"Iya, iya. Ntar gue yang dateng."
"Haidan?" Bunda menepuk pundak anak pertamanya dengan lembut. "Jadi?"
"Eh? Apanya, Bun?"
Yang ditanya menjauhkan ponselnya sesaat, menatap Bundanya dengan polos. Taktik Haidan : pura-pura lupa.
"Itu. Tokek, tokek!" cetus Bunda sambil tertawa.
"—Dan? Lo denger gue?"
"Ya, nanti gue chat."
Setelah menutup saluran teleponnya, Haidan membalikkan badan ke Bunda dengan wajah memelas.
"Nggak, Bun. Haidan ganti binatang, ya? Boleh?"
Bunda menghela napasnya panjang. "Hm ... gimana, ya?"
"Ayolah, Bun."
"Oke, deh. Boleh," tukas Bunda lembut. "Boleh, boleh. Tapi gantinya tikus, boleh?"
Haidan melotot tajam.
Ya ampun. Kenapa Bunda terlalu persis dengannya tadi? Ia jadi teringat kata-kata Tama,
"Lo ternyata emang turunan Bunda lo, ya?"
Sekarang, Haidan mengerti kenapa dia harus mencari tikus. Ya, karena pengganti tokek yang baik adalah kucing!
***
Hari ini, Haidan kembali mampir di petshop milik Tama. Melipir sebentar, iseng-iseng jika Tama punya hewan yang bisa dia adopsi.
"Lah, Dan? Mampir lagi?"
Tama menatap Haidan sambil menyipitkan matanya dari kejauhan. Biasa, manusia yang selalu lupa memakai kacamatanya itu memang senang menyipitkan matanya ketika mencoba fokus terhadap sesuatu.
Haidan hanya mengangguk malas. Melirik deretan rak yang berisi berbagai macam wetfood berkualitas yang dijual Tama.
"Kenapa? Ganti hewan lagi jadinya?" tanya Tama kembali. "Kalo lo mau kucing, gue ada."
"Hm, gitu deh. Boleh liat gak kucing lo?"
Tama menghentikan aktivitasnya. "Oke. Ayo."
***
Mereka melangkahkan kaki pelan ke dalam sebuah ruangan luas berudara segar. Meski ada di dalam ruangan—karena memiliki ventilasi yang luas—ruangan itu tetap sejuk dan adem walau tanpa ada pendingin ruangan.
"Yang ini, namanya Soni. Warnanya emang hitam legam gitu, tapi kelakuannya masih ada suci-sucinya, kok," Tama menjelaskan sambil menunjuk satu kucing hitam berkaki putih.
Haidan hanya mengangguk pelan. "Lanjut."
"Yang ini. Siapa, ya?"
Tama membuka buku kecilnya yang dikeluarkan dari saku celananya. Sambil masih mencari namanya, Haidan menyapu bersih pandangannya terhadap semua kucing yang ada di dalam ruangan ini.
"Tam, gak ada kucing oren, ya?"
"Ginger? Atau yang oren-putih belang?"
"Apa aja. Yang oren."
Tama menggelengkan kepalanya. "Nggak ada. Baru aja kemaren Cony si kucing ginger diadopsi sama orang. Lo sih, telat pengen adopsi kucingnya."
Suasana hening. Haidan hanya memainkan rambutnya bingung.
Ah, semua request yang berasal dari Bundanya memang suka aneh-aneh. Suka susah dicari dan ditemukan. Herannya, yang bernama Haidan juga tetap mau mencari meski tahu hasilnya.
Tadi, sebelum pergi kesini, Bunda sempat mengganti request-nya kepada Haidan.
"Kucing ginger, ya, Kak. Yang warna oren!"
Haidan kira mencari kucing oren lebih mudah daripada mencari hewan-hewan aneh lainnya. Namun, ternyata sama saja.
"Ah, iya. Gue baru inget," cetus Tama tiba-tiba.
"Apa?"
"Kucing ginger emang banyak yang cari, Dan. Kemaren disini ada 4 kucing, tapi udah diadopsi semua."
Haidan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil ber-oh ria. Dia baru tahu, penyuka kucing juga ada-ada saja maunya.
Harus yang bewarna ginger lah, cokelat lah, putih susu lah. Terlalu kompleks.
"Tapi kalo lo mau, bisa cari di jalan, Dan."
"Di jalan?" ulang Haidan bingung. "Yang keliaran di jalan? Emang boleh, ya?"
"Boleh, lah, kalo gak ada yang punya," jawab Tama cepat.
"Cara cari taunya kalo gak ada yang punya? Bulunya kotor? Gak pake kalung?"
Tama mengangguk. Haidan ikut mengangguk, lalu melirik jam dinding yang terpasang di tembok ruangan khusus kucing ini.
"Mau bantu gue cariin?"
Yang ditanya kembali mengangguk untuk kedua kalinya dan yang bertanya juga kembali mengangguk untuk yang ketiga kalinya.
***