Memories [5]

1.2K 121 27
                                    

Cukup tutup mata dan telinga
Dengarkan suara ku saja
Abaikan perkataan mereka
Karena suara itu hanya akan
membuatmu terluka

-Si Pengarang Aksara-

"Jadi, Ayah Wildan itu baik ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, Ayah Wildan itu baik ya?"

Pertanyaan bocah berusia tujuh itu membuat temannya mengangguk semangat. Lantas dengan mulut penuh, bocah bernama Wildan menjawab. "Iya, Anta. Ayah aku hebat, suka banget main robot sama aku. Terus Ayah jadi superhero. Aku sayang banget sama Ayah."

"Gitu ya? Tapi kenapa Papa Anta nggak pernah mau main sama Anta?"

Tangan gemuk Wildan meletakkan cake yang sejak tadi dinikmati, ke atas meja. Merubah posisinya untuk duduk berhadapan dengan Anta, walau posisi mereka terhalang meja. "Mungkin karena Anta nakal?"

"Enggak. Anta nggak pernah nakal. Kata kak Kenta juga, Anta nggak boleh nakal. Tapi kenapa Papa nggak mau main sama Anta, ya?"

Bocah seusia Anta itu berpikir keras. Mencoba mencari kalimat untuk menjawab pertanyaan temannya. Namun apa yang bisa bocah tujuh tahun itu jelaskan? Wildan hanya mengatakan mungkin Papa Anta sedang sibuk, karena Ayahnya juga sering sibuk karena kerjaan. Dan untungnya, Anta langsung percaya.

Iris indah Anta menatap ke depan. Ke papan tulis putih yang belum mendapat coretan. Anta sering mendengar, dari teman-temannya tentang Ayah mereka yang selalu mengajak bermain, atau menemani mereka membeli mainan. Anta jadi berpikir, kenapa Papa tidak pernah seperti itu?

Bahkan sudah dua hari ini, sosok Papa tidak dia temukan di rumah. Kata Kenta, Papa sedang bekerja sangat jauh, hingga tidak bisa pulang sementara waktu. Mama juga sama, jarang sekali terlihat di rumah.

Pulang sekolah, Kenta selalu menjemput Anta, dengan menunggu di depan kelasnya. Kali ini, bukan binar di iris Anta yang Kenta tangkap, melainkan raut sendu yang kini menghiasi wajah bulatnya.

"Kamu kenapa?"

Anta mendongak, menatap yang lebih tua. "Kangen Papa, Anta mau main sama Papa juga."

Bocah yang dua tahun lebih tua, hanya mampu bungkam. Merekam semua kesedihan yang tertangkap netra. Walau bukan pertama kalinya Anta berucap demikian, tapi tetap saja, Kenta sedih harus terus berbohong kepadanya.

"Kak Kenta, kapan Papa pulang? Anta mau ajak Papa main, terus mau minta temenin beli mainan."

Kenta tersenyum, meraih tangan yang lebih kecil. "Sama Kakak aja ya, belinya? Nanti Kakak temenin main juga."

"Enggak! Maunya sama Papa. Kata Wildan, main sama Papa lebih seru. Soalnya Papa bisa gendong-gendong gitu."

"Kakak juga bisa gendong kamu. Kan biasanya juga kamu minta gendong sama Kakak." Kenta masih kekeuh meyakinkan si kecil. Walau iris binar itu menegaskan bahwa keinginannya adalah mutlak, tak ingin dibantah!

"Mau Papa, Kak." Kepala kecil itu menunduk, menatap sepasang sepatu putih yang membalut kakinya. Kenta menghela napas, mengikuti tatapan Anta.

"Anta sini dengerin kak Kenta." Perlahan, jemari itu menyentuh pipi bulat Anta, kini tatapan mereka bertemu. Iris indah yang Kenta suka itu, sudah berkaca-kaca. "Nurut sama kak Kenta ya? Main sama Kakak aja. Apa kamu nggak suka, kalau main sama Kakak? Kakak bikin bosen, ya?"

Bibir kecilnya mencebik, siap menangis. Tapi Kenta segera mengusap pipi itu dengan ibu jarinya. "Enggak gitu. Anta kangen Papa aja."

"Iya, tahu kok. Tapi untuk saat ini, Papa belum bisa pulang. Jadi kamu main sama Kakak dulu. Kakak janji, nanti kalau Papa pulang, kita ajak main sama-sama. Mau, ya?"

Akhirnya si kecil mengalah, mengangguk lemah. Membiarkan Kenta menarik tangannya untuk segera pergi dari sekolah. Kenta memenuhi janjinya, membawa adiknya ke toko mainan yang tak jauh dari sana. Membiarkan adiknya membeli apa pun yang diinginkan. Karena hanya dengan begitu, Anta bisa lupa dengan permintaannya.

●○●○●○●○

Malam ini, entah mengapa tiba-tiba hujan datang dengan derasnya. Kenta, yang memang tidur di kamarnya sendiri, bergegas pergi ke kamar sang adik. Begitu membuka pintu, sosok Anta sudah meringkuk di belakang pintu, tubuh kecilnya bergetar karena suara-suara sahutan guntur di luar sana.

Kenta merengkuh tubuh kecilnya. Memberikan ketenangan dan kehangatan yang dia punya. Perlahan, tubuh itu tenang. Namun Kenta masih bertahan di sana, tidak berani bergerak untuk memindahkan tubuh Anta.

Dalam lelapnya, mulut kecil itu selalu bergumam menyebut Mama dan Papa. Kedua iris Kenta berkaca-kaca, menatap jendela yang tertembus oleh cahaya. Kilatan putih menyusup masuk ke ruangan.

Mama, Papa, dia juga rindu mereka. Kenapa Mama dan Papa selalu sibuk bekerja?

Pertanyaan itu ingin sekali Kenta tanyakan pada mereka. Tapi Kenta selalu tidak memiliki kesempatan. Hingga pertanyaan itu hanya bertahan di bibirnya saja.

"Mama ... Mama mana? Ke mana?" Bibir kecil Anta terus bergumam. Menanyakan kapan Mamanya kembali, atau kapan Papa bisa bermain bersamanya.

Tangan Kenta gemetar saat menyibak surai lembut adiknya. Kenta kecup dahi putih untuk membuat Anta tenang kembali. Di rumah besar ini, hanya ada mereka berdua. Biasanya memang ada yang memasak, seorang ibu paruh baya, tapi waktu bekerjanya hanya sampai sore saja.

"Tidur yang nyenyak. Jangan dengerin suara gunturnya. Nanti Kakak usir suaranya." Bisik Kenta di telinga Anta.

»»----><----««

Singkat saja, ini hanya kisah manis mereka. Yang masih merindukan mereka, semoga kisah ini bisa sedikit mengobati rindu itu.


Dunia khayalan,
20 Mei 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

|✔| Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang