Bab V

218 19 2
                                    

Author's Note: bagian pertama dari Hollows akan segera selesai. Ingin menikmati novel ini lebih dalam? Yuk baca buku pertamanya, Bots, di sini: http://www.wattpad.com/story/7780511-bots atau bisa dibuka juga dari profile page Wattpad saya ini! Nah, selamat membaca! Terima kasih! Merci beaucoup!

-oOo-

Fesiuk membuka pintu dan mendapati sesosok perempuan sedang berdiri di depan wastafel, menatap ke cermin. Dia membeku sesaat, terkejut, memeriksa label 'Toilet Pria' yang ada di permukaan pintu, lalu menatap pantulan wajah perempuan itu di cermin dan menyadari siapa dirinya. Ia pun menghela napas, menggeleng-geleng, sembari berjalan menuju salah satu bilik yang kosong.

“Hm. Tak sekaget yang kuperkirakan,” kata Sherry.

Fesiuk mengatakan sesuatu dengan sangat pelan dari dalam biliknya, yang kini sudah ditutup, dan Sherry menyeringai.

“Apa katamu? Aku tak mendengarnya.”

“Kau mendengarnya. Jangan pura-pura,” kata Fesiuk, suaranya bergema. “Kubilang, 'ini kamar mandi pria, tapi kau bukan pria ataupun wanita, jadi silakan saja.'”

“Wah. Terima kasih atas sambutan hangatnya, kalau begitu,” kata Sherry, nyengir.

“Tak masalah,” jawab Fesiuk sementara kloset di biliknya menyalakan flush secara otomatis. Dia membuka pintu, melangkah ke depan wastafel dan mencuci tangannya.

Ia mengerling ke arah Sherry. Sang android sedang membaca halaman demi halaman dokumen di tabletnya. Dia melakukannya dengan sangat cepat, tak lebih dari tiga detik untuk setiap bagian. Selain itu, Fesiuk juga menyadari satu hal.

“Kau sudah ganti baju,” kata Fesiuk.

“Mm-hm,” gumam Sherry.

Fesiuk menatapnya. Seringai kecil masih menghiasi sudut-sudut mulut sang android, tapi kernyitan kecil di antara kedua alisnya memberitahunya bahwa Sherry sedang lumayan berfokus pada pekerjaan di hadapannya. Malahan, sepertinya, sejak dia keluar dari ruangan Ai beberapa puluh menit lalu, Sherry langsung bersikap berbeda. Ia meminta dibawakan baju ganti, dikirimkan dokumen-dokumen yang sudah disiapkan oleh Ai, meminta para prajurit dan penjaga dan semua orang lainnya untuk menjauh darinya sejenak. Semua orang memberinya ruang pribadi tersebut, meski hampir tak ada yang tahu apa yang hendak ia kerjakan. Dan rasa ingin tahu Fesiuk sudah sangat memuncak.

“Jadi,” dia berdeham, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku mencarimu,” kata Sherry. “Kau pasti sudah tahu mengenai misi yang diberikan padaku, 'kan?”

Fesiuk mengangguk perlahan. “Ya... tapi aku tak tahu secara rinci. Dan kalau kau mencariku, kenapa kau berdiam di sini?”

“Aku malas mencarimu. Aku sudah memeriksa, dan hanya ada satu kamar kecil di lantai dasar gedung ini, makanya aku menunggu di sini saja. Aku tahu, cepat atau lambat, kau akan ke sini.”

“Tapi—tapi—“ Fesiuk membelalak. “Bagaimana kau tahu—“

Sherry mendongak dari tabletnya dan mengangkat sebelah alisnya kepadanya. Fesiuk menghela napas panjang-panjang, dan berputar, bersandar di wastafel, memunggungi cermin.

“Baik,” dia berkata. “Kenapa kau mencariku?”

“Aku butuh informasi,” kata Sherry tanpa mendongak dari tabletnya.

“Informasi?” tanya Fesiuk, mengerjap. “Mengenai?”

“Mengenai seorang remaja laki-laki dari Dunia Tengah, Asia Tenggara, Negara Indonesia, bernama Diki Rahmat Saefurohman,” jawab Sherry. Dia menoleh kepada sang agen. “Kau tahu dia, 'kan?”

HollowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang