lagi-lagi Kenta harus menyaksikan bagaimana iris indah itu melelehkan air mata. Sangat sakit. Lebih sakit saat dirinya sendiri terluka. Tangan Kenta tak berhenti untuk terus mengusap punggung si kecil, agar tangis itu mereda.
"Kak Kenta, bawa adiknya ke kamar yuk?" Itu suara Bi Tika yang kini mulai membantu menenangkan si kecil. Kenta mendongak, bertemu tatap dengan sorot sendu Bi Tika.
"Bantuin Kenta, Bi."
"Iya, ayuk!"
Bi Tika salah satu saksi bagaimana kedua anak hebat itu melewati hari mereka. Bi Tika sudah bekerja di sini, sejak Kenta berusia delapan bulan. Sampai Anta hadir pula, melengkapi kebahagiaan di rumah ini. Awalnya, Bi Tika menyangka dengan kehadiran Anta, sang majikan akan berubah, lalu memberikan seluruh perhatian mereka kepada anak-anak mereka. Tapi ternyata salah, semenjak kehadiran Anta, apalagi semenjak anak itu masuk ke sekolah, orang tuanya semakin gila kerja.
Mereka akan menginjakkan kaki di rumah ini, sebulan sekali. Atau bisa sampai beberapa bulan kemudian. Tidak ada perhatian yang mereka berikan kepada kedua anaknya. Mereka melimpahkan semuanya kepada pekerja yang sudah mengabdi di rumah ini, termasuk Bi Tika.
Bi Tika menghela napas, ketika selesai membenahi selimut si kecil. Rasanya sakit, melihat jejak air mata di wajah putih itu. Ingin sekali rasanya Bi Tika membawa dua anak ini untuk pergi bersamanya. Tapi Bi Tika seketika sadar, siapa dirinya? Dan kini Bi Tika hanya bisa berharap, bahwa kebahagiaan akan segera datang, menjemput mereka, membuat tawa merdu mereka menggema.
»»----><----««
Dunia Khayalan,
18 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Memories
Teen Fiction[Disarankan untuk membaca KENANG lebih dulu] Ini secuil kisah paling manis yang belum sempat ter-ceritakan, dari sosoknya yang kini sudah berada dalam pelukan semesta. @aksara_salara #01052021