( Dian)
“ Baiklah ringkasnya. Apabila gagal, gunakan rencana B darimu, Ro..” ucap Dian, menyeruput air hangat.
“ Benar, saya akan menjadi bidak utama. Dan Anda sebagai Komandan Divisi 4 setelah mengalami kegagalan bergantunglah pada kami, kami siap membantu, bahkan untuk Wakil Komandan pun termasuk. Dilihat potensi wakilmu, aku ragu mengatakannya, kalau dia terlihat lemah dari segi penampilannya. Entah angin penyejuk apa yang membuatku tenang saat berhadapan dengan orang itu, merasa dialah kunci perang ini. Atau mungkin hanya pemikiran optimisku saja”
“ Seperti yang kubilang, rencana ku adalah aku sendiri yang menghadapinya bersama anak buahku yang sedang menyelidiki area hutan liar, sekaligus mencari informasi tentang Komandan Charlie. Seperti apakah dia orangnya, mungkin dia lebih kuat dan cerdas, hmm...ku rasa”
“ Baiklah-baiklah, saya menghormati keputusan Anda. Namun, sama seperti ku katakan tadi, bergantunglah pada kami, Komandan Divisi 4, oh ya..namamu Dian kan. Jangan sampai bertindak gegabah, karena kamu adalah orang terpenting bagi dia ” ucap Roy, tersenyum.
“Secara detailnya, kita akan merapatkannya malam ini. Ku-tunggu di Kemah Medis” ucap Dian.
“ Baik, saya akan datang” balas Roy dengan sopan.
Aku bersandar didinding kemah, menghela nafas lega.
“ Semoga kamu beruntung, Rayn” Ucapku menyebutkan nama sahabatnya, tersenyum-senyum.
* * *
( Kembali ke Rayn )
“ Siapa kau? ” itulah pertanyaan pertamaku yang keluar dari mulutku sendiri. Itu benar, pikiranku sekarang masih berkecamuk yang mana Si bayangan hitam atau dia seseorang seperti itu, tubuhnya seukuran sama denganku yang membedakannya ialah ekor, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi bulu lembut hitam, kumis seperti benang, mata binatang buas, dan pula memiliki kuping imut, bisa dikatakan dia adalah seorang kucing dengan bulu hitam nan lembut.
“ Oh...sungguh tidak sopan. Kata-katamu itu. Baiklah...” Dia melipat tangan kanannya menempel pada dada dan tangan kiri di belakang menunduk keci. “Perkenalkan namaku Charliel, aku dikenal sebagai Si legenda kucing hitam, Komandan Divisi 4 dari Pasukan Serikat BlackGuard ”
Ah...itu dia. Namanya Charlie si kucing hitam dan apa yang dia bicarakan tadi? Hmm....Komandan Divisi empat dari Pasukan Serikat BlackGuard, katanya. Apa ya ? Siapa dia ? Hmm...kurasa tidak penting. Namun, yang pasti dia termasuk dari pasukan musuh, kemungkinan besar dia sedang menjalani misi rahasia, dan tidak beruntung bertemu denganku. Eh, tunggu dulu. Sebenarnya aku yang tidak beruntung berhadapan dengannya, dan pula dia memberiku niat pekat hawa membunuhnya. Jika dipikir lagi, kenapa dia menguntitku ? Sudah jelaskan ! Dia ingin membunuhku. Lantas apa alasannya? Oh ya...kenapa tidak menanyakannya langsung.
“ Aku ingin menanyakan satu hal padamu ?”
“ Silakan, apa itu mungkin pertanyaan terakhirmu? ” Charlie penuh percaya diri.
Oi ! Terlalu cepat penyimpulanmu.
“ Kenapa kamu ingin membunuhku ?
“ Karena kamu adalah orang yang paling menjengkelkan yang pernah ada ” jawabnya secara konstan.
“ Masa? Padahal aku tidak ingin berurusan denganmu, tapi kenapa_” kalimatku terpotong.
“ Itu nggak ada hubungannya, bodoh. Lagi pula kamu membuang-buang waktuku_” spontan Charlie menghilang saat lintasan deruan angin melewatinya. Dan muncul seketika samping kiriku menargetkan serangan cakarnya ke leherku. “ Mati saja kau...!” teriaknya.
Lengan kiriku terangkat menepis cakarnya, lumayan serangannya mulai memberat. Aku takkan kalah.
“ Oi ! Yang benar saja ! Apa alasanmu ingin membunuhku? Jelaskan...!jangan memotong kalimatku seenaknya !” setidaknya aku harus bersikap keras padanya.
Dia mundur enam langkah, menjaga jarak dariku. Raut mukanya sedikit suram menunduk sejenak, lalu menggertak giginya menatapku tajam.
Kurasa jawabannya, tidak. Mau bagaimana lagi, aku harus menghadapinya secara tidak langsung, menghadapi egonya tanpa alasan.
“ Tidak ada alasan jelas, kenapa aku ingin membunuhmu. Pastinya ini demi pasukanku, yah...itu benar, ini demi pasukanku. Begitulah...ha..ha..ha..aku bekerja untuk membunuh, adapun tentang misiku, akan kuberitahu...”
Aku terkesiap mendengarnya.
“ Benaran, kamu memberitahuku?!!” l
“ Benar, tentu_” spontan menghilang disaat lintasan deruan angin melewatinya. Muncul seketika samping kiriku menargetkan serangan cakarnya ke arah leherku lagi. “ Tentu, bayarannya dibunuh ” nadanya dingin, berbalikan dengan sebelumnya.
Aku mengangkat lengan kananku, menepisnya.
“ Oh gitu, ku rasa tidak masalah. Dan ku pastikan tindakanmu tidak menjauh lebih dalam lagi.”
“ Hah ! Aku siap, menerima tantanganmu” Ucap Charlie penuh percaya diri.
Lantas dia mundur, beberapa langkah.
“ Jangan lupakan, namaku Rayn. Salam kenal, seorang Prajurit Pemberani”
“ Hah! Kan-kuingat sebagai nama terakhir ditelingaku, tidak. Ini adalah pertemuan terakhir kita”
“ Benarkah...tidak ada salahnya. Tapi, tidak ada yang boleh memutuskan masa depan milikku selain diriku. Toh, kamu bukan berhak mencabut nyawaku. Siapa pula orang bodoh yang mengatakan seperti itu, dan _” kalimatku terpotong, karena refleks menghindari serangan cakarnya bertubi-tubi, bergerak mengikuti titik pijakan dengan tubuhku yang menari sambil menatap lawanku.
Hasilnya, sia-sia. Dia tidak berhasil mengenai serangannya kepadaku, lalu mundur beberapa langkah. Hampir tak kusangka, dia memberiku serangan kejutan saat lawannya bicara.
“ Mari kita buktikan ” Ucap Charlie seringai. Langsung melancarkan beberapa serangan cakar ke arahku.
Seperti biasa menghindarinya. Kalau bisa, ini malah menjadi hal yang membosankan. Mungkin saja dilibat dari ekspresinya terlihat bersemangat campur jengkel terhadapku.
Mundur satu langkah, dalam satu jarak tepat di depanku. Saat dia maju secepat angin langsung didepan mataku saling bertemu dengan matanya nan sinis, saat itulah sekian detik kepalan tangan kiriku tergenggam kuat langsung melontarkan pukulan telak di atas perutnya. Seketika dia terpental jauh, hingga menabrak tiga pohon sekaligus, tumbang.
Opss, sepertinya aku terlalu berlebihan. Yah, tak apalah semoga dia lekas jera. Aku berbalik badan meninggalkannya, sudah bisa kutebak.
“ Oi, jangan lari kau ! Tak ada yang mengizinkan kau lari dari sini, sebaiknya_”
Aku terhenti, serasa udara mulai sesak. Keringatku bercucur deras, aneh. Padahal ini kan malam nan dingin. Tidak. Aku merasa hawa yang sangat pekat hitam dari arah belakang, sepertinya dia sedang melancarkan sebuah serangan dadakan lagi.
“...kamu tetap disini, biar aku yang menemanimu....” suaranya berasal dari telinga kiriku.
Dia benaran menyerangku dengan dua cakar secara vertikal maupun horizontal, bertahap beberapa langkah serangan menjadi serangan bertubi-tubi. Tentu saja, menghindarinya dengan berbagai gerakan mengikuti titik pijakan, dan selangkah sedikit selangkah aku hampir terbiasa. Maksudku, aku udah lama tidak bergerak seperti dalam waktu lama, ini mengingatkanku latihan, kelar selama tujuh tahun.
“ Aku paham maksudmu, kamu ingin memintaku berteman kan? Ayolah nggak usah malu” entah kenapa mulutku berbicara sendiri, seolah mendorongku untuk berbaikan. Apakah ini memang keinginanku ?
Dia memandangi sinis.
“ Teman?” mengerutkan dahinya “ Ha..ha..ha, jangan bercanda, bodoh ! Tidak ada kata teman di hadapan musuhmu. Lihatlah pakaian militer kita, beda kan ?! Perang itu kejam, dulu teman— sekarang musuh, dulu keluarga—sekarang musuh. Tidak ada kenal kejam dalam kamus perang. Pada akhirnya salah satu kedua pihak kubu harus bertekuk lutu atau berdiri gagah tegak kemenangan lantas menindas yang lemah, kalah perang. Pemenanglah berkuasa atas segalanya, tidak ada bedanya dengan hukum rimba. Jadi, tak usah mengungkapakan hal-hal lebay seperti itu. Pada dasarnya kita musuh, bukanlah teman, dan terakhir...” dia menatapku datar “ aku nggak selera berteman denganmu, ingat ”
“ Terima kasih atas salutmu. Ah...mula-mula memang begini“ aku terkekeh.
Kelihatannya dia tersenyum sesaat. Tapi, lekas-lekas membuangnya. Baru kali ini, dia merasa ada merasa sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, seba itulah dia menatapku datar.
“ Tak usah banyak bicara !” serunya, menggertak giginya.“ Dasar kau...!” spontan menghilang seperti biasa dan muncul di samping kiriku. “ terima ini !” teriaknya marah.
Melepaskan serangan cakar seperti biasa ke arahku, aku menepis serangannya tidak lagi menghindarinya.
“ Bosan juga, menghadapimu. Keras kepala sekali” lirihku, mengangkat bahuku, dongkak menoleh samping kiri. “ Mungkin, kamu mengatakan bahwa ini adalah perjumpaan terakhir kita, salah !” sejenak berhenti “ Lebih tepatnya, kita pasti bertemu lagi!” berseru tegas, bersamaan mengibasnya. Dia terundur beberapa langkah.
“ Sejak kapan kamu berasumsi seperti itu ? Bodoh sekali. Tidak ada yang mampu menghalangiku, dan kau...orang paling bodoh yang ku-kenal”
Lantas dia berlari cepat mengelilingiku, menatapku tajam.
Aku memperagakan kuda-kuda pertahanan dengan mata tertutup.
“ Kanan ” gumamku.
Melenturkan dada bidang dan perut, split. Sebuah peluru jarum meleset tidak mengenaiku.
“ Kiri ”
Kembali melenturkan perut dan menunduk 60° derajat. Peluru itu mengenai udara kosong.
Lantas aku membuka mataku, mendongkak ke atas langit. Ternyata ada ratusan jarum mengepungku dari berbagai arah sedang melayang tidak bergerak, dipertengahi seorang kucing yang sedang mengambang, terlihat anggun menawan. Lantas menyilangkan kedua cakarnya.
“ Kali ini kau takkan bisa menghindarinya lagi ! ” saat dia melentangkan kedua tangannya. Seketika ratusan peluru jarum itu melesat cepat mengarah padaku.
Segera ku menghindarinya, dengan hembusan nafas pelan. Tidak ada yang perlu ditakutkan, lagian tidak ada celah untukku kali ini. Oke...bila kau memaksa. Aku bergumam dalam hati
Ratusan jarum itu laksana bintang bertebaran menghujani dalam satu tempat menyebabkan gumpalan debu dan kesiur angin menyebar radius lima meter. Tubuhku benar-benar tidak terlihat di saat gumpalan debu tanah terdiri serpihan rerumputan kuning dan abu gosong.
Dia turun, mendarat dipijakkan rerumputan kuning, tersenyum penuh kemenangan. “ Di atas hamparan savana hitam, tidak ada_”
“ Oi ! Yang benar saja, hampir saja aku terbunuh. Syukurlah, tak perlu dikhawatirkan, hmm...mmph. benarkan, Charlie ”
Tersentak kaget, tidak percaya apa yang ia dengar, berasal dari gumpalan debu di tempat. Kali ini, dia terheran-kesal. Dia tersengal-sengal lelah sepertinya itu efek samping dia menggunakan tekniknya tadi, tampak dia kecewa.
“ Kenapa kamu tak mati saja, bodoh !” ketusnya tidak terima.
Aku menghela nafas.
“ Sudahi sajalah pertarungan kita, biarkan aku pergi dari sini. Setelah itu bekerja lah seperti biasa. Aku tak ingin terlibat dengan urusanmu, dah, ya...” aku melambaikan tangan, mulai meninggalkannya.
Tiba-tiba desiran angin mengelusku, mengarah pada si Kucing Hitam itu. Bulunya tegang berderak, muncul sisipan asap hitam mulai menyelimutinya. Lantas menggumpal membentuk dalam mode Bayangan Hitam, sama seperti tadi. Sepertinya, firasatku lebih memilih diam, harus menghadapinya.
SPLASH...
Sedetik pun, mataku tidak ter-toleh. Spontan muncul di hadapanku, mengepal kedua cakarnya serangan tajam. Refleks menangkisnya dan terundur beberapa langkah disertai deruan angin menyebar di sekitarku.
Tadi berbahaya sekali, sedikit lengah pasti serangannya menusuk ke organ vitalku. Aku hanya berpikir, semua telah berakhir. Namun, aku salah. Sepertinya aku harus menuntaskannya dulu untuk hari ini.
Lalu dia kembali melakukannya, menghilang. Muncul samping kanan, tanpa celah sedikit pun langsung mencekram lengan kirinya yang mau melancarkan serangan cakarnya, disusul lengan kanan ku cengkeram mau menyerangku, tetap menahannya dengan cara yang sama.
“ Sudahlah ! Aku tak ingin berurusan denganmu...!” seruku tegas menatapnya penuh intimidasi. Sekali lagi, aku ingin sekali menghiraukannya. Kedua tanganku mencengkeram begitu kuat.
Dia terkaku sebentar, lantas melepaskan cengkeraman. Dia mundur lima langkah sedikit gemetar, menatapku plan-plan. Hembusan nafasnya tidak biasa. Lalu bergerak zig-zag ke arahku.
“ AARGH...! SIAL !” mengerang, mulai melepas keraguannya.
Tubuhnya masih diselimuti asap hitam mulai memekat, menjadi bayangan hitam seutuhnya. Kepekatan di sekitar makin gelap, seolah-olah aku berada di ruangannya.
Kegelapan telah menyelimuti kami berdua, sama seperti berada di alam bawah sadar. Bedanya, aku masih menginjak tanah, serasa sangat hidup. Sementara dia, dirinya meleleh seperti cairan hitam menyatu sekitarnya. Aku rasa ini hanyalah ilusi, dibuat-buat.
Aku mengancungkan tangan kiriku, lantas mengetuk sesuatu dati belakang.
“ AARGH...!”
Spontan sekitar ku kembali semua dalam sedetik. Aku berbalik badan belakang. Sesuai dugaan, kucing hitam itu terbaring sedang meringis kesakitan memegang perutnya, jarak 8 meter datiku. Se-menit kemudian, dia berdiri terbata-bata sejenak kembali menyerangku dengan cara yang sama, menghilang lantas muncul di samping kanan, mencakarku. Kali ini dia bergerak normal.
Aku melambaikan tangan menepis serangannya. Nampaknya dia melakukan beberapa kali tusukan cakar tetap ku tepis, di bagian akhir aku menghindarinya, lalu mundur tiga langkah. Lantas maju dengan sembrono mencakarku sembarangan, terus ku hindari dengan langkah mundur, terkadang menyamping demi melihat ekspresi, yah...sepertinya dia tersengal-sengal lelah sekaligus menahan rasa sakit yang ia alami.
Sekarang aku paham, kucing adalah si Bayangan Hitam, dan perbedaan kekuatannya meningkat disaat mode bayangan hitam. Baguslah, kebingunganku terjawab.
Semua serangan cakarnya kuterima, baiklah aku akan...tunggu! Dia mulai bertingkah aneh.
Memang dirinya tetap seperti itu. Namun, secara spontan ada yang berbeda pada dirinya. Makin lama-makin pekat bayangan hitamnya. Lantas sejak kapan dirinya terhuyung-huyung tidak karuan di tempat, beberapa detik kemudian terjatuh sepintas kesiur angin disertai dedaunan kering bertebaran, menghilang sekejap. Sangat cepat.
Segera kedua lenganku menyilang bertahan, serangannya bukanlah cakar, melainkan tendangan kaki tajam nan keras. Seketika muncul kesiur angin membuatku terundur satu langkah, pertahananku hampir retak. Menggertak gigiku, sedkit meringis dari serangannya. Lantas dia menariknya kembali.
Tak kukira kemampuan fisiknya mulai menguat, dan hawa membunuhnya makin menguat serasa pekat dipenuhi intimidasi, terasa sangat jelas sekali sampai-sampai mentalku hampir ciut. Untungnya aku melawan intimidasinya dengan teknik yang ku pelajari, syaratnya; percaya diri dan berani selama itu benar dilandasi penuh tekad sangat dalam, berisi pengalaman tak mampu ku ucapkan. Itu benar dikatakan aku lupa tentang ingatan dulu. Namun, masalah jiwa pengalaman tetaplah melekat.
Baru aku melangkah maju, tiba-tiba saja kucing hitam itu maju sangat cepat menyerang ku dengan tendangan sudut dengan keras, mengarah ke titik vitalku.
Mau bagaimana lagi, aku menahan serangannya dan akibatnya terpental jauh menabrak pepohonan disertai desiran angin kencang menambah kecepatan diriku yang terpental, merengsek di tanah rerumputan hijau sehancur-hancurnya.
Sekarang aku tidak bisa menghentikan laju pentalan diriku, terus-terusan menabrak pepohonan. Bukan berarti aku kalah, aku sudah terbiasa di ginikan sejak dulu masa latihan fisik dan merasakan sesakit ini tak pernah kulupakan.
Lantas aku mencoba menahan laju pentalan diriku, kedua tanganku mencengkeram pada dahan besar, gagal. Dahan kedua, gagal. Dan dahan ketiga, aku berhasil menghentikan laju pentalan diriku. Kemudian kembali mendarat di pijakan tanah. Aku baru menyadari, kembali di hutan liar. Dia membawaku kesini, sepertinya akan menjadi pertarungan sengit. Lalu aku terkejut kemampuannya yang begitu kuat, padahal dia sangat kelelahan setelah menggunakan teknik tadi. Apakah itu efek mengaktifkan mode bayangan hitamnya, dan pula aku merasakan hal aneh. Yaitu kepribadiannya tampak berbeda dari pada sebelumnya.
Syukurlah, tidak fatal, berkat jacket rompi armor yang masih kukenakan dan fisikku kuat. Tergantung pemakainya, hanya mampu melindungi dari gesekan, goresan mengurangi rasa sakit saat bertabrakan dengan material padat maupun cairan resolusi rendah.
“ Ini batu pemanasan. Tidak usah tergesa-gesa menguras tenagamu demi menahan seranganku. Ayolah...lebih hibur aku lagi” suarnya menggema di sekitarku seolah dia ada dimana-mana.
Aku mencoba merasakan sekitar dengan ‘Insting Pengamat’ ku, kosong, tidak ada seorang pun. Benar-benar tak terlacak. Aneh. Seharusnya aku merasakan keberadaannya dan menemukan persembunyiannya, itu sudah dikatakan hal mutlak. Apa aku melupakan sesuatu yang penting.
“ Oi ! Sedang mencari siapa!?” sekutu berbisik dari belakang.
Baru berbalik refleks terkejut. Benar-benar tak bisa ku hindari, sesuatu serangannya sangat cepat sekali, kembali terpental menabrak batang pohon selebar 1 meter, retak hampir tumbang.
Serangan kejutan tak pernah kukira. Dia benar-benar berbeda dari sebelumnya. Sekarang aku mengerti, ada sesuatu kehadiran di dalam dirinya tak kuketahui.
“ Manusia selalu saja, bersikap sombong seperti biasanya merasa paling hebat, merasa diri mereka berada di puncak ” tertawa terbahak-bahak lalu menoleh padaku “ Bodoh sekali bukan, padahal manusia itu sangatlah rapuh”
Aku terbatuk-batuk, tersengal sedikit meringis, dan berdiri pelan dengan senyuman seringai. Aku tau, apa yang harus kulakukan sekarang.
“ Terima kasih atas kata-kata mutiaranya. Sungguh takkan kulupakan” meremas jari-jemariku, menatapnya sinis.
“ Oh...hebat sekali, bukan ! Bodoh sekali. Siapa bilang kata-kata mutiara. Palingan aku hanya_” menghilang dalam kedipan mata disaat kesiur angin mengelusku. Muncul di depanku, sedang memasang kuda-kuda serangan cakaran kanan dalam serangan sudut menuju titik vitalku secara spontan.
Namun, tetap kutepis.
“... Membunuhmu, itulah yang harus kulakukan. Mau tak mau, kau harus dibunuh. Dendamlah ke tidak berdaiaan hidupmu, takdir yang mengerikan bukan ! ” senyuman kemenangan, seolah-olah dia adalah malaikat maut.
Aku menghembus nafas pelan, seketika sekitarku melamban. Alur lingkungan, suasana, bahkan serangannya terasa sangat lamban. Tempat ini telah menjadi ruang yang mencakup aspek kehidupan, siapa pun dia akan ikut terkena. Bagaimana cara menjelaskannya ya ? Simpelnya ; ini hanyalah perasaan seseorang yang menggunakan teknik ‘ Insting Pengamat’ tingkat lanjut. Itu berarti aku mengaktifkannya sesuai kesadaranku, lebih tepatnya ter-aktifkan sendiri. Begitulah saat nyawa terancam, semua kemampuan kupunya akan aktif, dikatakan ini hanyalah sebagian kecil teknik yang kukeluarkan. Intinya menggunakan teknik ini adalah ‘ ahli mengira dan mencoba terus mencoba ‘ itulah motoku.
7Dengan tenang, aku mengepal kedua tanganku, memasang kuda-kuda dengan cepat, memposisikan kedua tanganku tepat di depan perutnya. Keseluruhan energi alam dan tubuhku menyatu mengalir kedua tanganku, tapakan disertai daya kejut.
SMASH...!
Spontan dia terpental menabrak pepohonan. Namun, dia kembali menghilang. Dalam artian memanfaatkan keadaan dalam dirinya terbawa angin berdesir cepat disaat melintasinya dengan leluasa tubuhnya menyelip pohon demi pohon meleset dalam bayangan hitam.
“ Wah! Ternyata kamu disini !” serunya lantas tertawa.
Aku menoleh ke samping. Yang benar saja, secepat itukah pergerakannya, mirip teleportasi seperti dia berpindah tempat posisi. Ini malah menjadi kecepatan melebihi angin. Makin lama dia makin kuat saja dalam sesingkat itu, apakah itu efek mode Bayangan Hitam nya. Sempat pula mengirim serangan cakarannya berupa kesiur angin. Tentu saja ku hindari rolling gesit belakang. Kemudian, serangan itu menyasar ke arah pohon kira-kira berumur beberapa tahun, spontan terbelah—terpotong-potong terdiri serpihan kayu besar tertanjak di tanah, sepertinya tanah agak menjadi lembek.
Benar-benar berbahaya sekali ! Melihat nasib pohon itu. Tubuh orang itu masih di selimuti bayangan hitam menggeram tak terima menyaksikan diriku menghindari serangannya. Lantas dia kembali menghilang.
Aku tidak bisa mengatakan terus-terusan kata ‘menghilang’ soalnya ; dia selalu bergerak dan terus bergerak sangat cepat. Dan pula kenapa harus ku jelaskan. Nyatanya, tidak perlu bertele-tele tentang kata ‘menghilang’ kan.
Kali ini aku tak boleh lengah dan meremehkannya, sedikit memasang kuda-kuda, mempersiapkan kemunculannya apa pun yang terjadi.
“ Belakang!” gumamku berseru dalam hati.
Sesuai ukuran jarak serangan yang telah ku perkirakan. Dia muncul secara tiba-tiba dari belakang melancarkan serangan cakarnya, bertepatan kepalan tangan kiriku menggenggam kuat, langsung memukulnya ke wajahnya. Seketika dia terpental, tidak sempat menyerangku.
Bukan itu saja, kakiku bertumpu pada titik, mengarahkan tangan kananku yang sudah tergenggam kuat tepat ke dadanya saat aku melangkah maju dengan sangat cepat sebelum dirinya menyentuh tanah. Sebuah pukulan keras menyebabkan dia terpental menambah lebih jauh lagi dari pada sebelumnya. Tubuhnya menghantam tiga pohon sekaligus secara berurutan tumbang, menyisakan desiran angin sementara.
Tak pernah ku kira, aku masih merasakan rasa sakit yang ku terima dari serangan tendangan sudut tersebut. Serangan itu telak ke ulu hati saat pertahananku tembus.
“ Kiri !”
Aku menunduk sampai posisiku jongkok, karena dia selalu muncul spontan dari berbagai samping maupun belakang. Dan ini dari samping kiri dengan cara menerkamku, kedua cakarnya mulai memendek dan gigi taringnya terlihat, menyeringai. Namun, luput. Lantas rolling maju dua kali, melihat ke belakang. Sungguh tidak terduga lagi, dia bertransformasi dalam bentuk setengah. Setengah bayangan hitam dan setengah sesosok manusia kucing berbulu hitam—condong pada bentuk singa.
Haruskah...aku menggunakan teknik tadi. Tapi, menurutku itu pemborosan energi dan tenaga. Walaupun, aku sungguhan tidak ingin melakukannya lagi, itu malah melebihi kesepakatan diriku. Kuputuskan, biar dia menyerangku duluan dan aku menghindari dengan teknik yang telah ku aktifkan, ‘ Insting Pengamat’ bagaimana pun caranya. Hingga dia kelelahan.
Kucing hitam itu meloncat dengan ketinggian lima meter, mendarat diatas dahan pohon terdekat, lantas menyeberangi pohon didekat-Nya mengelilingiku sambil menatapku tajam. Hawa keberadaannya menipis.
Tidak peduli, bagaimana dia menyerangku. Tetap bisa ku hindari dengan mudah. Sesuai akseptasi, dia benar-benar menyerangku dengan cakaran horizontal sambil membelah diri dalam bayangan ilusi, serangan tersebut berbagai arah telah kuhindari. Lalu aku berlari meninggalkannya, bukan karena kabur. Hanya menghindari dari hal kemungkinan yang akan terjadi, sesuatu hal yang merepotkan. Pohon demi-pohon telah kulewati dalam langkah kaki cepat melirik kanan-kiri. Tidak, ada tanda-tanda serangan darinya. Baguslah...
Itu benar. Tapi, itu tidak sesuai yang kuduga. Spontan muncul di depanku serangan tendangan sudutnya mengarah ke vitalku. Langsung kedua tanganku menyilang, memperkeras pertahanan, menangkas serangannya. Namun, secara fakta ; aku menahan serangannya dengan cedera tak terhindarkan. Lariku terhenti paksa, lalu terundur dalam beberapa langkah. Kedua tanganku terasa nyeri meskipun telah di perkuat, aliran darahku mengalir sangat deras di dalam tubuh, cucuran keringat mulai membasahi pakaianku.
Dengan keseluruhan energi alam dan tenaga tubuh menyatu pada kedua tanganku, sebagai pertahanan. Aku menghirup nafas dalam-dalam di kelilingi ruang mencakup semua ketenangan dan ketenteraman hati. Dengan terpaksa harus ku gunakan lagi teknik tadi. Yah...kunamai ‘ Double Smash’ baru-baru ini kukembangkan sebelum memasuki perang.
Daya kejut disertai kesiur angin radius satu meter dari kami berdua. Dia terhenti seketika, langsung menendang ke samping kanan, terpental masuk ke dalam bayangan gelap.
Baiklah...terus ku lanjutkan, aku berlari menyusuri hutan liar ini, semoga saja aku mendapat petunjuk jalan pulang ke Kamp Pasukan sahabatku. Namun, sangat disayangkan sekali, aku berakhir menemukan jalan buntu. Bagaimana aku harus mengatakannya ya? Di depanku jurang kedalaman 18 meter, di bawah sana ada sebuah sungai mengalir sangat deras. Pastinya, sungai itu sangat dangkal. Aku hanya menelan ludah. Ini sungguhan jurang.
Baiklah...seharusnya aku tidak boleh berlama-lama disini, aku berbalik badan. Terasa aneh, tidak ada hawa keberadaannya, jelas tidak ada di sini. Lantas di mana?
Tunggu ! Apa dia menggunakan teknik itu lagi, kalau tidak salah posisinya kan...
Kesiur angin menerpaku, spontan muncul di depanku menyerangku dengan kedua cakarnya secara horizontal.
Dengan gesit, menyilangkan kedua tanganku, pertahanan. Menepisnya. Seperti biasa kedua cakarnya menempel pada kedua lenganku sejenak. Tidak ada bekas luka di lenganku.
Tiba-tiba dia tersenyum menyeringai. Lantas memposisikan kedua kakinya ke arah pertahananku dengan sigap.
“ Selamat tinggal ”
Sebuah gelombang kejut, meretakkan pijakanku dan terundur. Tanpa kusadari, aku terjatuh ke dasar jurang. Itulah serangan kedua kaki tendangan sudut bersamaan mendorongku jatuh dari tebing.
Tercebur di tengah derasnya air sungai. Entah apa ini keberuntunganku, tepat di palung tengah sungai tersebut, ber-kedalaman enam meter, menyebabkan riukan air setinggi dua meter. Saatnya memahami situasi sekarang. Diriku berpura-pura terkulai lemas tak bernyawa, membiarkan tubuhku terbawa arus sungai sambil menipiskan hawa kehadiranku. Dengan benturan di sela-sela sungai ini kian lama makin dangkal. Sepertinya ini membuat tubuhku sakit-sakitan.
Dilihat aku sudah mengelabuinya, jauh dari lokasi tersebut. Di atas tebing sana, seseorang setengah kucing bersedekap 3memandangi arus sungai tempat diriku tercebur, bukan. Namanya Charlie si Kucing Hitam, aku hampir melupakan namanya. Tapi, sudahlah...dia mulai tak terlihat, karena aku telah menjauh dengan cepat dan terus menjauh. Meski pun aku lolos darinya, tetap saja aku harus melewati rintangan yang merepotkan. Yaitu, aku terguncang ke sana-kemari berkelok mengikuti arus sungai sedingin es, Untungnya tidak mencapai di bawah 6° derajat Celsius. Seandainya di bawah itu, aku bakal mati kedinginan. Sempat pula aku tersedak karena terminum air sungai. Hmm...mmph, bagaimana pun rasanya air tawar.
Tiba-tiba saja rasa kantuk menyerangku, berantah. Ditambah tubuh ku dingin menggigil disertai deruan angin malam nan sejuk. Akhirnya diriku tersangkut di sebuah batu besar, dan terlihat menjadi sungai yang sebenarnya meski dasarnya masih dangkal, karena sebelumnya samping kanan-kiri sungai masihlah tebing. Sekarang daratan mulai merendah seiring mengikuti hilir sungai, di sebuah hutan baru, kawasan baru belum pernah ku lihat. Mungkin di sinilah perbatasan antara hutan liar dengan hutan ini, entah aku tidak tau namanya. Terdapat hutan tersebut dirambati tanaman parasit, hingga menutupi keindahan hutan menjadi kan cekaman yang menakutkan.
Nampaknya, tubuhku kelelahan campur rasa kantuk kantuk. Itu sudah hal yang wajar. Karena aku telah bekerja keras lebih, dan karena pula hari ini malam, maka saatnya istirahat.
Sekilas hasil yang telah ku amati keadaan hutan liar masih terbilang normal, tidak terjadi apa-apa. Palingan aku hanya terganggu dengan orang itu di penuhi hawa membunuh. Pada akhirnya, kelopak mataku tak sabaran mengatup mataku. Benar-benar tak tertahankan, pandangan gelap seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
traveler other world
AdventureSiapa yang tau, memulai perjalananku diperlukan tenaga dan pikiran. Yah...itu sudah hal yang biasa. Bagaimanapun tidak ada kata mundur setelah kumulai, meski aku mendapat ingatan, tentang diriku, tentang memiliki kemampuan melalui pengalaman. Dan ju...