04

770 103 51
                                    






Hideki belum pernah bertemu dengan Kim Junkyu secara langsung. Ia juga tak pernah secara langsung mendengar ayahnya menyebut nama itu. Tidak selama tiga puluh tahun hidupnya.

Namun bukan berarti Hideki tak menyadari ada sesuatu tentang Kim Junkyu dan ayahnya.

Waktu itu, Hideki masih berumur empat tahun. Ia pikir wajar jika orang tuanya tak setiap hari tidur bersamanya : ia lebih sering tidur bersama sang ibu.

Hingga pada suatu hari, teman-teman playgroupnya bilang bahwa orang tua mereka selalu memeluk mereka sepanjang malam : ayah dan ibu mereka hadir ketika mereka menutup mata dan membukanya lagi.

Maka ia tanyakan itu pada sang ibu. Mengapa ayahnya jarang terlihat ketika ia membuka mata, mengapa ayahnya jarang menemani tidurnya jika ibunya ada di situ juga. Sang ibu hanya tersenyum, memberi jawaban yang bisa diterima otak polosnya : ayahnya terlalu sibuk menjadi salah satu diplomat Korea untuk Jepang.

Namun pada suatu malam yang dingin menggigit di musim gugur, Hideki mungkin mengetahui alasan sesungguhnya mengapa sang ayah begitu.

Kala itu, Hideki kecil meringis menahan pipis, berlari ke kamar kecil sendirian karena tak tega membangunkan sang ibu yang terlelap. Dan di tengah perjalannya kembali ke kamarnya, ia mendengar sayup-sayup suara isak serak khas ayahnya.

Mengira itu hantu, Hideki kecil yang super penasaran justru mendekati sumber suara sambil membawa segenggam bawang putih di tangannya.

Hanya untuk menemukan ayahnya meringkuk di kamar pribadinya, terisak dan menggumamkan sesuatu, "Junkyu-ya....hidupku rasanya hancur berkali-kali tanpamu", "Junkyu-ya...harus berapa lama lagi?", "Junkyu-ya...kau bahagia sekarang?".

Siapakah Junkyu yang ditangisi ayahnya sendirian, diam-diam di malam yang dingin ini?

Seiring bertambahnya umur, Hideki makin penasaran dengan Kim Junkyu ini. Rasa ingin tahu khas remaja tanggung meluap-luap, membawanya berdiri di depan ruangan rahasia yang tersembunyi di dalam kamar pribadi ayahnya.

Ketika pintu ruangan rahasia itu mulai terbuka, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan berterimakasih pada Kohta yang mengajarinya membuka paksa pintu yang terkunci.

Namun ketika ia tau apa yang memenuhi ruangan rahasia itu, Hideki mulai menyesal mengapa ia memaksa Kohta mengajarinya hal yang tak terpuji tadi.

Di dalam ruangan itu, tersimpan puluhan...atau mungkin ratusan foto-foto yang mulai usang. Terpajang rapi di dinding, tergantung di antara ruang-ruang kosong ruangan sempit itu, gambar ayahnya dengan satu orang lagi.

Sambil menggigit bibirnya menahan tangis, Hideki berjongkok menutup mulutnya. Satu orang lagi pastilah Kim Junkyu. Dan dia laki-laki, sama seperti ayahnya.

Ayahnya...tak pernah mencintai ibunya.

Ayahnya...mungkin saja menyukai laki-laki.

Sejak itu, Hideki remaja mulai membenci ayahnya. Ia menghindari ayahnya sebisa mungkin, tak menemaninya di acara makan keluarga, tak memintanya untuk mengantar jemput jika Hideki ada acara tertentu, dan tak sedikitpun tergerak untuk membanggakan ayahnya seperti yang pernah ia lakukan semasa kecil.

Dan puncaknya, ia dengan lancang bertanya pada sang ibu siang itu, di usianya yang ke delapan belas.

"Kenapa ibu tak minta cerai ayah saja?". Sukses membuat kakaknya menggumam 'Deki-chan sudah gila' dan ibunya spontan menyeretnya ke kamar, menginterogasinya.

"Apa maksudmu?", sang ibu bertanya dengan pandangan menyelidik.

"Ayah tak pernah melihat ibu seperti Kohta melihatku. Ayah tak mencintai ibu, ayah mencintai orang lain. Benar bukan bu?". Pertanyaan retoris. Hideki sudah tau jawabannya dari helaan napas panjang sang ibu yang duduk di depannya. "Ayah mencintai pria bernama Kim Junkyu, iya kan bu?".

REUNION || JIKYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang