05 : Menemukan Kucing

65 12 1
                                    

Ryn

halo kaaak h, ini gue sendernya
yang tadi 👋

Halo, Ryn.
Gue bisa ambil kucingnya kapan, ya?

besok mau kak?
soalnyaa odeng nanti mau gue
ajarin adaptasi duluu :D

Oh ada adaptasi juga, ya?

iyaa kak hehe
sebenernya gapapa sih kalo
sekarang, cuma biar lebih siap
besok aja ...

Oh gitu
Oke deh, gapapa
Makasih banyak, ya.

terima kasih kembali kakk

***

"Gimana?" Haidan menyodorkan ponselnya ke arah Tama, membiarkan cowok-kucing itu membaca keseluruhan isi chatnya dengan Ryn secara detail.

"Oke-oke aja, sih," tukas Tama pelan. "Tapi kayanya dia masih sayang, tuh, sama kucingnya."

Mereka berdua terdiam.

Haidan tahu, meskipun terakhir kali ia memelihara hewan adalah ikan koi sepuluh tahun yang lalu (walaupun tidak merasa dekat), tapi rasa 'kehilangan' terhadap hewan peliharaan yang dilepas adopsi memang menyakitkan.

"Jadi aja." Tama menepuk-nepuk pundak Haidan dengan senyuman kecil. "Tapi lo janji buat ngerawat dia baik-baik. Gak ada mantan babu yang gak sedih kalo ditinggal gitu."

"Babu?" Haidan mengernyitkan dahinya bingung.

Perasaan, selama ini dia belum pernah mendengar istilah babu selama hampir 20 tahun mengamati dunia perhewanan.

"Ya, lo kan calon babu," tandas Tama. "Karena lo udah menyerahkan diri lo buat menjadi babu, lo beneran harus janji, Dan, buat ngerawat dia."

Tama berjalan ke dalam rumahnya sebentar, meninggalkan Haidan yang semakin kebingungan.

Kenapa babu?

Dia, kan, hanya ingin mengadopsi kucing. Bukan menjadi orang yang akan disuruh-suruh ... tunggu. Benar, babu adalah julukan yang tepat.

Sekarang otaknya sedang berputar cepat—bukan karena pusing anemia—mengeluarkan seluruh prediksi-prediksinya tentang apa yang dimaksud dengan babu.

Babu, karena selama beberapa hari, bulan, dan tahun ke depan, secara tidak langsung kegiatannya akan diisi dengan disuruh-suruh oleh kucing.

Haidan memijit kepalanya sambil tertawa pasrah. Bersamaan dengan itu, Tama keluar dari dalam rumahnya dengan satu kardus cokelat berukuran sedang.

"Nih," Tama menurunkan kardusnya dengan tatapan haru. "Karena lo udah menyerahkan diri menjadi babu, gue kasih hampers khusus buat lo—maksudnya, kucing lo."

Haidan mengintip isi kardusnya. Ada beberapa pouch makanan basah bewarna ungu, makanan kering kiloan, dan susu kucing sachet.

Kini, gantian mata Haidan yang berbinar haru. Tama selalu tahu apa yang dia butuhkan.

"Makasih banyak, Tam."

"Hm." Tama mengangguk pelan. "Lo jangan sampe salah kasih."

"Iya."

"Jangan sampe telat kasih makan."

"Iyaa."

"Jangan sampe—"

"Nggak ada tempat pupnya?"

Tama mendengus. "Kalo yang itu, beli!"

Ternyata, hanya Haidan yang tidak tahu apa yang Tama butuhkan. Uang.

***





PawrentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang