02

10 4 0
                                    

Kenyataan

• • • • •

"Ayah, aku ingin masuk sekolah yang sama dengan Rin dan Rion," Zoe kecil menghampiri sang Ayah.

"Iya sayang. Zoe bebas mau sekolah di mana pun, asal Zoe nya Ayah senang," kata Ayah kala itu.

Ayah menggendong Zoe kecil yang baru berusia 5 tahun. Yang pemikirannya lebih dewasa dibanding anak seumurannya. Zoe memang disebut-sebut sebagai anak jenius.

"Zoe mau jadi ilmuan kalau sudah besar," Zeo kembali berceloteh riang.

"Iya. Ayah akan selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan dan cita-cita Zoe," Zoe kecil sangat senang kala itu. Ayahnya tidak pernah melarang apapun keinginannya, justru mendukungnya.

...

"Ayah bohong!"

Aku masih menangis di bawah selimutku. Tidak peduli dengan ketukan dan panggilan di luar sana.

"Sayang, Ibu masuk yah?" Ibu berteriak di luar kamar. Lalu tak lama Ibu masuk ke dalam kamarku, menghampiriku dan duduk di sampingku sambil mengusap kepalaku.

"Zoe, ayah sama Ibu bukannya gak mau mendukung cita-cita kamu, sayang," Ibu berbicara sambil terus mengusap kepalaku dengan sayang.

"Ayah bilang dia bakal dukung aku terus, dukung apa yang jadi pilihan dan cita-cita aku, Bu. Terus sekarang apa? Ayah malah menghancurkan apa yang selama ini aku impikan," ujarku lirih. Aku masih meneteskan air mataku, suaraku pun agak bergetar saat mengatakan serentetan kalimat tadi.

"Ayah bukannya ingin menghancurkan impian kamu, sayang. Ayah sama Ibu justru sayang sama kamu," ungkap Ibu, suaranya memelan.

Aku bangun, menatap Ibu dengan tatapan kecewa. "Kalau Ibu sayang aku, harusnya Ibu bantu aku yakinin ayah. Aku gak mau sekolah di sekolahan lain, Bu. Aku mau sekolah di SMA Bunga Bangsa sama Rion dan Rin, aku gak mau sekolah dipilihannya ayah!" tuturku sedikit berteriak, agar Ibu mau menurutiku, agar Ibu melihat kesungguhan ku.

Aku melihat Ayah berdiri di ambang pintu menatap aku dan Ibu. Matanya tertuju padaku. "Ayah aku mohon," pintaku, balik menatapnya dengan sorot memohon. Ayah menunduk, mengusap wajahnya lelah.

Ayah masuk ke dalam kamarku, ikut duduk di dekat Ibu. "Maafin Ayah sayang, kali ini aja, turutin Ayah sama Ibu, ya?" Ayah memelukku. Ibu mengusap kepalaku.

Ayah melepas pelukannya, memegang kedua pundakku lalu menempelkan keningnya di keningku. "Kamu mau denger penjelasan Ayah sama Ibu, kan?" Aku mengangguk. Karena aku pun ... sedikit penasaran dengan keputusan Ayah yang tiba-tiba.

"Zoeya, kamu sebenarnya bukan manusia biasa sayang, begitupun dengan Ibumu, kamu istimewa," Ayah memulai pembicaraan dengan serius.

"Maksudnya? Manusia tetaplah manusia, Ayah!" sanggahku.

"Ibumu penyihir dan Ayah manusia." Ayah berusaha sabar menghadapi kekesalanku.

Kontan aku terkejut mendengarnya. Penyihir hanya dongeng belaka, ia hanya kisah fiktif. Tidak mungkin benar-benar ada di dunia ini.

"Harusnya kamu menjadi manusia biasa tanpa sihir, tapi entah kenapa kamu justru memiliki sihir yang sangat besar di dalam dirimu yang membuatmu menjadi manusia setengah penyihir. Ada energi sihir di dalam dirimu," jelasnya.

Aku masih tidak mengerti. Bagaimana Ibu yang seorang penyihir bertemu dengan Ayah yang hanya manusia biasa? Apa mungkin di negara tempat tinggalku ini banyak penyihir seperti Ibu?

"Apa di sekeliling kita banyak penyihir seperti Ibu?" tanyaku pada akhirnya. Ibu menggeleng.

"Seorang penyihir tidak boleh menikah dengan manusia, itu melanggar hukum penyihir di kerajaan Trefle," jawab Ibu.

"Lalu bagaimana bisa kalian bersama?"

Percayalah aku masih belum percaya dengan cerita yang terdengar konyol itu.

"Karena sebuah kecelakaan. Ayah itu sangat suka barang antik, Ayah juga salah satu orang yang percaya tidak percaya dengan mitologi tentang penyihir dan lainnya. Tapi, Ayah percaya saat tak sengaja membuka portal menuju dimensi Ibumu," jelas Ayah.

"Ayah bertemu Ibumu di sana, dia yang menolong Ayah kala itu, lalu kami saling jatuh cinta. Meski Ayah tau kenyataan Ibumu seorang penyihir dan hukum yang mengikat Ibumu, Ayah tetap bersikeras ingin menikahi Ibumu. Kami berdua kabur ke dimensi ini, berharap tidak ada penyihir dari dimensi Ibumu menemukan kami. Tapi pada akhirnya mereka tetap menemukan kami."

"Lalu bagaimana bisa kalian menikah? Harusnya kan Ibu di bawa paksa ke dimensinya lagi," ujarku dengan mata yang kembali basah. Entah sejak kapan aku mulai mengerti alur ceritanya, aku juga mulai melihat gambaran tentang akhir ceritanya.

"Kami berdua melakukan perjanjian dengan Ratu penyihir dan Raja kerjaan Trefle. Isi perjanjiannya; apa bila kami memiliki anak dan anak itu memiliki sihir meski hanya sedikit, kami harus memberikan anak itu kepada mereka," jelas Ibu. Ibu menangis.

"Maafkan Ibu, Zoeya," Ibu masih terus menangis. Aku pun ikut menangis, tak menyangka akan seperti ini.

"Saat kamu masih kecil, kamu tidak memiliki sihir sama sekali. Ibu dan Ayah senang, karena itu kami memanjakanmu, membiarkanmu melakukan apapun yang kamu suka, dan terus mendukung cita-cita juga pilihanmu. Entah kenapa saat ulang tahunmu yang ke 16 energi sihirmu mendadak muncul begitu besar, Ibu bahkan melihat dan merasakannya dengan jelas." tutur Ibu.

"Maafkan Ayah, sayang," Ayah mengusap kepalaku.

"Aku ingin sendiri," finalku.

Ibu masih menangis, Ayah memeluk Ibu dari samping. Lalu mereka berdua keluar dari kamarku setelah mencium kepala dan pipiku bergantian sambil mengatakan 'maaf'.

Aku masih tidak bisa menerima kenyataan yang baru ku ketahui ini. Terlalu cepat, aku belum siap menerima semua ini, aku belum siap jika harus berpisah dengan sahabatku. Rasanya sangat sulit.

Aku memilih berjalan ke arah balkon kamarku, berdiri di balkon sambil menatap langit malam. Dalam hati aku betanya.
Apa ada dunia lain selain dunia ini? Apakah itu dunia yang sama seperti dalam film yang kami tonton hari ini?

Aku menghela napas panjang saat memikirkan itu. Sebenarnya banyak pertanyaan di kepalaku yang ingin ku tanyakan pada ayah dan ibu. Tapi, aku masih belum siap mendengar kenyataannya, kenyataan yang mungkin lebih menyesakkan dari ini. Aku hanya ingin hidup normal bersama kedua sahabatku dan teman-temanku yang lain.

"Woy!"

Itu suara Rion, tak lama dia mengeluarkan ponselnya dan menempelkannya di telinga. Gestur tubuhnya mengatakan agar aku mengangkat panggilannya. Dengan malas aku pergi ke kamar, mengambil ponsel, lalu kembali ke balkon.

"Lu kenapa?" tanya Rion sambil menatapku dari balkon kamarnya.

"Gak kenapa-napa."

"Bohong!" Rion memang susah ku bohongi. Mungkin karena kami bersama sejak kecil, membuat ia begitu mengenalku.

"Zoeya."

"Hm?"

"Gue sayang sama lo."

Aku balik menatapnya. Rion memberi finger heart ke arahku. "Gue juga cinta sama lo," lanjutnya. Dadaku berdebar, wajahku serasa memanas.

"Rion. Aku ngantuk, capek, aku mau tidur."

Aku berkilah, hanya agar Rion tak melanjutkan ucapannya. Aku tidak siap mendengar satu kenyataan lagi hari ini. Rion menatapku, ia sepertinya kecewa denganku.

"Ya udah, good night my princess," katanya. Lalu ku matikan panggilan itu sepihak dan masuk ke dalam kamar.

Dari balik kaca aku melihat Rion mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sambil membenturkan kepalanya ke pagar besi yang menjadi pembatas balkon kamarnya.

Maaf Rion.

Aku memilih tidur, berharap esok pagi semuanya kembali seperti semula, dan perkataan orang tuaku hanya bualan semata. Semoga.

• • • • •
Semoga suka:)

Black TrèfleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang