Bab III

228 20 1
                                    

Artificial Intelligence (abbrev.: AI)

noun [ mass noun ]

the theory and development of computer systems able to perform tasks normally requiring human intelligence, such as visual perception, speech recognition, decision-making, and translation between languages.

-oOo-

Sekilas, gedung itu tampak seperti sebuah mall raksasa. Interiornya berbentuk melingkar, bertingkat-tingkat hingga puncaknya. Di bagian tengahnya, berdiri menjulang hingga nyaris mencapai lantai teratas, adalah sesosok robot raksasa.

Sherry, yang baru saja masuk melalui pintu gedung, berhenti begitu melihat sepasang kaki raksasa sang robot di tengah-tengah lobi. Ia mendongak, perlahan, hingga bisa menatap bot-eye di wajah robot tersebut lurus-lurus.

“Tenang. Kami telah mematikan reaktornya,” kata Fesiuk.

“Oh, oke,” kata Sherry, menggeleng-geleng. “Kukira kalian sangat bodoh sampai-sampai tidak mengantisipasi yang satu itu.”

“Tak sebodoh itu,” kata Fesiuk, mengerling ke Sherry. “Meski sebenarnya aku sudah menyarankan agar benda ini dipreteli sekalian. Terlalu berbahaya.”

“Bagaimana bisa?”

“Titanobot, A-Class. Tipe yang sama dengan yang melarikan diri dari ESR Headquarter di New York. Ukuran maksimum, persenjataan lengkap, kekuatan serbu luar biasa, dan meski tidak memiliki amunisi, senapan plasma pada kedua lengannya masih aktif dan siap untuk digunakan. Dan—“

“Ya, ya, ya. Okelah,” kata Sherry, masih menengadah. “Yang kutanyakan adalah: bagaimana bisa benda ini masih berdiri tegak? Belum dipreteli dan dibawa ke tempat peleburan baja terdekat?”

“Para pejabat yang baru tidak mau melakukannya. Mereka ingin titanobot ini tetap berada di sini sebagai pajangan. Pengingat. Semacam trofi.”

Sherry mengangkat sebelah alisnya. “Seriusan?”

Kening Fesiuk berkerut-kerut. Dia menghela napas panjang-panjang, menaruh tangannya di bahu Sherry, dan membawanya kembali berjalan. Mereka menyeberangi lobi, melewati orang-orang yang berlalu lalang—ilmuwan dengan pakaian laboratorium berwarna putih, tentara dengan seragam mereka yang masih baru, dan para staf-staf dengan berbagai warna kemeja.

Mereka menuju sebuah pintu yang membuka begitu mereka sudah berjarak tiga meter darinya. Di baliknya, alih-alih ruangan, terdapat sebuah tangga berjalan. Mereka menuruninya, para prajurit berhenti di depan pintu tersebut, berjaga. Pintu menutup di belakang Sherry, dan lampu-lampu menyala di langit-langit.

Tangga berjalan tersebut berbentuk spiral dan mengarah ke bawah. Diameter pilar yang dikelilinginya sangat besar—Sherry mencurigai mereka sedang turun dengan mengikuti lingkaran seluas lobi di atas.

Kanan-kiri mereka, lagi-lagi, hanyalah dinding. Setiap beberapa meter, terdapat tulisan dalam angka-angka romawi. Sherry menduga setiap nomor menunjukkan jarak dari permukaan tanah. Mereka terus turun, kian lama kian dalam, angka di dinding berubah dari satuan, belasan, hingga puluhan.

Tepat saat Sherry nyaris bertanya kapan mereka akan berhenti turun, tangga berjalan tersebut mencapai sebuah lantai. Mereka menapak di lantai tersebut, dan Fesiuk melangkah ke sebuah pintu di ujung koridor di hadapan mereka. Sherry mengikutinya.

“Kau sudah tahu tempat ini, bukan?” tanya Fesiuk.

“Tentu,” jawab Sherry, setengah terkejut akan pertanyaan tersebut setelah sekian lama berjalan dalam diam. “Tapi aku tak pernah masuk ke dalamnya secara langsung.”

HollowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang