Satu

77 12 12
                                    

Mentari yang berada di atas bumi mulai merosot turun ke barat. Sang nabastala kali ini tak membiru melainkan kelabu. Anila semesta tertiup membelai lembut dedaunan. Siang ini terasa lumayan dingin.

Hari Selasa di salah salah satu musim kemarau tahun ini. Tepat hari ke-tujuh terhitung dari kali pertama Aku pindah ke rumah baru. Meninggalkan rumah lama yang kini ditempati Ibu dan Kak Johan sekeluarga.

Rumah baruku masih berada di kota yang sama. Pindah rumah bersama teman hidupku. Demi mendekatkan tempat tinggal dengan kantor suamiku.

Hari ini suamiku sedang berkerja. Tapi siang ini Aku berniat untuk merapikan lantai dua. Aku hanya berusaha sedikit membantunya. Karena tak semuanya harus dikerjakan bersama, bukan?

Aku sudah menyapu lantainya tadi, walau nanti pasti kotor kembali. Mengelap kacanya pun juga sudah. Kini giliran tumpukan kardus yang masih sedikit kujamah.

Ada banyak kardus yang menumpuk di sudut ruang. Beberapa sudah Aku buka dan tata bekakasnya. Namun, gerakku terhenti kala netraku menemukan sebuah kardus yang masih tampak bagus walau sedikit usang.

Aksara Wijaya

Tertulis rapi dibagian atasnya. Kardus tertutup rapat dengan selotip melingkar. Tak sedikit debu yang menepel disana. Kotak kardus ini tampak sangat lusuh jika dibandingkan kardus yang lainnya.

"Asa?"

Gumamku pelan ketika menyadari itu adalah nama dari sosok lelaki yang sangat Aku kenal. Aku sedikit mendekatkan sepasang alisku bingung.

Mengapa kotak ini ada disini? Mengapa suamiku menaruhnya disini? Bukankah seharusnya di bawah?

Hal itu sekilas berputar - putar pikiranku. Mataku masih menganalisis kotak itu. Cukup berat kala Aku mengangkatnya. Benakku pun bertanya - tanya apa isinya. Jiwa penasaranku pun membuncah.

Aku memilih untuk mendudukan diri di atas lantai yang tak begitu bersih. Duduk bersila tanpa alas. Mengusap - usap sedikit kardus yang kini berada didepanku agar tampak sedikit bersih. Dengan antusias Aku membukanya.

Beberapa benda Aku temukan didalamnya. Dari sebuah pigura foto berdebu, hingga jaket yang sudah lusuh, buku tulis usang, dan beberapa pernak pernik lainnya.

Aku rasa sepasang bola mataku kini berbinar. Ketika bayang benda yang Aku temukan jatuh ke retina. Seketika suasana siang ini seperti mengajakku kembali ke masa lalu.

Netraku hanya tertuju pada sebuah pigura berdebu itu. Aku mengelap kacanya sedikit.

Tampak sebuah foto berisi gambaran potretku bersama Asa dan Jeya yang masih berbalut dengan seragam khas SMA Serim sepuluh tahun lalu. Bibir tipis ini sedikit tertarik keatas, tersungging senyum terukir sabit.

Kala netra ini menatap wajah - wajah lugu kita disana. Teringat jelas kenangan yang terukir bersamanya.

Bagaimana sosok pemuda yang bernama Asa memperlakukanku waktu itu. Bagaimana juga baiknya seorang Jeya saat itu. Dan Aku membawa pigura itu kedalam dekapanku. Binaran mataku ini kian bertambah.

Aku melihat - lihat juga benda yang lain. Dan pikiranku ini menyelam dalam, kembali pada kenangan sepuluh tahun lalu. Di SMA Serim bersama dua sosok istimewa yang berasma Asa dan Jeya.

Asa sosok laki laki yang terlampau dingin tapi cukup perhatian. Walau kadang sikap cueknya itu sangat mengganggu. Bahkan hingga Aku dan Jeya menyebutnya es teh manis.

Asa sangat terkenal dikalangan warga sekolah. Dirinya benar benar menjadi sorotan, dan dia membenci itu. Secara visual memang ada, tapi bukan hanya karena tampangnya. Dia dikenal dengan segala hal buruk tentangnya.

Seperti ada rumor yang bilang Asa adalah seorang kriminalis yang punya banyak catatan kriminal. Hingga katanya dia seorang panglima perang sebuah geng motor besar di kota asalnya. Padahal sudah jelas namanya Asa bukan Dilan, benar?

Sedangkan Jeya. Dia sosok lelaki yang sangat baik. Dia selalu perhatian pada orang orang sekitarnya. Entah hatinya itu terbuat dariapa. Mungkin dia tercipta ketka Tuhan sedang bahagia.

Sama seperti Asa, Jeya juga sangat terkenal di sekolah. Dirinya juga menjadi sorotan, tapi dia tak membencinya. Secara visual dan prestasi dia memang mumpuni, karena itu predikat lelaki idaman dia miliki.

Jeya seorang anggota OSIS yang pernah dicalonkan menjadi ketua OSIS. Selain itu, dia juga selalu masuk peringkat tiga besar satu angkatan tiap kali ada ujian. Jeya juga berasal dari keluarga berada, tapi dia selalu merendah hingga tak banyak yang tau hal itu.

Dan Aku, gadis biasa saja yang tak pandai walaupun secara visual sedikit mumpuni. Percaya diri sekali, ya?

Sering dibilang gadis beruntung yang bisa dekat dengan Jeya. Banyak juga yang menyayangkan Aku dekat dengan Asa.

Namun, sekarang Aku hanyalah sosok manusia bumi yang sedang mengenang kejadian sepuluh tahun lalu. Mau kah Kau menemaniku? Menyimak dari awal hingga akhir?

Sampai jumpa dikisahku part selanjutnya. Dimana Aku masih muda, sebagai Chatarina Benjamin yang masih duduk dibangku kelas sebelas SMA.

Bersambung...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi, Asa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang