If I Could Fly

1.9K 177 9
                                    

Hyunsuk menatap sosok lelaki yang hari ini mengenakan pakaian formalnya. Pakaian yang membalut tubuh kekar itu nampak sangat pas seperti memang diciptakan hanya untuknya. Hyunsuk tersenyum. Hanya dengan menatap wajah kekasihnya bisa menghilangkan rasa sakit yang ia rasakan. Bahkan saat rasa sakit itu datang dari orang yang juga membuatnya tersenyum.

“makasih Jihoon” ucap Hyunsuk pelan ditengah kegiatan makannya.

Saat ini Hyunsuk dan kekasihnya, Jihoon sedang makan malam disebuah restaurant cukup mewah ditengah kota. Hyunsuk menganggap makan malam kali ini adalah makan malam yang istimewa, karena hari ini adalah hari jadi mereka yang kedua tahun. Walaupun Hyunsuk yakin hampir 100% jika kekasihnya tidak mengingatnya.

“makasih buat apa?” tanya Jihoon, masih fokus dengan hidangan dihadapannya, tidak ingin repot-repot menatap sang kekasih yang saat ini masih tersenyum dengan lebar, tetapi siapapun yang melihat pasti tahu, senyum Hyunsuk tidak sampai ke matanya. Hanya senyum di bibir.

“makasih udah luangin waktu kamu buat aku” Bahkan setelah Hyunsuk mengucapkan kalimat tersebut, Jihoon masih sangat fokus pada makanannya, seperti tidak ingin untuk menatap kekasihnya.

“aku tahu, kamu pasti lupa tentang hari ini” setelah 10 menit tidak mendapat atensi dari Jihoon, akhirnya Jihoon menatap Hyunsuk dengan tatapan bingung. hari ini? Apa yang kulupakan? batin Jihoon sembari mencoba untuk mengingat hal-hal yang mungkin ia lupakan.

“aku tahu apa yang kamu lakukan akhir –akhir ini Jihoon” jantung Jihoon berdegup pelan mendengar penuturan Hyunsuk. Hyunsuk tahu?

“maksud kamu?” Jihoon memandang Hyunsuk dengan tatapan kurang nyaman. Ia ingin Hyunsuk mengerti kalau dirinya sedikit tidak nyaman dengan hal yang mungkin akan dibahas oleh Hyunsuk. Hyunsuk tersenyum kecil.

“habiskan dulu makananmu Jihoon. Kita bisa bicara saat kamu selesai makan” Hyunsuk kembali menyendokkan makanannya, tak menghiraukan tatapan menuntut Jihoon.

“selesaikan apa yang ingin kamu bicarakan, Choi Hyunsuk” Lagi, Hyunsuk tersenyum, alasannya kali ini adalah karena Jihoon memanggil namanya tanpa embel-embel ”kecil”, “sayang” atau panggilan-panggilan lain yang Hyunsuk anggap menggelikan saat pertama kali mendengarnya.

“kamu berpacaran dengan Mashiho kan?” deg Jihoon merasa jantungnya berhenti berfungsi sepersekian detik mendengar penuturan lelaki kecil dihadapannya. Hyunsuk tahu.

“aku gatau apa yang Mashiho punya dan aku tidak punya, sampai kamu harus berhubungan dengan dia dibelakang aku Jihoon” kalau menurut kalian Hyunsuk mengatakan kalimat tersebut dengan nada marah atau sedih, maka kalian salah besar. Hyunsuk mengatakannya dengan sangat tenang, bahkan membubuhkan sedikit senyuman diwajahnya.

“sejujurnya, kamu cuma perlu minta, dan sebisa mungkin aku akan kasih, kalau aku sanggup tentu saja. Atau kalau kamu udah kehilangan butterfly in your stomach saat kamu ketemu aku, kamu selalu bisa bilang sama aku.” Hyunsuk mengambil serbet disisi sebelah kanan tangannya lalu mulai membersihkan bibirnya.

“aku gak pernah mau untuk mengikat kamu sama aku, kalau aku tahu kamu udah gak suka aku. Kamu selalu boleh lepas dari aku kalau kamu mau, Jihoon. Aku mencintai kamu, dan aku ingin kamu bahagia. Tapi kalau bahagia kamu gak sama aku, aku mau kamu pergi, dan kejar bahagia kamu”

“aku bahagia sama kamu” Jihoon masih menatap Hyunsuk yang masih menampilkan senyum dibibirnya. Sedikit tak habis pikir bagaimana bisa lelaki yang selalu manja padanya, yang sekarang duduk dihadapannya mengucapkan kalimat-kalimat yang –seharusnya begitu menyayat hati, dengan begitu tenang.

“sampai beberapa bulan yang lalu” koreksi Hyunsuk melanjutkan kalimat Jihoon.

“aku selalu bahagia sama kamu, Hyunsuk”

“lalu kenapa kamu harus mencari bahagiamu yang lain kalau kamu sudah menemukan kebahagian kamu di aku, Jihoon? Apa kamu tidak cukup bahagia sama aku?” kali ini Hyunsuk menampilkan kesedihan dimatanya. Bibirnya? Masih menolak untuk menampilkan hal lain selain senyuman.

“maaf” Jihoon menundukkan kepalanya, merasa tidak punya pembelaan apapun untuk dilontarkan. Bodoh.

“malam ini, malam ke 731 kita bersama, juga malam pertama aku melepas kamu setelah 2 tahun, Jihoon. Aku mau kamu bahagia, tidak harus sama aku kan?” Hyunsuk membereskan peralatan makan dihadapannya dengan pelan.

“dimasa depan, semoga aku bisa kasih kamu senyuman saat kita tidak sengaja bertemu dijalan. Mungkin aku tidak bisa memberikannya di bulan pertama atau bulan kedua setelah hari ini, Jihoon. Aku juga manusia, tidak bisa langsung sembuh beberapa hari setelah hari ini, kan? Mungkin saat aku sampai di apartemenku nanti, aku akan sedikit mencaci kamu, aku harap kamu tidak marah. Aku perlu melampiaskannya.

“dimasa depan juga, aku ingin mendengar kamu bahagia, maka itu akan jadi kabar baik buat aku. Semoga kamu bisa bahagia sama Mashiho, dia sahabat terbaikku Jihoon, jangan buat dia menangis. Aku menyayangi kalian berdua dengan sangat, jadi tentu saja aku ingin kalian bahagia” Jihoon tak lagi sanggup mendengar semua kalimat yang diucapkan kekasihnya, atau sekarang ia bisa bilang kalau Hyunsuk adalah mantan kekasihnya. Air matanya perlahan turun berlomba-lomba untuk membasahi pipinya.

“aku ingin minta maaf jika selama 2 tahun ini aku tidak bisa jadi pacar yang baik untuk kamu, Jihoon. Tapi percayalah, kamu adalah pacar terbaik yang pernah ada untuk aku. Maaf karena selalu merepotkanmu, atau menjadi sangat manja saat aku ketemu kamu” aku sangat bahagia selama 2 tahun sama kamu Hyunsuk kalimat itu harusnya terucap dari bibir Jihoon, tetapi Jihoon tidak sanggup, kata-katanya tertahan ditenggorokannya tanpa bisa dilepaskan.

“kayaknya aku harus pergi sekarang” Hyunsuk bersiap mengambil mantel yang dia sampirkan dikursinya.

“aku antar kamu pulang” Jihoon melap air matanya mendengar Hyunsuk yang akan pulang. Sedikit terburu-buru sampai ia malah menggunakan tangannya alih-alih menggunakan sapu tangan yang selalu ia bawa.

“jangan, tidak perlu. Aku bisa naik taksi” tolak Hyunsuk pelan.

“aku mohon, Hyunsuk”

“sepertinya aku perlu menangis dijalan sebelum aku bisa dengan bebas mencaci kamu di apartemenku, Jihoon. Sangat tidak keren kalau aku malah menangis dihadapan kamu, padahal aku sudah menahannya sampai saat ini.” Lagi-lagi Hyunsuk hanya menunjukkan senyum palsunya. Ia bangkit dari kursinya lalu memakai mantelnya.

“aku pergi” Hyunsuk membalikkan badannya meninggalkan Jihoon yang masih duduk menatap kepergian Hyunsuk. Serentak setelah itu, air mata keduanya turun membanjiri pipi, dan keduanya sama-sama tidak memiliki niat untuk menghentikan air mata mereka. Biarlah malam ini semua air matanya turun, dengan harapan besok keduanya bisa menjalani hari seperti biasa dan melupakan kejadian malam ini, walaupun kemungkinannya sangat kecil.

.

.

.

©auberginelaa

Slowmotion ; hoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang