10

1 0 0
                                    

Persiapan

• • • • •

Setelah pulang dari pantai Ariel aku bilang pada Kwen kalau aku akan ikut ujian bersama dirinya. Kwen begitu senang saat mendengar aku akan ikut ujian masuk itu. Aku hanya tersenyum maklum menanggapinya.

Karena ujiannya 3 bulan lagi, Kwen mengajakku berlatih lebih keras dari sebelumnya. Akademi akan berakhir 2 bulan lagi. Aku terkejut saat tau kalau belajar di Akademi hanya 5 bulan saja. Itu artinya aku bisa pulang, kan?

Untuk saat ini aku akan tetap latihan untuk ujian yang akan datang. Semua itu semata-mata hanya untuk kemungkinan terburuk. Bila setelah lulus Akademi dan aku masih belum bisa pulang, aku akan ikut ujian masuk kesatria sihir agar bisa bertemu Nozel. Semoga saja hal itu tidak perlu terjadi, agar aku bisa cepat pulang.

Kwen tidak ke kamarku malam ini, aku bersyukur bisa tidur dengan nyenyak. Hampir setiap malam dia tidur di kamarku, terkadang aku yang di tarik paksa untuk tidur di kamarnya. Tapi hari ini gadis itu tidak muncul.

Aku memandang benda yang di berikan Ibu. Aku hanya bisa mengeluarkannya saat sendirian seperti sekarang, karena Ibu mewanti-wanti ku agar tidak ada yang tau benda ini. Ku perhatikan lamat-lamat, tiba-tiba kristal biru itu menyala, berkedip-kedip. Aku sontak terkejut dan bingung harus bagaimana.

Mula-mula aku mengunci pintu kamarku, menutup jendela dan gorden rapat-rapat. Lalu kembali melihat benda aneh ini. Aku mencari tombol yang mungkin saja ada di alat ini, tapi tak ada apapun, hanya ada kristal biru yang terus berkedip.

Tak sengaja jariku menekan kristal biru itu, dan ada bunyi tuk, seperti bunyi tombol on/off yang ada di gadget. Wajah Ibu tiba-tiba muncul di layar persegi 10×10 cm. Seperti hologram tapi bukan. Layar ini setiap sisinya bercahaya terang.

"Halo sayang."

Suara Ibu dan Ayah menyapa indra pendengaranku. Aku rindu suara itu. Air mataku meluruh dengan cepat, aku terisak bahkan sebelum membalas sapaan Ibu.

"Kenapa menangis?"

"Aku kangen kalian."

Suaraku mungkin tidak terdengar jelas karena aku berbicara sambil menangis.

"Ibu sama Ayah juga kangen kamu, nak. Bagaimana kabarmu di sana? Maaf, Ibu baru menghubungimu sekarang."

Ibu terlihat sedih, entah karena apa. Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja di sini. Ibu sama Ayah apa kabar?"

"Kami di sini baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir." Ayah yang menyahut. Aku kembali mengangguk.

"Putri Ayah kenapa menangis?"

"Aku kangen, Ayah."

"Ayah juga sayang. Sudah yah, jangan menangis, kamu terlihat semakin cantik kalau menangis seperti itu."

Ayah hanya menghiburku, aku tau itu. Aku mengusap air mataku dengan kasar. Aku tidak lagi menangis. "Bagaimana Akademi di sana? Kau punya teman, kan?" Ibu bertanya, terlihat khawatir dari wajahnya.

"Menyebalkan, pelajaran di sini menyusahkan. Aku punya satu teman, namanya Kwenxi Aquella, dia anak yang baik dan ceria, mengingatkanku pada Rin."

Aku terus bercerita dan Ibu dengan setia mendengarkan, begitupun dengan Ayah.

"Putri Ayah sepertinya mulai menyukai seorang pria di sana." Ayah mulai menggodaku.

"Tidak. Aku tidak menyukai Xavior."

"Bagaimana keadaan Rin dan Rion?"

Ibu dan Ayah saling pandang. "Mereka baik-baik saja. Rin semakin dekat dengan Rion, Ibu sering melihat mereka berangkat bersama."

Aku sudah tau kalau soal itu. Dulu pun kami sering berangkat bersama dan tentu saja sangat dekat satu sama lain.

"Syukurlah."

"Sayang. Kalau ada sesuatu, kau bisa menghubungi Ibu menggunakan item sihir itu."

"Jadi ini item sihir?"

"Iya, Ibu yang membuatnya. Item sihir itu khusus Ibu buat hanya untuk putri Ibu. Jadi kau hanya bisa menghubungi Ibu."

Aku tersenyum senang. "Kau hanya tinggal menyalurkan sedikit energi sihirmu ke alat itu, lalu tekan tombol kristalnya dua kali. Ibu akan langsung mengangkatnya."

Ibu tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Lama aku berbicang dengan Ayah dan Ibu, menyalurkan kerinduan. Seperti ini saja sudah membuatku amat senang.
...

Hari ini aku masuk Akademi, tidak bolos seperti kemarin. Seperti biasa kami di ajarkan banyak trik sihir di lapangan luas ini. Ada beberapa sasaran yang di buat oleh para guru. Seperti kendi yang berputar-putar di udara, monster kecil buatan yang meloncat-loncat di bawah, sasaran panah dan masih banyak yang lainnya.

Di sini juga di ajarkan cara merubah bentuk elemen sihir kita. Karena aku penyihir tipe penyerang sekaligus pelindung, jadi aku harus bisa merubah bentuk sihirku bukan hanya menjadi bola-bola yang mirip ubi.

Setelah pelajaran di Akademi selesai, aku dan Kwen pergi mencari makan di pusat perbelanjaan ibu kota. "Hey kalian berdua!"

Kami baru saja akan melesat menggunakan sapu terbang. "Iya?"

"Kau yang bernama Kwen, kan? Dan kau Zoe. Apa aku benar?"

Aku dan Kwen kompak mengangguk. "Bolehkan aku bergabung dengan kalian?" Kwen terlihat tampak senang, respon dia memang selalu begitu, sih. Berlebihan.

"Wah. Kau mau jadi teman kami?"

"Iya."

Kwen dan si anak itu tampak asik mengobrol setelah berkenalan. "Hai Zoe, namaku Nuella Bell."

Aku menerima uluran tangannya, dan kami pun berjabat tangan sebentar. "Aku Zoe."

"Kalian mau pergi kemana?"

"Aku dan Zoe mau mencari makan di ibu kota. Nue mau ikut dengan kami?"

Nuella mengangguk semangat. "Bolehkah?"

"Tentu saja! Iya kan, Zoe?!"

"Ya, terserah kau saja."

"Maaf ya, Nue. Zoe memang seperti itu orangnya, tapi dia baik kok."

"Ah, iya. Tidak masalah, aku tau kok, selama ini aku mengawasi kalian. Hehehe."

Mengerikan sekali. Sepertinya dia stalker, perlu ku waspadai. Dan lagi aku merasa sedikit aneh dengan gadis berambut blonde ini.

"Kenapa kau bergabung dengan kami? Kau tidak punya teman?"

Aku bertanya di atas sapu terbang. Iya, saat ini kami tengah pergi ke ibu kota menggunakan sapu terbang.
Nuella menggeleng sambil tersenyum. "Kalian kan teman ku," katanya, senyumnya semakin lebar, terlihat mengerikan.

Kwen tertawa, sedangkan aku menatap Nuella aneh. "Kau mengerti maksudku, kan?"

"Maaf ya, Nue. Zoe memang begitu orangnya. Terlalu serius dan kaku," Kwen menyela, ia bahkan berbisik saat mengatakan kalimat terakhir. Aku masih bisa mendengarnya.

"Tadinya aku punya teman, tapi karena aku anak yang payah, mereka perlahan menjauhiku."

"Oh, begitu."

Ternyata dua orang temanku sama-sama payah, sama sekali tidak membantu misi pelarianku.

Kami turun dari sapu terbang, lalu mulai mencari makanan yang kami inginkan. Kedai-kedai makanan di sini tata letaknya seperti street food di dimensiku, hanya saja di sini lebih rapih dan tertata, bersih juga.

Setelah ini, aku dan mereka berdua akan berlatih di hutan belakang asrama. Kebetulan di sana ada lahan luas untuk tempat berlatih dan hutan itu aman tentunya. Baiklah, selama 3 bulan ke depan aku akan mulai bersungguh-sungguh dalam latihan pengendalian sihirku. Aku juga akan membuat trik dan teknik penyerangan baru. Lihat saja nanti para kapten kesatria sihir dan Kaisar sihir, akan ku buktikan kalau aku pantas berada di golden dawn.

• • • • •
Semoga suka:)

Black TrèfleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang