Jakarta

55 5 1
                                    

"WOI DEVAN BANGUN LO, LO JADI KE RINJANI GAK SI?"

Devan membuka matanya, geram mendengar suara besar Dimas dikamarnya.

"Siram aja Dim, susah banget dari tadi dibangunin," ujar wanita paruh baya dari luar kamar Devan.

"Bener ya Dev, lo gak bangun juga gua siram pake aer," ujar Dimas berancang-ancang menuju kamar mandi.

Devan bangkit dari kasurnya, "emang udah jam berapa si?" dengan polosnya pria itu bertanya mengenai jam. Ia menoleh kearah jam dinding yang berada diatas pintu kamarnya.

"KENAPA LO GA BANGUNIN GUE SETAN?" ujar Devan langsung berlari menuju kamar mandi.

"Eh bukan gue ya yang gak bangunin lo, lo aja tuh yang tidur kayak mati," ujar Dimas lalu dengan terburu-buru menuju kamar mandi.

Dimas mengambil Carrier milik Devan yang tersandar di tembok dekat meja belajarnya. Beruntungnya Carrier ukuran 15 liter itu sudah disiapkan sejak kemarin. Tak lupa Dimas menyandingkannya dengan sebuah Trekking Pole yang sebelumnya masih berada di lemari Devan.

"Kalo gak di giniin pasti ketinggalan," bisik Dimas.

Setelah setengah jam mereka bersiap-siap, mereka berdua pun berpamitan kepada orang tua Devan.

"Mah, Pah, Devan berangkat dulu ya," Devan mencium punggung tangan kedua orang tuanya itu bergantian dengan Dimas yang juga melakukan hal yang sama dengan Devan.

"Izin ya Om, Tante, tolong direstuin perjalanan kita," ujar Dimas.

"Iya. Kalian harus tetap ingat ya, puncak bukan segalanya, tapi pulang dengan selamat adalah tujuannya," ujar Bahri, Papa Devan.

Devan dan Dimas mengangguk mengerti. Pendakian ini bukanlah pendakian pertama mereka. Dipendakian sebelum-sebelumnya mereka juga pernah tidak sampai puncak saat di gunung salak dikarenakan cuaca buruk yang mengharuskan mereka turun.

"Naik gunung jangan buntingin anak orang!" ujar Vita, Mama Devan.

Semua mata langsung tertuju pada wanita itu, "bener-bener ya Mamah kalo ngomong!" Ujar Devan sedangkan Bahri hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalo Devan sampe ngehamilin anak orang pasti langsung dihukum sama makhuk yang ada di Rinjani," ujar Devan.

PLAKK!

Devan mengusap-usap mulutnya yang baru saja ditampar oleh Vita, "jahat banget sama anak sendiri."

"Lambemu lho Dev, ntar jadi kenyataan gimana? Mau kamu?" ujar Vita dengan aksen Jawa yang medok.

"Tenang aja Mah, gunung udah mendarah daging di hidup aku," jawab Devan ngawur.

"Matamu," timpal Bahri.

"Loh buktinya nama tengah aku Arga," ujar Devan dengan cocokloginya.

Vita memukul pelan kepala anaknya, "salahin tuh Papah kamu, selain hobi naik gunungnya yang nurun ke kamu, bobroknya juga nurun," ujar Vita.

"Udah sana berangkat, nanti telat."

Devan dan Dimas mengangguk, Taxi online yang ia pesan juga sudah tiba di depan rumah.

"Hati-hati ya, jangan lupa berdoa."

Seperti kebanyakan orang tua, Bahri memberikan beberapa wejangan kepada putra keduanya itu. Sifat mereka yang mirip disatukan pula dengan hobi yang sama.

Dulu Bahri adalah seorang pendaki yang hampir mendaki seluruh gunung di Indonesia. Ia sering sekali menceritakan pengalaman-pengalamannya selama mendaki kepada Devan. Devan sangat antusias, dari kecil Bahri selalu memperkenalkan alam agar Devan bisa bersahabat dengan alam.

"Devan mirip banget ya sama kamu," ujar Vita sambil menatap Taxi itu pergi.

Bahri juga menatap Taxi yang mulai hilang dari pandangannya, "sengaja kuberi nama dia Arga, agar dia lebih dekat dengan gunung."

Vita tersenyum, "Rinjani ya, tempat kita bertemu."

Melihat istrinya tersenyum, Bahri jadi ikutan tersenyum mengingat Rinjani adalah tempat mereka bertemu 26 tahun yang lalu. Saat Bahri sedang melakukan ekspedisi maha siswa pecinta alam, ia bertemu pertama kali dengan Vita, anak seorang Bupati yang sedang ikut Ayahnya memantau keadaan gunung Rinjani.

"Mau naik gunung?" ujar Bahri memberi penawaran kepada istrinya.

Vita menggeleng, "ngaco kamu mas, inget umur! Pikirin tuh rematik."

---

"Kesiangan bro?" tanya Pria dengan perawakan tinggi besar, seperti seorang binaragawan.

"Biasa bang, tukang ngaret," ujar Dimas sambil merangkul Devan.

Devan menyingkirkan tangan kekar Dimas dari tubuhnya, "emang lu aja yang telat nyamper gua Dim, pake nyalahin gua lu."

Sebut saja Danu, pria yang memiliki postur binaragawan itu terkekeh kecil melihat kelakuan dua sejoli yang mungkin susah bersahabat sejak mereka kecil. "Tapi emang lu tukang telat Dev," ujar Danu.

"Iya kan bang?" tanya Dimas memastikan lalu diiyakan dengan Danu yang mengangguk.

Malas mendengarkan kedua orang memojokkannya, Devan bertanya, "yang ikut berapa orang bang?"

"Tujuh doang Dev, soalnya kita ambil di hari biasa bukan hari libur," jawab Danu.

"Tujuh udah termasuk porter bang?" tanya Devan.

"Belom Dev, kalo semuanya si total sepuluh orang. Udah guide + porter."

"Ada ceweknya bang?" tanya Dimas.

Danu melirik penuh arti, "banyak Dim yang pake baju putih," ujar pria itu lalu disambut dengan tawa.

"Kalo cewek aja cepet lo!" tegur Devan, yang ditegur hanya cengengesan tidak jelas.

"Ada tiga orang, Desi sama dua orang lagi," akhirnya Danu menjawab pertanyaan Dimas meskipun harus ditimpali dengan canda terlebih dahulu.

Suara pemberitahuan kereta akan tiba pun terdengar ditelinga seluruh peserta open trip Rinjani. Mereka semua bersiap-siap untuk meninggalkan Jakarta dan bersiap menaklukkan Puncak Anjani yang sebentar lagi akan berada di depan mata.

----

Hai guys,

Ini cerita pertama aku tentang alam🙌❤️

Jangan lupa follow sosmed aku yaaa.

Instagram : @jetsinthesky

TikTok : @jetsinthesky

Enjoyyy!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 23, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tiga Hari di RinjaniWhere stories live. Discover now