Part 1

1.6K 226 11
                                    


Sakura menguap lebar tanpa mau menutupiya dengan tangan sampai bayangannya yang terpantul dari pintu elevator yang tertutup terlihat menakutkan. Jam kantor masih lima belas menit lagi tapi Sakura diharusnya datang lebih awal. Semalam ia sampai di rumah lewat dari pukul dua belas malam setelah membeli tisu dan mengantarnya ke tempat tinggal atasannya. Ia masih sangat mengantuk, bahkan lantai lobi kantor terlihat terlalu menggoda untuk ditiduri.

"Kau tidur jam berapa semalam?"

Yamanaka Ino ikut bergabung menunggu pintu elevator yang terasa lebih lama terbuka dari biasanya. Si pirang ini seprofesi dengannya, tapi bisa dikatakan lebih beruntung dari Sakura. Atasan Ino lebih lunak. Tak jarang dia akan membentak atasannya yang justru mengerut takut, berbanding dengan Sakura yang dipelototi saja sudah merasa umurnya berkurang.

"Entahlah, mungkin pukul satu," jawabnya dengan suara orang mengantuk.

"Apa lagi kali ini?"

"Membeli tisu toilet."

Ino terkekeh kurang ajar menertawakan kesialan Sakura. Dia sudah hafal kebiasaan buruk atasan Sakura yang juga berarti atasan dari atasannya. Si merah muda ini sering mendapat perintah sepeleh yang justru tidak masuk akal. Dua hari yang lalu Sakura mendapat perintah membeli sabun cuci piring. Minggu lalu membeli sebotol saus tomat dan yang lebih gila dua bulan lalu ia mendapat perintah pergi ke mall untuk memperbesar sepatu atasannya yang sudah kekecilan.

Tidak sekalian saja dia meminta Sakura melebarkan jidatnya.

"Kau harusnya membuka toserba di lantai dasar apartemennya," usul Ino yang sama sekali tidak membuat perasaan Sakura jadi lebih baik.

drrrt ... drrt ... drrrrt ...

Oh!! Panjang sekali umurnya.

"Selamat pagi, Mister. Ada yang bisa saya bantu?"

Ino menahan tawanya melihat Sakura yang berkata dengan sopan sedang wajahnya hampir terlihat sinting.

'Belikan aku kopi dan onigiri!'

Panggilan terputus seenaknya sebelum Sakura sempat menjawab. Apa bahkan membalas sapaan selamat paginya terlalu sulit? Sakura berbalik tidak jadi menunggu pintu elevator. Gadis itu bergegas menuju bangunan di sebelah gedung kantor untuk membeli pesanan bosnya. Melambai pada Ino yang berteriak memberinya semangat.

.

.

.

"Ini pesanan anda, Sasuke-sama."

"Apa kau sudah sarapan?"

Tidak diduga pria ini bertanya seperti itu padanya. Apakah dia sedang dalam suasana hati yang baik sehingga dengan senang hati membagi satu onigirinya untuk Sakura?

"Belum, Sasuke-sama."

"Kenapa kau tidak sarapan? Apa gajimu kurang?"

Tentu saja dia tidak semurah hati itu. Orang ini mungkin tidak akan peduli sekalipun Sakura belum makan selama dua hari.

"Gaji saya memang tidak kurang, tapi waktu saya yang tidak cukup untuk sarapan." Tadi pagi ia bangun terlambat. Tidak sempat memikirkan isi perutnya dan orang ini justru memancing emosinya. Sungguh sialan!

"Kalau begitu bangun lebih pagi."

"Saya akan bangun lebih pagi jika waktu tidur saya tidak berkurang," Sakura menjawab cerdas yang langsung disesalinya sebab melihat wajah merengut Sasuke. "Saya sudah terbiasa merangkap sarapan dengan makan siang. Jadi, permisi."

Baru saja ia memegang handel pintu ketika panggilan Sasuke menahannya. Sakura berbalik dengan ragu-ragu takut pria itu sudah siap melemparnya dengan kalender duduk.

"Makan ini!"

Sakura menatap sandwich tersebut curiga. Dari mana sandwich itu muncul? Ia curiga makanan tersebut sudah menjamur karena terlalu lama tersimpan di laci meja Sasuke.

"Jangan salah sangkah. Tadi pagi aku salah membeli," pria itu menjelaskan. Mungkin menyadari mata Sakura yang memicing curiga.

Ini sandwich telur. Sasuke memang lebih menyukai yang isi tuna, tapi bagaimana bisa seorang pemimpin perusahaan tidak bisa membedakan mana yang isi telur dan tuna. "Terima kasih."

.

.

.

Meja kerja Sakura berhadapan dengan pintu besar ruangan Sasuke. Ada kaca bening di sisi pintu yang menjadi akses Sakura untuk mengintip sekedar memastikan pria itu tidak melakukan sesuatu yang aneh.

Baru saja ia mendudukan bokongnya ketika Sasuke menghubunginya lewat intercom. Sakura menatap sinis pintu ruangan Sasuke. Apa mau orang ini sebenarnya?

"Ya, Sasuke-sama. Apa anda ingin saya belikan tisu untuk melengkapi sarapan anda?"

"Bersiaplah! Sepuluh menit lagi kita berangkat bertemu Tuan Yakuzi."

Sakura bahkan tidak sempat mengumpat atas titah tiba-tiba pria itu. Harusnya pertemuan dengan Tuan Yakuzi masih satu jam lagi. Orang ini seenaknya saja menganti jadwal yang sudah Sakura susun. Kalau begitu untuk apa ia membuat jadwal pria itu?

Sakura meletakan sandwich di atas mejanya dan mulai sibuk menyiapkan semua hal yang perlu mereka bawa. Sasuke benar-benar muncul di depan mejanya sepuluh menit kemudian. Pria yang sangat tepat waktu.

"Kau siap?"

"Ya."

Meski sudah hampir tiga tahun menjadi sekretaris Sasuke, nyatanya Sakura masih kesulitan mengimbangi cara berjalan pria itu. Kakinya yang panjang membuat langkahnya dua kali lebih lebar dari Sakura. Belum lagi ia yang mengenakan sepatu tinggi membuat langkahnya tidak bebas. Kalau saja diizinkan memakai sepatu roda sudah ia salip pria ini.

Setelah mengerahkan segenap kekuatan Sakura berhasil menyamai langkah pria itu. Nafasnya memburu dan ia jadi semakin lapar. Ah, sial! Sandwichnya tertinggal di atas meja tadi. Mereka berdua berdiri di depan pintu elevator yang dikhusukan untuk direksi. Keduanya terdiam menatap pintu yang tak jua terbuka sampai Sakura tersadar sesuatu.

"Ah, benar!" ia menekan tombol di sisi kanan pintu elevator. Dekat dengan posisi Sasuke berdiri saat ini. Orang yang sejak kecil terlahir sebagai sultan memang berbeda. Spesies sultan yang satu ini bahkan tidak mau menekan tombol lift sendiri di kantornya.

Begitu pintu terbuka mereka segera masuk dan Sakura tanpa diperintah menekan tombol lantai basement. Ia mengambil posisi memojok jauh dari Sasuke yang berdiri tegak menatap pintu seperti sedang ingin mengajak berkelahi. Bukan karena Sakura merasa gugup karena berada dalam ruang sempit bersama pria tampan dengan wangi menggoda. Ada alasan kuat yang membuatnya memojokan diri. Di dalam kotak besi sunyi tersebut suara perut Sakura terdengar sangat keras. Sasuke sampai meliriknya yang berlagak tidak tahu apa-apa.

Going CrazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang