03

822 95 37
                                    






Sudah satu jam Jihoon dan Junkyu duduk, membisu menatap jauh ke depan mobil malam itu. Malam yang hening, menambah pikiran berkecamuk keduanya semakin menjadi.

Jihoon menghela napasnya, merobek sunyi yang menggigit. "Tidak bisakah....kita kabur saja?".

Junkyu menggeleng. "Ayahku mungkin benar-benar akan membunuh ibu dan ketiga adikmu, jika kita melakukannya...Hoonie".

"Argh, sial!!". Jihoon kalut, meninju tombol klakson keras-keras hingga berbunyi nyaring. Membuat Junkyu semakin panik.

"Jihoon-ah...", panggil Junkyu lirih, disambut dengan tarikan Jihoon pada tengkuknya. Mempertemukan bibir keduanya yang basah karena linangan air mata.

"Katakan, Junkyu-ya...", ucap Jihoon, menempelkan dahinya pada dahi yang lebih muda sehabis ciuman yang sarat akan keputus asaan tadi. Napasnya memburu. "Bagaimana aku hidup tanpamu?".

Junkyu semakin histeris, menggeleng kasar. "Tidak tau Jihoon-ah, aku tak tau".

Minggu lalu, ibu Kim datang ke rumah Jihoon. Ibu Park, seperti biasa, menyambut ibu teman anaknya ini dengan ceria.

Mereka berdua telah saling mengenal sejak Jihoon dan Junkyu berada di bangku SMP. Karena kedua anak mereka semakin akrab dari hari ke hari, mau tak mau membuat kedua ibu menjadi makin akrab pula.

Jihoon sudah seperti putra kedua bagi ibu Kim yang hanya memiliki anak semata wayangnya. Junkyu pun, sudah dianggap ibu Park sebagai anggota keluarga Park tanpa ayah itu.

"Ibunya Jihoon, apakah anda tau seperti apa hubungan Jihoon dan Junkyu?", tanya ibu Kim dengan pandangan menyelidiknya siang itu, meruntuhkan senyum tulus ibu Park yang selalu tersimpul.

Ibu Park selalu tau. Sejak Jihoon mulai dekat dengan Junkyu semasa SMP, putranya itu memang terlihat memberikan perhatian lebih pada Junkyu.

Setiap harinya, Jihoon selalu bercerita tentang Junkyu yang lucu ketika ngambek, Junkyu yang wajahnya merah ketika menahan malu, Junkyu yang begini dan begitu.

Ibu Park sadar Jihoon berbeda. Jihoon menyukai Junkyu. Sebagai laki-laki.  Bukan sebagai sahabat.

Dan demi putra satu-satunya sekaligus pria satu-satunya di rumah, ibu Park berbesar hati menerima.

Namun ketika pertanyaan tadi keluar dari mulut Nyonya Kim, ibu Park menyadari bahwa tak semua ibu sama sepertinya.

Maka, ibu Park mengangguk, mengiyakan pertanyaan ibu dari pacar putranya.

"Dan anda diam saja menerima?".

Ibu Park tersenyum. Tentu saja, tidak ada alasan ia tak menerima hubungan putranya itu.

"Saya tidak masalah, Nyonya. Selama Jihoon bahagia, saya juga bahagia".

Nyonya Kim geram. "Tapi kami tidak setuju. Selamanya kami tidak merestui hubungan mereka".

Ibu Park diam, tak tau harus menanggapi seperti apa. Hubungannya dengan Nyonya Kim tak sedekat itu hingga mereka bisa saling bujuk jika salah satunya sedang emosi.

Bagaimanapun, Nyonya Kim adalah istri eksekutif Korea Selatan. Ibu Park sendiri hanyalah guru Sekolah Menengah biasa.

Dan begitulah, peringatan menjadi ancaman, ancaman menjadi kenyataan menyakitkan. Ibu Park kehilangan pekerjaan yang ditekuninya selama puluhan tahun. Park Jisoo, adik perempuan kedua Jihoon, tidak lolos kualifikasi pelari tingkat nasional.

REUNION || JIKYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang