1. Pertemuan

40 3 0
                                    

- Temu ini membuatku candu -


Zidane dengan seenak jidatnya langsung masuk ke kamarku, ini pasti karena umi memberitahunya bahwa aku sedang sibuk dengan skripsi di kamar dan kebetulan sekali bahwa aku lupa menutup pintu kamar. Oh Allah, bencana apa lagi ini? Pagi buta begini sudah kedatangan pangeran receh seantero jagad raya. Ups, bukan pangeran lagi lebih tepatnya tukang jail bin receh seantero jagad raya. Rumah Zidane memang dekat denganku hanya jarak dua rumah, jadi tidak heran jika dia tiba-tiba berada di rumahku sebab sudah 18 tahun ia melakukannya seperti ini.

Zidane bukan lagi pangeran untukku, sebagaimana dia memperlakukanku layaknya seorang putri seperti lima belas tahun silam. Selalu berada di garis terdepan saat kubutuhkan, dan menjadi orang pertama yang terluka saat ia melihatku terluka.

Anehnya, biasanya sepasang sahabat antara ikhwan dan akhwat¹ tak mungkin jika tak ada rasa diantaranya. Tapi jujur saja, hatiku tak pernah kutambatkan pada pemuda itu. Hanya kasih sayang seorang sahabat yang kutambatkan. Tidak lebih.

"P" sapa Zidane yang langsung duduk di balkon dekat jendela kamarku.

"Maaf, cowok yang biasanya nyapa 'P' bakal kalah sama cowok yang nyapa pakai 'Assalamualaikum'."

Tawa Zidane langsung pecah seketika, membuatku memutar bola mata malas.

"Assalamualaikum, tuan putri.." sapa ulang Zidane dengan nada yang menggodaku.

"Waalaikumussalam." Jawabku datar.

"Cewek yang jawab salamnya dengan datar bakal kalah sama cewek yang jawab salamnya dengan untaian senyum yang terlukis di bibirnya." Balas Zidane yang berhasil membuatku sedikit tersenyum. Ingat! Hanya sedikit.

"Waalaikumussalam tukang jail bin receh seantero jagad raya." Ulangku yang membuatnya tertawa kecil.

Allah, andai saja Gladis ada sekarang di kamarku tak kan ada kecanggungan disini. Sesekali kulihat Zidane menatap luar jendela seolah sedang berhalusinasi tentang masa depan.

Dulu kita pernah merencanakan tentang masa depan, dimana kita akan berkuliah bersama di universitas yang sama. Saling mendambakan gelar dr. yang akan disematkan diawal nama kita, sayangnya Allah tidak mentakdirkanku untuk masuk di Fakultas Kedokteran. Hanya Zidane yang berada di Fakultas Kedokteran. Sedih? itu pasti.

Tapi rencana Allah itu indah, Allah tetap menjadikanku seorang dokter muda. Iya, seorang dokter bagi cinta pertamaku. Abi. Semenjak aku memasuki semester empat, abi mendadak sakit keras di bagian paru-parunya dan di diagnosis memilikki asma. Aku hanya pasrah dan sabar merawat abiku.

"Naf, aku besok pagi ada praktikum kamu mau ikut nemenin aku? Ya ntar duduk diluar aja sambil lihat aku. Xixixi." Ajak Zidane yang kebetulan besok aku juga tidak ada kelas.

"Dih ogah, mendingan aku di rumah aja. Doain dari sini."

"Iyain biar cepet. Btw, aku pulang dulu. Senang bertemu denganmu pagi ini. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Hampa. Hanya itu yang kurasakan selepas kepergiannya. Allah, mengapa rasanya beda sekali saat dia ada dan tidak ada?

Zidane, tunggu aku jadi hafidzah mutkin 30 juz ya. Biar kamu bangga punya sahabat kek aku.

Kata-kata itu selalu terukir dan terpatri jelas dipikiranku. Kata yang selalu membuatku yakin bahwa ada banyak orang yang menaruh harapan di bahuku.

Serpihan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang