05. Jangan Jadi Tong Kosong Nyaring Bunyinya

28 9 61
                                    

Tidak ada orang yang benar-benar tulus. Yang sejati itu hanya palsu, dan kepalsuan tidak ada yang abadi.

Kata Rey,
di dalam hati.

🩹🩹🩹

Bel masuk berakhirnya jam istirahat sudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Setelah dari kantin tadi, Fely sengaja memisahkan diri karena tiba-tiba ingin lebih dulu pergi ke koperasi sekolah. Membeli buku baru untuk menyalin semua tugas Akutansi. Padahal ia juga sedang menghindari teman-temannya yang berisik dan si anak baru bernama Rey itu. Fely membutuhkan ketenangan, dan satu-satunya cara adalah menjaga jarak dari mereka.

Membayangkan betapa banyaknya halaman yang harus ia tulis, membuat energi di jemari tangannya down duluan. Kalau ada kamera tersembunyi, ia ingin sekali melambaikan tangan. Atau jika saja menemukan lampu ajaib, Fely ingin meminta satu permohonan agar jin penunggu lampu itu mau mengerjakan semua tugasnya.

“Heh, Fely ... ayolah. Lo harus semangat!” ucapnya berusaha menghibur diri, meskipun tidak selaras dengan mimik wajahnya yang tampak tertekan. “Tapi, masalahnya cuma dikasih waktu semalem. Mana bisa ....”

Ketika terus merengek dan mengeluh sambil sekilas memejamkan mata, Fely baru menyadari dirinya sudah hampir sampai ke pintu kelas, saat tiba-tiba ada seseorang yang menegurnya.

Heh.”

Sontak Fely mengerjap dan menghentikan langkah. Menoleh pada sumber suara yang ternyata tengah berdiri bersandar pada dinding luar kelasnya. Sumpah demi apa pun, ekspresi wajah orang itu terasa sangat angkuh. Bahkan agak tidak sopan berseru padanya hanya dengan menyebut kata ‘Heh.’

Sebenarnya Fely malas meladeni, tapi agak penasaran juga kenapa tiba-tiba cowok itu ada di koridor kelas XI-IPS 3.

Sehingga dengan sama tak acuhnya, Fely merespons, “Hm.”

“Mana buku Akutansi lo yang kotor itu? Sini, biar gue yang kerjain.” Tanpa basa-basi, Rey langsung mengutarakan maksudnya sengaja datang menunggu Fely. Jelas saja sikap tersebut mengundang perasaan kaget dan kerutan di keningnya.

What?”

“Sebagai bentuk permintaan maaf. Jangan geer dulu.”

“Hah?” Fely mulai tidak habis pikir. Ternyata selain sombong, dia juga terlalu percaya diri. “Lagian siapa juga yang pengen lo ngebantuin gue? Lo, tuh, yang jangan kegeeran.”

“Muka lo lesu gitu.” Rey kembali berkata sembari menunjuk wajah Fely dengan gerakan kepalanya. Ternyata cowok itu tidak seperti dugaan sebelumnya. Dia bisa banyak bicara juga. Walaupun seperlunya, dan cuma irit-irit. “Jadi, nggak usah banyak omong. Sini! Mumpung gue lagi berbaik hati.”

Fely malah meresponsnya dengan tatapan penuh selidik. Diperhatikan intens seperti itu, nyatanya Rey cukup salah tingkah atau mungkin merasa risi. Senyum miring langsung tersungging. Pemuda itu tidak lebih dari sekedar cowok cupu. Tiba-tiba muncul pikiran usil demi mengerjai—atau lebih tepatnya memberi pelajaran pada cowok sombong itu.

“Oke. Lo mau bantuin gue, kan?” Rey mengangguk seadanya. Males juga sebenarnya dia meladeni cewek banyak mikir seperti Fely. Ribet. “Kalau gitu bukan cuma tugas Akutansi.” Tanpa ragu, Fely menyerahkan kedua buku di tangannya pada Rey. “Tunggu di sini, gue masih punya satu tugas lagi buat lo.”

Buru-buru gadis itu berlari memasuki kelasnya. Menuju tas yang tergeletak di atas mejanya. Manda dan Mita yang sudah ada di dalam kelas pun, ia tak acuhkan saat bertanya kenapa Fely begitu terburu-buru. Karena penasaran apa yang sedang dilakukan temannya itu, maka mereka pun mengikuti. Berhenti tepat di ambang pintu, dan mulai mengawasi ketika tahu jika di sana ada Rey juga.

Aku dan Kamu Bertemu di Bawah Langit 5:53Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang